Dirut Pertamina Nicke Widyawati dan Komut Pertamina Basuki Tjahja Purnama alias Ahok/Net
Pada Sabtu Malam 1/4 terjadi ledakan di kilang milik unit Pertamina Dumai yang melukai sembilan orang.
Hal ini menambah daftar buruk Pertamina Grup yang punya visi menjadi The Best Global Company in the Region.
Dalam sebulan terakhir, kebakaran di Pertamina sudah mengakibatkan korban luka dan kematian lebih dari 2 lusin korban.
Pada tragedi 3/3 kebakaran di Pertamina Pelumpang terakhir mengakibatkan 20 orang lebih tewas, setelahnya pada 26/3 tewas 3 orang akibat kebakaran di kapal tanker Pertamina dalam perjalanan Bali-Lombok.
Berkali-kali pihak manajemen Pertamina mengatakan bahwa Insiden Pelumpang adalah insiden terakhir. Nyatanya, Sabtu kemarin kembali lagi.
Jelas sudah bahwa kebakaran demi kebakaran bukan karena petir ataupun perubahan cuaca melainkan karena kelalaian Pertamina.
Kebakaran di Pelumpang terjadi karena kelalaian petugas saat sedang mengisi pertamax di tank penyimpanan. Kebakaran Sabtu kemarin diduga karena adanya kelalaian dari operator kompresor gas yang meledak sehingga korban terkena pecahan kaca dan merusak beberapa rumah di kota Dumai.
Bahkan kasus Dumai, Kepala Dinas Disnaker Riau mengatakan tidak pernah ada update laporan K3 dari pihak Pertamina.
Bila dalam kebakaran Pelumpang, pertamina bisa memungkiri untuk disalahkan bahkan dengan kerja para buzzers bayaran menciptakan opini tentang siapa yang mengizinkan adanya pemukiman di sekitar depo apakah Gubernur DKI Jokowi apa Gubernur DKI Anies Baswedan.
Namun isu kebakaran kali ini pihak Pertamina tidak bisa memungkiri bahwa ini adalah kesalahan dan tanggungjawab Pertamina semata.
Pertamina sebagai perusahaan BUMN yang sudah membayar besar para pejabatnya harusnya memastikan seluruh operasi kilang maupun depo nya sudah melengkapi K3 (Keselamatan dan Kesehatan kerja) dengan baik.
Kebakaran Pertamina kerap terjadi karena lemahnya manajemen yaitu Direksi maupun Komisaris dalam melakukan pengendalian dan evaluasi K3 di lingkungan Pertamina.
Bila publik masih mempercayai Direksi dan Pertamina saat ini, artinya publik masih akan menyaksikan kebakaran demi kebakaran di masa depan.
Mereka sudah dikasih kesempatan untuk menghindari kebakaran-kebakaran tersebut namun cara pihak direksi dan komisaris nyata-nya gagal dan tidak layak dilanjutkan.
DPR dan Presiden harus mengevaluasi kinerja Direksi dan Komisaris Pertamina saat ini. Bila perlu mereka di blacklist untuk menjadi direksi dan komisaris di perusahaan BUMN manapun.
Ketegasan harus diperlihatkan oleh pengambil keputusan terutama Presiden dan Meneg BUMN, sebagai pelajaran bahwa jabatan direksi dan komisaris Pertamina bukan balas jasa (free lunch) namun jabatan adalah implementasi tanggungjawab yang harus menjadi teladan mengelola sebuah BUMN.
Kedepan, BUMN Strategis seperti Pertamina tidak boleh diisi oleh orang-orang yang “berjasa†namun harus diberikan kepada mereka yang berdedikasi dan memiliki tanggungjawab tinggi memajukan BUMN.
Setiap kejadian kebakaran, tidak bisa dikambinghitamkan kepada pejabat Pertamina lokal atau cabang melainkan harus dimulai dari mengevaluasi kebijakan makro dari para Direksi dan komisaris mengendalikan keselamatan kerja dibawah grup Pertamina.
Kejadian Dumai terakhir, sudah cukup menjadi alasan bagi aparat penegak hukum untuk mempidanakan para direksi dan seluruh komisaris Pertamina karena kebijakan abai K3, kejadian tersebut terjadi kembali.
Kedepan kebakaran kilang dan depo Pertamina akan terjadi lagi karena tidak ada langkah pencegahan yang signifikan dari para direksi dan komisaris tersebut.
Alangkah malu Presiden Jokowi dan Meneg Bimn Erick Thohir bila membiarkan Direksi dan Komisaris Pertamina tersebut masih menjabat manakala kebakaran yang dijanjikan akan berhenti nyatanya tidak bisa berhenti. Berapa banyak kerugian materi dan nyawa dari kejadian-kejadian kebakaran tersebut.
Bisakah kita disebut manusia manakala jatuh kelubang yang sama untuk kedua kali. Cukup sudah kebakaran terjadi, kini saatnya mengkoreksi keadaan dan mengambil langkah tegas hentikan kebakaran Pertamina tersebut.
*Penulis adalah Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute