Berita

Ketua Komite Eksekutif KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) Adhie M. Massardi/Net

Politik

Logika Hukumnya Ngaco, RKUHP Harus Ditolak!

SENIN, 11 JULI 2022 | 11:21 WIB | LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL

Logika hukum dalam RKUHP, terutama terkait pasal pemidanaan bagi “penghina”  pejabat publik, mulai dari presiden, wakil presiden hingga bupati dan anggota DPR dinilai ngaco dan harus ditolak.

Ketua Komite Eksekutif KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) Adhie M. Massardi secara tegas menyatakan bahwa RKHUP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang draf finalnya sudah diserahkan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej mewakili pemerintah kepada DPR RI harus ditolak, dan dibahas lagi secara terbuka di publik.

Alasannya, karena logika hukum yang dipakai dalam RKUHP itu sudah kacau. Terutama pada pasal-pasal pemidanaan bagi yang dianggap ‘menghina’ pejabat publik, mulai dari presiden, wakil presiden, gubernur, bupati, walikota, anggota legislatif (DPR/DPRD), bahkan juga polisi.


Adhie memberi contoh Pasal 353 yang berbunyi, “setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”

Menurut Adhie, logika ngaco terbaca pada penjelasan pasal 353 tersebut, yakni “ketentuan ini dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati, oleh karena itu perbuatan menghina terhadap kekuasaan umum atau lembaga tersebut dipidana berdasarkan ketentuan ini. Kekuasaan umum atau lembaga negara dalam ketentuan ini antara lain Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, polisi, jaksa, gubernur, atau bupati/walikota."

“Kita jangan bahas dulu pemidanaan kepada orang yang divonis menghina presiden dan wakil presiden yang konon ancamannya lebih dari 3 tahun penjara, yang lebih ngaco lagi,” katanya kepada Kantor berita Politik RMOL, Senin (11/7).

Di Sini Ngaconya

Jubir Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang kegeramannya pada RKUHP juga disampaikan melalui puisi berjudul Sajak untuk Melawan Undang-undang ini mencatat 4 (empat) hal yang mencerminkan kengacoan acuan pembuatan RKUHP ini.

Pertama, karena sejak awal draft RKUHP ini tidak transparan, ada kemungkinan pembuatannya mengabaikan hierarki tata hukum di negara kita yang harus mengacu kepada 1. Pancasila, 2. UUD 1945, dan 3. Tap MPR.

Kedua, rakyat sudah sepakat menetapkan pemerintahan ini berjalan dalam koridor demokrasi. Untuk itu rakyat membiayai sangat mahal demokrasi elektoral (pemilu) sebagai prosesi penobatan pejabat publik, mulai dari presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota, juga anggota legislatif (DPR dan DPRD).

Biaya (finansial dan sosial) untuk menyelenggarakan demokrasi elektoral ini merupakan “investasi” (saham) rakyat pada sistem kekuasaan pemerintahan. Memang mahal.

Apalagi pada 2019 rakyat harus “membayar” dengan sekitar seribu (kurang lebih 1000) nyawa anggota masyarakat yang turus menjalankan tugas nyelenggarakan pemilu. Semua itu dimaksud agar rakyat memiliki kekuasaan untuk mengontrol jalannya kekuasaan pemerintahan. Ini pelajaran demokrasi paling elementer.

Ketiga, rakyat Indonesia itu sangat heterogen dalam berbagai hal: etnis, bahasa, budaya, agama, golongan, dll. Maka dalam melakukan kontrol dan pengawasan, juga kritik, bias sangat multi cara. Maka ada kemungkinan pejabat publik dari etnis, agama, suku dan udaya berbeda bisa merasa dihina dengan kritikan rakyat. Bisa mengadu kepada polisi, dan polisi bisa menjarakan si pengeritik.

Keempat, jika ketentuan ini dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati, bukan mengancan pidana rakyat yang notabene pemegang saham terbesar dalam sistem kekuasaan pemerintahan demokrasi.

