MESTINYA tidak sulit bagi TNI untuk membebaskan pilot Susi Air yang disandera di pedalaman Papua 10 hari lalu. Tapi TNI masih memberikan kelonggaran waktu untuk upaya non-militer.
Bupati Nduga Namia Gwijangge masih melakukan upaya itu. Ia yakin masih bisa "merayu" para penyandera. Ia yakin pilot Philip Max Marthens yang berkebangsaan Selandia Baru itu bisa dibebaskan tanpa serbuan militer.
Penyanderaan memang sudah berlangsung sejak 7 Februari lalu. Yakni sejak pilot tersebut mendaratkan pesawat di bandara kecil Paro, Kabupaten Nduga.
Lima penumpangnya, semua penduduk asli setempat, aman-aman saja. Mereka pulang ke rumah masing-masing. Tapi pilot Philip disandera. Dan pesawat Susi Air jenis Caravan dibakar.
Bandara di daerah kecil nan terpencil seperti Paro memang tidak bisa disebut bandara (
airport). Dalam bahasa Inggris lebih tepat disebut
airstrip. Hanya ada landasan pendek dan bangunan sederhana sebagai terminalnya.
Toleransi waktu itu diberikan, toh diyakini nyawa Philip tidak dalam kondisi terancam. Penyandera berkepentingan untuk menjaga keselamatan Philip. Bahkan memanfaatkannya. Termasuk, ujar penyandera, diminta melatih menerbangkan pesawat.
Itu seperti yang dikatakan juru bicara mereka di berbagai media, tanpa logika yang memadai.
Toleransi itu tentu ada batasnya. Terlalu lama penyanderaan berlangsung bisa merusak Indonesia di dunia internasional. Seolah Indonesia tidak mampu menjaga wilayah kedaulatan. Publikasi penyandera juga bisa kian luas. Misalnya saja mereka bisa mengunggah video ke YouTube dan bicara apa saja di situ. Seperti yang sudah dilakukan mereka. Di video itu Philip terlihat aman di tengah mereka yang bersenjata. Tidak ada ekspresi ketakutan.
Memang Philip dimanfaatkan untuk mengucapkan kata-kata yang mereka inginkan. Tapi Philip terlihat taktis. Misalnya, ia terlihat hanya ikut kata-kata yang didiktekan oleh salah satu penyandera.
Susi Air memang memilih pilot asing untuk menerbangkan Caravan di berbagai wilayah pedalaman. Mulai di Kalimantan, Sumatera sampai Papua.
Kalau Anda ke markas pusat Susi Air di dekat pantai Pangandaran, di situ sering terlihat orang bule. Muda-muda. Tinggi-ganteng. Itulah pilot Susi Air.
Fasilitas latihan pilot pun ada di Pangandaran. Ada kokpit simulator di sana. Juga ada landasan untuk mendarat dan terbangnya pesawat Caravan. Landasan itu hanya berupa lapangan rumput.
Para pilot itu umumnya warga Australia atau Selandia Baru. Mereka adalah pilot yang masih berkepentingan untuk menambah jam terbang. Mereka juga mau mengerjakan apa saja secara sendirian. Tidak hanya pekerjaan pilot. Juga pekerjaan pramugari dan pembersihan pesawat. Tanpa protes.
Pesawat Caravan memang kecil. Berisi 12 penumpang. Di dalam negeri sulit mendapatkan seorang pilot yang mau mengerjakan semua pekerjaan seorang diri seperti itu.
Bandara Paro sendiri berada di satu distrik di Kabupaten Nduga. Kini Nduga masuk provinsi Papua Pegunungan. Anda sudah tahu: sejak November lalu provinsi Papua dipecah: Papua, Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Selatan. Dengan demikian kini ada 5 provinsi di Papua: Papua Barat sudah lebih dulu terpisah.
Ibu kota provinsi Papua Pegunungan ini adalah kota Wamena. Distrik Paro jauh sekali di bagian barat provinsi. Berbatasan dengan Papua Barat.
Pemerintah Presiden Jokowi merencanakan membangun jalan dari Paro ke Wamena. Lewat gunung-gunung tinggi yang sulit. Lantas pemerintah juga merencanakan membangun pelabuhan di dekat Paro. Yakni pelabuhan Mumugu. Itu pelabuhan sungai. Di tepian sungai Pomats.
Anda juga sudah tahu: Sungai Pomats bermuara di sungai Lorentz. Pomats dan Lorentz bertemu di pantai laut Arafuru: di tengah-tengah antara Timika dan Merauke.
Pelayaran dari muara ini, ke pelabuhan baru Mumugu, mungkin perlu waktu dua harmal. Jauh sekali. Pakai kapal kecil. Melewati sungai Pomats yang besar, panjang dan sunyi.
Tapi hanya jalan inilah kemungkinan terbaik saat ini. Untuk bisa mengirim barang ke pegunungan tengah Papua: ke Wamena dan sekitarnya.
Barang dari Jawa dikirim ke pelabuhan Sorong atau Timika. Lalu dipindah ke kapal kecil. Dibawa menyusuri pantai Papua lalu masuk ke sungai Pomats yang sunyi. Dua harmal kemudian sampailah barang itu ke pelabuhan Mumugu.
Lalu, kalau jalan darat menuju Wamena sudah jadi, barang itu dikirim pakai truk sampai ke Wamena.
Jalan yang masih harus dibangun adalah yang membelah Kabupaten Nduga ini saja. Dari bagian timur Nduga ke Wamena sudah ada jalan. Mobil tertentu sudah bisa lewat: 6 jam. Itu dialami sendiri oleh Sahabat
Disway di Wamena. Ia menuju Distrik Mbua di kabupaten Nduga Timur.
Tapi dari Nduga bagian timur ke Nduga bagian barat masih harus jalan kaki: dua harmal. Berarti kalau kelak ada jalan mungkin bisa ditempuh dalam lima jam saja. Total, dari pelabuhan baru pinggir sungai ke Wamena bisa 12 jam.
Pasukan Marinir sudah hafal dengan pelayaran di sungai Pomats ini. Ada ekspedisi reguler TNI-AL di sungai ini. Dari muara ke hulu. Dari hulu ke muara.
Misalnya yang dilakukan Satgas Muara Perairan Yonif 3 Marinir Pasmar 2 tahun lalu. Ada pos TNI-AL di pedalaman sungai itu. Yakni Pos Quary Bawah, Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga. Di sini pula dua anggota TNI-AL tewas tahun lalu: Letda Marinir Muhammad Ikbal dan Pratu Marinir Wilson Anderson Here.
Pos itu tidak terlalu jauh dari bandara Paro. TNI sangat menguasai wilayah ini. Hanya saja TNI masih memberi kesempatan kepada kepada Bupati Dwijangge untuk menjalin kontak dengan penyandera.
Rupanya bupati mengenal mereka. Bupati juga tahu sifat-sifat mereka. Belum tentu pula motif penyanderaan itu untuk kepentingan politik merdeka. Memang yang disuarakan soal itu tapi ini bisa saja mirip parpol yang membawakan ayat-ayat agama untuk kepentingan partai.
Karena itu respons dunia internasional juga sangat minim. Selandia Baru sendiri menganggap ini urusan intern Indonesia. Sikap Selandia Baru jelas: mendukung Indonesia.
Maka kalau mereka langsung diserbu dan dimusnahkan, bisa jadi justru negatif di mata internasional. Tapi kalau dibiarkan berlarut juga merugikan.
TNI tahu kapan harus memainkan perannya.