SETELAH siklus pembibitan, pembahasan selanjutnya adalah siklus lahan dan penggarapan. Mengurai secara komprehensif siklus lahan dan penggarapan adalah aspek utama dalam akuntansi beras.
Mengapa demikian? Karena lahan adalah tempat untuk menanam dan menabur benih, sedangkan penggarapan sangat terkait dengan metode dan fasilitas yang digunakan untuk pembajakan sawah agar siap tanam.
Secara garis besar, jenis lahan sawah di Indonesia terbagi atas tiga jenis berdasarkan sumber pemenuhan air persawahan. Pertama adalah sawah tadah hujan yang sumber airnya memanfaatkan air hujan untuk pengelolaan sawah, biasanya hanya satu kali panen dalam setahun. Kedua, sawah yang mengandalkan air sungai untuk penggarapan, sawah jenis ini mengandalkan teknologi seperti mesin pompa air untuk menaikkan air ke lahan.
Atas bantuan teknologi, kinerja lahan biasa ditingkatkan menjadi dua kali panen setahun tetap dengan bantuan curah hujan. Sedangkan ketiga adalah sawah perairan, jenis ini lebih produktif dari pada dua jenis lahan lainnya. Dalam dua tahun, jenis sawah ini bisa panen sampai lima kali serta memiliki ketersediaan air untuk pemenuhan kebutuhan padi.
Jenis lahan memiliki tingkat kinerja dan produktivitas yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sehingga analisa terhadap lahan menjadi penting dalam meningkatkan produksi beras. Ada banyak inovasi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kinerja lahan atau mengupgradenya agar lebih produktif. Tapi tentu tidak bisa dilakukan hanya oleh petani saja, perlu campur tangan pemerinta dari berbagai stakeholder.
Inovasi Kinerja dan Produktivitas Lahan
Selain kinerja dan produktivitasnya berbeda, ketiga jenis sawah tersebut memiliki Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang berbeda. Semakin tinggi kinerja dan produktivitas sawah maka akan memiliki NJOP yang lebih tinggi, tentu berimplikasi terhadap nilai Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang juga lebih tinggi. Perbedaan tersebut disebabkan oleh fasilitas yang dimiliki setiap sawah berbeda, contohnya ketersediaan pengairan dan bendungan.
Seperti yang disampaikan sebelumnya, kinerja dan produktivitas lahan bisa ditingkatkan dengan melakukan inovasi dan upgrade. Pemerintah yang dikonsolidasikan melalui Kementerian Pertanian (Kementan) bisa berkolabirasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk program proyek nasional dalam meng-
upgrade suatu lahan dan fasilitas penggerapan agar menjadi lebih produktif.
Tentu dengan menganalisa terlebih dahulu potensi yang dimiliki dan ketersediaan air disekitar lahan. Selanjutnya, dibangun perairan dan bendungan. Kolaborasi tersebut bisa digalakkan hingga tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Kehadiran Undang Undang Desa, membuka ruang seluas-luasnya bagi seluruh desa di Indonesia untuk membangun kemandirian ekonomi desa. Termasuk dalam meningkatkan kinerja dan produktivitas lahan persawahan yang dimilikinya.
Banyak sarana dan prasarana yang bisa dihasilkan oleh dana desa untuk menaikkan grade persawahan yang dimilikinya. Dana desa banyak menghasilkan jalan-jalan dan jembatan sawah, tentu hal tersebut mampu mempercepat lalu lintas ekonomi sawah.
Ada juga inovasi yang dilakukan oleh individu maupun kelompok tani dengan membuat sumur bor di tengah-tengah persawahan, khususnya pada lahan dengan sumber air yang terbatas. Meskipun tidak semua berhasil untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas lahan sawah. Menurut penulis, inovasi dan upgrade lahan persawahan yang sifatnya kecil atau sedang bisa dikonsolidasikan oleh desa melalui pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
BUMDes juga bisa membentuk sewa-menyewa traktor dan fasilitas lainnya untuk penggarapan sawah yang lebih efektif dan efisien. Penulis memprediksi, desa-desa yang memiliki lahan yang signifikan bisa menghasilkan Pendapatan Asli Desa (APDes) melalui inovasi dan upgrade lahan yang bersumber dari BUMDes.
Selanjutnya, perlu menganalisa jenis tanah lahan, untuk menentukan pemilihan bibit yang sesuai. Tidak bisa dipungkiri bahwa tekstur tanah antara satu daerah dengan daerah lain atau antara satu lahan dengan lahan lain memiliki perbedaan. Pemahaman atas jenis tanah dan kesesuaian jenis bibit akan meningkatkan pengahasilan beras. Hal ini berkorelasi dengan siklus pembibitan.
Transformasi Lahan Berkelanjutan
Tantangan besar akuntansi beras di Indonesian adalah lahan berkelanjutan. Khususnya lahan-lahan yang sudah digarap begitu lama dengan bergantung pada penggunaan pupuk kimia. Selain mengancam keberlanjutan lahan, pupuk kimia juga memiliki pengaruh signifikan terhadap beras yang dihasilkan. Efek penggunaan pupuk kimia mengancam bagi keberlanjutan lahan.
Pertama, merusak tabah dan mengganggu keseimbangan unsur hara tanah. Pupuk kimia tidak semua bisa diserap/dimanfaatkan oleh tanaman tetapi masih banyak sisa-sisa kimia yang akan ditingalkan di tanah. Zat kimia yang tersisa akan mengikat molekul tanah sehingga menjadi lengket dan tanah tidak lagi gembur mempunyai rongga udara.
Apabila ini terjadi secara terus-menerus produktivitas dan kinerja lahan akan selalu tergantung pada pupuk kimia dan yang lebih menyakitkan bagi petani setiap musim tanam jumlah dan dosis pupuk harus ditambah untuk mendapatkan peroduktivitas yang sama.