Melainkan memperketat pengawasan kepada para pejabat publik untuk menjalankan amanat undang-undang secara konsiten, agar rakyat sebagai pemegang saham terbesar mempercayai si pejabat untuk memanggku jabatan yang lebih tinggi.

UU Etika Pejabat Publik Jauh Lebih Penting

Menurut Adhie, memaksa rakyat untuk menghormati kekuasaan umum atau lembaga negara dengan berbagai ancaman (hukum) seperti tercantum dalam RKUHP ini benar-benar anti-logika. Melawan ketentuan dan tradisi/kebiasaan ketatanegaraan negara demokrasi di seluruh dunia. “Karena itu, lebih brutal dari pemerintahan zaman kolonial.”

Adhie sepakat bahwa semua lembaga negara, terutama yang pejabatnya dipilih rakyat secara langsung melalui emokrasi elektoral, harus dijaga kewibawaan, kehormatan dan kesuciannya.

“Tapi jangan ngaco, bukan rakyat yang harus menjaga kehormatannya, tapi pejabat yang menduduki jabatan (di lembaga negara) itu. Dia tidak boleh cacat sedikitpun di mata rakyat, di mata publik. Jika integritas moralnya cacat, sedikit saja, dia harus berpikir untuk lekas mundur sebelum rakyat mengeritik dan menghinanya secara terbuka,” tegasnya.

Lembaga negara, jabatan publik, memang harus diperlakukan seperti kitab suci. Dijaga secara seksama. Akan tetapi, sambungnya, sebelum menyentuh kitab suci itu, semua pihak harus dalam keadaan bersih untuk menjaga kesuciannya.

Menurut Adhies, ada peringatan langsung dan tepat waktu untuk nelanjangi para perancang RKUHP, yaitu skandal Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Kedudukan PM Inggris itu mulia, bergengsi, bermartabat.

Maka ketika Boris Johnson dianggap mengotori kehormatan kursi PM Inggris, maka publik menuntutnya untuk mundur. Dan sesuai dengan konsekuensi tata nilai demokrasi, Boris Johnson pun mundur.”

“Bayangkan, jika RKUHP itu jadi UU resmi dan diberlakukan di Inggris, maka puluhan menteri yang mengundurkan diri, dan masyarakat Inggris yang dianggap menghina Boris dan rekannya (Chris Pincher) karena ngungkap skandal pelecehan seksual LGBT, bakal pada masuk bui!” tegasnya.

Karena itu, untuk menjaga kehormatan lembaga negara dan kekuasaan umum, bukan bikin ancaman kepada rakyat, justru yang dibutuhkan bangsa ini adalah UU Etika Pejabat Publik.

“Yang ada pasal pemaksaan mundur jika dia menistakan kedudukannya sebagai pejabat publik dengan nyopet uang rakyat, ingkar janji atau berbohong,” demikian Adhie.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

UNJ Gelar Diskusi dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10

Skandal Sertifikasi K3: KPK Panggil Irjen Kemnaker, Total Aliran Dana Rp81 Miliar

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04

KPU Raih Lembaga Terinformatif dari Komisi Informasi

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41

Dipimpin Ferry Juliantono, Kemenkop Masuk 10 Besar Badan Publik Informatif

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13

KPK Janji Usut Anggota Komisi XI DPR Lain dalam Kasus Dana CSR BI-OJK

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12

Harga Minyak Turun Dipicu Melemahnya Data Ekonomi China

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03

Kritik “Wisata Bencana”, Prabowo Tak Ingin Menteri Kabinet Cuma Gemar Bersolek

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56

Din Syamsuddin Dorong UMJ jadi Universitas Kelas Dunia di Usia 70 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54

Tentang Natal Bersama, Wamenag Ingatkan Itu Perayaan Umat Kristiani Kemenag Bukan Lintas Agama

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46

Dolar AS Melemah di Tengah Pekan Krusial Bank Sentral

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33

Selengkapnya