Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati/Net
Besaran persentase mandatory spending layanan kesehatan menjadi hal penting untuk menjamin kelancaran pengendalian wabah yang sewaktu-waktu bisa terjadi di Indonesia.
Begitu dikatakan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menanggapi polemik dihapuskannya mandatory spending layanan kesehatan dalam RUU Omnibus Law Kesehatan.
Merujuk pada UU 36/2009 tentang Kesehatan yang masih berlaku, kata Kurniasih, besaran
mandatory spending layanan kesehatan atau pengeluaran negara yang diatur minimal sebesar lima persen untuk APBN dan masing-masing APBD. Sedangkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberi panduan sebesar 15 persen untuk alokasi dana kesehatan di setiap negara.
“Dari berbagai ketentuan penanggulangan wabah dalam RUU Kesehatan, yang kami sesalkan hilangnya
mandatory spending layanan kesehatan. Karena bicara wabah, membutuhkan biaya yang besar," kata Kurniasih dalam keterangan tertulis, Sabtu (8/7).
"Setidaknya kembali ke UU eksisting minimal lima persen untuk APBN dan APBD, walau kami mintanya 10 persen,” imbuhnya menekankan.
Legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengatakan, nomenklatur wabah atau Kejadian Luar Biasa (KLB) diatur di Bab 12 RUU Omnibus Law Kesehatan Pasal 352 sampai 400.
Hal penting yang diatur antara lain, kata dia, tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah, keterlibatan tenaga medis, pakar, TNI-Polri, tokoh masyarakat dan pemangku kepentingan agama.
Aturan tersebut juga memuat penetapan penyakit yang berkriteria wabah, kewaspadaan wabah di wilayah dan pintu masuk, penanganan daerah wabah, hingga kegiatan pasca-wabah. RUU Kesehatan juga mengatur pengelolaan limbah medis seperti pembuangan masker, jarum suntik, dan infus bekas di masa wabah.
Bagian Keenam Pasal 386-391 RUU Kesehatan, kata Kurniasih lagi, juga mengatur tentang SDM, teknologi, sarana prasarana, perbekalan kesehatan, dan pendanaan.
“Ibarat tubuh manusia, anggaran ini seperti darahnya. Konsep kesehatan sebaik apapun kalau anggaran tidak disiapkan pasti tidak mudah,” pungkasnya.
Pemerintah memutuskan untuk menghapus pengeluaran wajib itu dalam RUU Kesehatan sebagaimana tertuang dalam Pasal 401 ayat 2 dan 3.
Keputusan itu diambil setelah hasil evaluasi pemerintah terhadap penyerapan anggaran pengeluaran wajib tidak 100 persen mencapai tujuan.