Berita

Media Sosial/Net

Publika

Bingkai Gaya Hidup Gemerlap dalam Sorot Media Sosial

SELASA, 18 OKTOBER 2022 | 09:10 WIB | OLEH: YUDHI HERTANTO

“…Di depan ada polantas
Wajahnya begitu buas
Tangkap aku
Tawar menawar harga pas tancap gas…”
Kereta Tiba Pukul Berapa, Iwan Fals, 1983

Imajinasi itu bisa jadi masih sama. Apa yang diilustrasikan dalam lagu tersebut, masih melekat kuat di benak masyarakat. Petugas dan pejabat, seolah menjadi musuh dalam selimut. Padahal, para pelayan publik merupakan sarana bantu, dalam mengurai persoalan serta hajat umum.


Tetapi persepsi yang ideal, kerap kali menjadi persoalan pada tataran realita. Beban publik menjadi bertambah, ketika ekspektasi akan wajah ramah pejabat dan petugas jarang ditemui di kehidupan nyata, sebaliknya justru berpotensi menambah masalah baru. Berbelit.

Berurusan dengan pejabat dan petugas, menjadi sedemikian menakutkan. Dalam bayangan publik, berurusan dengan kedua kriteria itu menghabiskan waktu dan biaya. Sebaiknya menghindar. Padahal eksistensi pejabat dan petugas, sejatinya memudahkan masalah publik.

Kali ini, sorotan tajam publik tertuju pada korps kepolisian. Meski pada hakikatnya, publik juga memiliki rekognisi kewaspadaan yang kuat dan serupa bagi seluruh pihak, yang menyandang label sebagai pemangku keputusan dalam berbagai level. Ketidakpercayaan menguat.

Institusi pelindung dan pengayom masyarakat, berhadapan dengan jebloknya citra, kehilangan kepercayaan dan simpati publik sebagai basis legitimasi. Rentetan kejadian menimbulkan coreng di muka organisasi. Sebut saja judi, narkoba, kerusuhan, serta pembunuhan berencana.

Bila sudah demikian, apa yang perlu mendapatkan perhatian dan ditindaklanjuti?

Kejujuran dan kemauan untuk bertransformasi serta mereformasi organisasi menjadi kunci utama. Pada dua ranah (i) struktural dan (ii) kultural pola perubahan itu harus dimulai. Pada aspek struktural, mekanisme pengawasan dan pelaporan kinerja berjenjang perlu dibenahi.

Di wilayah kultural, upaya untuk mendorong terbentuknya sikap melayani perlu diboboti dengan transparansi, penting untuk ditekankan sebagai budaya organisasi. Perubahan dapat terjadi baik secara internal melalui regulasi, ataupun paksaan eksternal semisal rating publik.

Pertemuan Presiden dengan jajaran kepolisian, menjadi penting dan menarik. Menilik amanat yang disampaikan, termasuk perihal gaya hidup dan media sosial, hal tersebut merupakan bentuk pernyataan bahwa institusi kepolisian sesungguhnya memiliki peran signifikan bagi kehidupan bangsa.

Tersebab itu, dengan kekuasaan besar yang dimiliki, terdapat tanggung jawab yang harus ditampilkan. Kerja keras dan kehendak berubah adalah keharusan yang tidak bisa ditawar untuk mengubah persepsi negatif di tengah publik.

Lantas mengapa lifestyle menjadi hal awal yang disebut Presiden? Kita memahami bias dari ekspose kehidupan gemerlap para pejabat dan petugas, dapat menimbulkan antipati publik. Terlebih, media sosial memberikan ruang viralitas, untuk berbagai hal dalam percakapan maya.

Kehadiran media sosial, memang membuka ruang bagi upaya memperlihatkan pencapaian serta eksistensi diri, celah narsisme untuk mendapatkan likes menjadi pemicu. Hidup yang bermewah-mewah menjadi gambaran kesuksesan yang mengundang decak publik.

Tidak ada yang salah dalam ruang pamer media sosial. Kesalahan terbesar terjadi ketika pengguna media sosial, mulai mengupayakan berbagai cara yang tidak sepatutnya, untuk mendapatkan apresiasi publik. Di sini letak timbangan etika dan moralitas berperan.

Sebagaimana film dokumenter Netflix, The real Bling Ring: Hollywood Heist, 2022, media sosial berubah menjadi medan pencarian ketenaran, dan pencapaian untuk menjadi sosok yang “tenar” serta dipandang oleh pihak lain, acap kali terjadi dengan melakukan kejahatan.

Dalam diagram hierarki Maslow, puncak tertinggi dari kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri yang lebih tinggi dari sekedar penghargaan. Bila dimaknai secara keliru, kita akan mudah terpeleset di media sosial dengan mempertontonkan kemampuan fisik.

Padahal aktualisasi diri dalam format Maslow memberikan efek kesadaran yang tertinggi pada kemampuan manusia untuk bersyukur, bahkan mampu memahami dan menerima realitas diri serta lingkungannya, dengan kualitas terbaik dalam kejujuran serta keadilan, bukan kebendaan.

Jadi hati-hati, kita justru dengan mudah tergelincir dalam jurang ukuran kepemilikan fisik dibandingkan kesadaran akan peran, tugas dan tanggung jawab kita untuk bekerja dengan baik dalam memberikan pelayanan publik. Semoga bisa segera dibenahi.

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

UPDATE

Prabowo-Gibran Perlu Buat Kabinet Zaken

Jumat, 03 Mei 2024 | 18:00

Dahnil Jamin Pemerintahan Prabowo Jaga Kebebasan Pers

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:57

Dibantu China, Pakistan Sukses Luncurkan Misi Bulan Pertama

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:46

Prajurit Marinir Bersama Warga di Sebatik Gotong Royong Renovasi Gereja

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:36

Sakit Hati Usai Berkencan Jadi Motif Pembunuhan Wanita Dalam Koper

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:26

Pemerintah: Internet Garapan Elon Musk Menjangkau Titik Buta

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:26

Bamsoet Minta Pemerintah Transparan Soal Vaksin AstraZeneca

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:16

DPR Imbau Masyarakat Tak Tergiur Investasi Bunga Besar

Jumat, 03 Mei 2024 | 17:06

Hakim MK Singgung Kekalahan Timnas U-23 dalam Sidang Sengketa Pileg

Jumat, 03 Mei 2024 | 16:53

Polisi Tangkap 2.100 Demonstran Pro-Palestina di Kampus-kampus AS

Jumat, 03 Mei 2024 | 16:19

Selengkapnya