Tidak cukup dengan mencopot Hakim Aswanto, DPR juga menyasar perubahan terhadap Undang Undang 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Sejumlah poin perubahan sudah dirumuskan sebagai agenda revisi.
Pertama, persyaratan batas minimal usia hakim MK. Kedua, evaluasi kehakiman. Ketiga, unsur keanggotaan majelis kehormatan MK, dan keempat adalah penghapusan ketentuan peralihan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK.
Kita menghargai hak konstitusional kelembagaan DPR untuk mengusulkan revisi undang-undang. UU MK juga sudah mengalami perubahan ketiga sampai saat ini. Perubahan pertama dalam UU 8/2011, perubahan kedua dalam UU 1/2013, dan terakhir dalam UU 7/2020. Saat ini pun Komisi III DPR sudah menerima daftar inventarisasi masalah (DIM) rancangan perundang-undangan dari pemerintah. Artinya, syarat tindak pembahasan selanjutnya sudah terpenuhi.
Secara normatif, revisi terhadap suatu undang-undang dilakukan untuk menjawab kebutuhan hukum yang dinamis terhadap kondisi faktual. Artinya, melakukan kebaruan sistem dengan cara berhukum kekinian. Tapi RUU MK saat ini sarat dengan agenda kepentingan DPR. Pasalnya, agenda perubahan UU MK tidak dapat dipisahkan dengan kasus pencopotan Hakim Aswanto yang menyisakan polemik.
Secara substansi kita belum mengetahui dengan pasti poin perubahan yang diagendakan DPR; menyisipkan pasal baru atau membatalkan pasal yang berlaku, semua masih cenderung abu-abu. Tapi setidaknya ada polemik jika melihat kecenderungan politis DPR saat ini, poin evaluasi kehakiman sebagai agenda revisi.
Polemik terlihat dari pernyataan DPR terhadap kebutuhan sistematisasi poin evaluasi kehakiman. Pernyataan ini disampaikan oleh DPR melalui anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Bambang Wuryanto. Dia mengatakan, "Mengevaluasi hakim-hakim yang tidak menjalankan tugasnya. Nah, tugas-tugasnya peraturan MK sekarang, kita baca semua, supaya kita
clear di dalam membuat UU, tidak di
judicial review mulu, DPR malu," (
Kompas, 16/2).
Poin evaluasi kehakiman diakui bersangkut erat dengan pemberhentian Aswanto yang sering kali membatalkan undang-undang inisiatif dari DPR. Padahal, di satu sisi Aswanto adalah hakim konstitusi yang diusulkan oleh DPR. Wuryanto juga menyebut kesalahan MK dalam membatalkan UU Cipta Kerja yang cacat formil yang menjadikan legal konstitusional UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) sebagai acuannya. Bagi Wuryanto, menguji konstitusionalitas UU Cipta Kerja itu harus dengan UUD 1945 NRI, bukan sesama undang-undang.
Ada dua kesalahan yang dilakukan oleh DPR di sini. Pertama, kesalahan melihat kewenangan hakim konstitusi secara delegatif. DPR tidak melihat hakim MK sebagai kewenangan atributif yang mengacu pada UUD 1945 NRI atau UU Kuasa Kehakiman. Artinya, masing-masing hakim MK yang diusulkan oleh sejumlah lembaga memiliki makna kuasa representatif dari lembaga bersangkutan. Ini terlalu naif jika dilihat dari potret tata kenegaraan kita.
Konsep eksotis dari MK sebagai penafsir tunggal konstitusi (
the soul interpreter of contitution) dan penjaga konstitusi (
the guardian of contitution) hanya fatamorgana belaka jika hakim konstitusi dilihat sebagai domain representasi kelembagaan. MK tidak bisa lagi independen secara kelembagaan di satu sisi dan tidak imparsial secara kuasa kehakiman di sisi yang lain. Terdapat bayang-bayang dominasi dan intervensi institusional dari lembaga yang menunjuknya.
Kesalahan kedua adalah kegagalan DPR memahami objek pengujian terhadap suatu produk undang-undang. Aileen Kavanagh (2018) menyebut ada dua pertimbangan kewenangan dalam putusan oleh hakim konstitusi (
judicial activism), yaitu
substantive reason dan
institutional reason. Alasan substantif adalah putusan dengan pertimbangan muatan materi terhadap spirit konstitusional (UUD 1945 NRI), sedangkan alasan institusional adalah putusan yang berdasar pada alur cakupan kewenangan institusional (Andri Mahakam, 2018).
Putusan inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja adalah uji formil yang memotret UU tersebut dalam prosedur pembuatannya. UU Cipta Kerja dianggap cacat formil karena tidak ada landasan hukum yang mengakomodir metode omnibus law yang digunakan dalam pembuatan UU Cipta Kerja. Jadi UU Cipta Kerja bukan uji materi yang harus disandingkan dengan UUD 1945 NRI, melainkan uji formil yang masuk dalam cakupan kewenangan MK (
institutional reason).
DPR salah jika UU P3 dinilai sebagai batu uji dari UU Cipta Kerja. Pasalnya, UU tersebut hanya pokok alur pembuatan peraturan yang sah sebagai legitimate dasar hukum. Legitimasi hukum inilah yang dijadikan norma pertimbangan dalam memutus inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja karena tidak memiliki sandaran dan standar pembuatan hukum.
Walhasil, pertimbangan batu ujinya bukan UU P3, melainkan absennya asas legalitas sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 NRI Pasal 1 ayat (3); “Negara Indonesia adalah negara hukum.â€
Dengan fakta politis tersebut, revisi UU MK sebenarnya tidak lain adalah bentuk usaha pelemahan konstitusi. Hal itu terlihat jelas dari poin evaluasi kehakiman yang menjadi bagian dari agenda perubahan UU MK yang cenderung politis dan normatif. Konstitusi kita sublim nilainya, revisi terhadap UU lembaga yang menjaga konstitusi harus benar-benar sesuai kebutuhan hukum, bukan menganulir kekuatan hukumnya.
Salam Konstisi.
Penulis adalah mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta