Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng/Net
Bagaimana pajak dan bagi hasil batu bara, sawit, dan nikel
WAH! kasus-kasus pajak mulai banyak beredar, viral, pemicunya orang pajak menjadi sorotan publik karena mereka kaya raya. Dugaan banyak sekali pajak yang harus dibayarkan perusahaan di Indonesia, namun tidak sampai ke kas negara, entah belok ke mana? Atau jangan-jangan tidak dibayarkan.
Berbeda dengan swasta, BUMN lain lagi ceritanya, mereka menjadi sasaran pajak. Banyak sekali pajak atau bagian negara lainya yang telah dibayarkan oleh BUMN. Pada saat yang sama, mereka diminta bekerja keras, termasuk mencari uang, memburu investasi, mencari utang, mengejar untung dengan segala macam cara, agar dapat mencapai tujuan pemerintah.
Kenyataan yang cukup berat dihadapi oleh BUMN migas, terutama mereka yang bahu-membahu di hulu migas. Ditekan dengan target produksi satu juta barel minyak sehari yang nantinya diharapkan akan menjadi kebanggan pemerintah Jokowi.
Usaha paling berat dialami oleh Pertamina Hulu Rokan (PHR). Mereka sekarang menjadi tumpuan pemerintah untuk mengejar target produksi minyak nasional 1 juta barel sehari. Padahal Blok Rokan hanya warisan ladang sumur tua warisan Chevron, dengan segudang masalah, termasuk limbah perusahaan warisan pemain lama yang harus diatasi dengan tenaga yang besar.
Bukan hanya harus berkontribusi bagi peningkatan produksi minyak nasional, namun Blok Rokan juga harus berkontribusi terhadap pendapatan negara baik pajak maupun non pajak. Rokan digenjot bekerja demi tercapainya keduanya yakni produksi naik tapi pendapatan negara juga harus naik yang disetor oleh Blok Rokan.
Dua hal yang tentu bertentangan. Blok Rokan sedang menghadapi penurunan alamiah produksi minyak atau natural declining, karena memang sumurnya sudah tua. Usaha mempertahankan produksi yang tetap besar yang membutuhkan ekspansi investasi, peningkatan biaya, berlawanan dengan tekanan untuk menyetorkan uang yang banyak kepada pemerintah.
Ruwet memang investasi migas, dari luar berhadapan dengan tekanan isu transisi energi, dari dalam dipalaki dengan pajak dan iuran macam macam oleh pemerintah. Di awal Blok Rokan telah membayar biaya tanda tangan Menteri ESDM senilai 750 juta dolar untuk mendapatkan alih kelola Blok Rokan dari tangan Chevron.
Setelah blok migas ini dipegang PHR, datanglah berbagai pajak dan pungutan yang harus dibayar. Ibarat kios baru benahi tempat duduk sudah datang preman memalaki minta setoran.
Setahun terakhir sudah Rp 40 triliun dibayarkan oleh Pertamina Hulu Rokan kepada pemerintah. Dana yang cukup besar yang seharusnya bisa menjadi tenaga buat perusahaan untuk memompa minyak untuk keamanan operasi minyak.
Namun sayangnya, uang itu harus berpindah ke tangan pemerintah dan rokan harus memburu investasi, pinjaman, agar tetap bisa membiayai pengeboran dan mempertahankan stabilitas lebih dari 11 ribu sumur minyak yang sudah mulai kehilangan daya dan tenaga.
Seharusnya pemerintah tidak kekurangan uang jika kasus kasus pajak sumber daya alam, yakni batu bara, nikel, sawit, dibereskan agar tata kelolanya semakin baik, transparan dan adil. Namun sayangnya pemerintah malah kere di tengah pesta-pora pengusaha sawit, batu bara dan nikel.
Mungkin karena penguasa sumber daya alam tersebut adalah orang-orang kuat di republik ini. Jadi pemerintah tidak berdaya. Kalau memalaki BUMN ya itu sepertinya sudah tradisi.
Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)