Ini sangat merugikan petani secara finansial. Selain itu zat kimia akan mengganggu keseimbangan unsur hara tanah, jika unsur hara berkurang maka kebutuhan tanaman akan terganggu dan mengakibatkan pertumbuhan dan produktivitas tidak optimal.
Kedua, membunuh organisme dan mikroorganisme tanah. Tanah yang padat/tidak gembur akibat penggunaan pupuk kimia akan mematikan mikroorganisme tanah sehingga penguraian bahan organik tanah akan terganggu akibatnya tanah menjadi tidak subur.
Selain itu binatang tanah seperti cacing, serangga akan mati, dan yang lebih fatal flora fauna perairan akan mati/keracunan karena bahan kimia yang tertinggal dalam tanah seperti Nitrat, Fosfot yang bersifat meracuni bila terbawa air hujan masuk kesungai maka flora fauna diperairan akan musnah.
Ketiga, kesuburan tanah akan menurun. Tanah yang selalu dipupuk dengan pupuk kimia berlebihan mengakibatkan semua mikroorganisme yang membantu dekomposisi( menguraikan ) akan mati sehingga ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman tidak ada.
Keempat, menghambat penyerapan unsur hara oleh akar. Tanah yang selalu diberikan pupuk kimia berkepanjangan maka bagian akar tanaman akan rusak akibat unsur hara yang tertinggal, akibat akar tanaman rusak sehingga penyerapan unsur hara yang dibutuhkan tidak terpenuhi sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu.
Kelima, produktivitas akan menurun dan biaya produksi meningkat. Lahan yang selalu diberikan pupuk kimia tanpa diimbang penggunaan pupuk organik maka produktivitas akan menurun apabila dosis penggunaan pupuk kimia tidak ditambah, dengan adanya penambahan dosis pupuk kimia maka secara otomatis biaya produksi akan meningkat dan akibatnya keuntungan petani akan menurun.
Dampak pupuk kimia secara signifikan berpengaruh terhadap keberlanjutan lahan, begitu pula peningkatan biaya produksi. Biaya produksi yang tinggi dengan harga jual beras yang murah tentu sangat merugikan petani.
Yang mengerikan lagi, pupuk kimia memperpendek masa manfaat ekonomis suatu lahan. Dengan demikian lahan tersebut tidak akan mampu diwariskan dari generasi kegenarasi.
Lantas bagaimana mengembalikan kesuburan lahan? Agar menambah masa manfaat ekonomi yang berkelanjutan? Dari hasil observasi penulis, sudah banyak petani yang menyadari dan memikirkan pentingnya keberlanjutan lahan. Sejalan dengan kesadaran tersebut, terbentuk berbagai komunitas yang tergabung dari aktivis peduli lingkungan yang mengkampanyekan untuk beralih ke pupuk organik.
Selawesi Selatan misalnya, daerah dengan lahan sawah terluas serta penghasil beras terbesar Indonesia bagian timur sudah terbentuk berbagai komunitas yang mengatasnamakan dirinya Komunitas Petani Alamiah. Mereka bekerjasama dengan berbagai Balai Latihan Kerja (BLK) milik Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) untuk mengadakan penyuluhan pembuatan pupuk organik.
Biaya pembuatan pupuk relatif ekonomis, apalagi hampir semua bahannya terdapat di desa. Tidak perlu membeli bahan, cukup memanfaatkan yang ada disekitar kampung. Misalnya sampah organik, kotoran hewan dan lain-lain dengan teknik fermentasi.
Pupuk organik mampu menekan biaya produksi dan mengembalikan kesuburan tanah. Artinya bahwa lahan berkelanjutan bisa diwujudkan dengan kembali ke metode pertanian alamiah. Aspek tersebut tidak lagi hanya terkait dengan akuntansi beras, tapi berkembang pada akuntansi lingkungan,
green accounting, akuntansi bekerlanjutan, Sustainable Development Goals (SDGs) hingga kesejahteraan masyarakat.
Pembukaan Lahan Berkelanjutan
Pemerintahan Presiden Joko Widodo mulai periode pertama dan kedua cukup produktif mencurahkan perhatiannya terhadap pertanian. Terutama dalam pembukaan lahan-lahan pertanian baru, termasuk persawahan.
Tentu ini berangkat dari kesadaran bahwa jumlah penduduk desa semakin meningkat dan butuh pembukaan lapangan pekerjaan melalui pertanian. Apalagi Indonesia masih memiliki cukup lahan untuk dijadikan persawahan.
Jika mengamati dari berbagai pemberitaan, cukup terharu melihat kebahagiaan di muka masayarakat yang mendapatkan sertifikat tanah. Baik tanah yang lama mereka tinggali dan garap namun tidak kunjung memiliki sertifikat, maupun sertifikat atas pembukaan lahan pertanian baru. Hal tersebut menunjukkan komitmen pemerintah dengan dikawal langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Selain itu, nampaknya pemerintah telah melakukan perencanaan yang komprehensif dalam pembukaan lahan sawah dengan memikirkan kinerja dan produktivitas lahan baru. Yaitu dengan membangun berbagai fasilitas penunjang produksi sawah, misalnya perairan/irigasi dan bendungan air untuk persawahan.
Transformasi lahan persawahan adalah upaya untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas lahan yang bertujuan untuk meminimalkan biaya produksi dan meningkatkan produksi beras. Yang lebih penting adalah bagaiman lahan persawahan berkelanjutan dan dapat dinikmati dan diwariskan dari generasi ke genarasi.
*
Penulis Ketua Program Studi Akuntansi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia