Berita

Ilustrasi/Net

Dunia

Dugaan Kerja Paksa di Dalam Tahanan, Kelompok HAM Desak AS Larang Jaring Impor dari Thailand

SABTU, 19 FEBRUARI 2022 | 23:42 WIB | LAPORAN: RENI ERINA

Kelompok hak asasi manusia mendesak Washingtong untuk tidak lagi membeli jaring ikan yang berasal dari dua pemasok Thailand, menyusul penyelidikan Thomson Reuters Foundation terhadap dugaan adanya kerja paksa di dalam tahanan.

Yayasan Thomson Reuters dalam investigasinya pada Desember, menemukan bahwa penjara di seluruh Thailand memaksa tahanan membuat jaring ikan untuk perusahaan swasta, termasuk untuk diekspor  ke Amerika Serikat.

Mantan tahanan yang diwawancarai Reuters mengatakan, para tahanan harus memenuhi target pengerjaan. Jika tidak, maka penjaga penjara memukuli mereka, melarang mereka mandi, dan menunda tanggal pembebasan.


Berdasar penemuan itu, kelompok hak asasi manusia Thailand dan internasional mendesak Amerika Serikat untuk menghentikan impor jaring yang dibuat di penjara.

“Ini hanyalah salah satu dari banyak contoh bagaimana perusahaan multinasional menjelajahi dunia untuk mendapatkan produk dengan harga terendah, tetapi membebaskan diri mereka dari tanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang mereka lakukan,” kata Jennifer Rosenbaum, direktur eksekutif dari organisasi buruh Global Labor Justice-International Labor Rights Forum (GLJ-ILRF), seperti dikutip dari Bangkok Post, Sabtu (19/2).

Pekan lalu, organisasi hak-hak buruh dan koalisi 31 kelompok masyarakat sipil Thailand dan internasional, mengajukan petisi ke Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP) AS, untuk menghentikan jaring yang dibuat dari pekerja penjara.

Ini juga berarti menyerukan penghentian impor jaring yang mungkin diproduksi menggunakan tenaga kerja penjara oleh dua perusahaan Thailand: Khon Kaen Fishing Net (KKF) dan Dechapanich Fishing Net.

KKF telah menanggapi dengan mengatakan pihaknya akan memutuskan hubungan dengan penjara mana pun yang ditemukan menggunakan kerja paksa. Sejauh ini, mereka hanya menjual jaring ikan buatan penjara di Thailand dan di tempat lain di Asia Tenggara.

"Perusahaan belum menjual produk apa pun ke Amerika Serikat sejak 2020," kata Bordin Sereeyothin, kepala pemasaran KKF.

Bordin mengatakan dia khawatir larangan AS terhadap jaringan perusahaan dapat menyebabkan orang-orang kehilangan pekerjaan di Thailand.

“Jika larangan diberlakukan, saya khawatir itu akan mempengaruhi bisnis dan pekerjaan Thailand, dan ini hanya karena gara-gara perbuatan oknum tertentu,"  katanya kepada Thomson Reuters Foundation.

“Kami menghindari segala bentuk penyiksaan dan hal-hal yang berbahaya. Kami akan memutuskan hubungan dengan salah satu dari 42 penjara yang memiliki kontrak dengan kami jika kerja paksa ditemukan," ujarnya.

Dia menambahkan bahwa perusahaan telah meminta Departemen Pemasyarakatan untuk membuat standar upah bagi tahanan yang membuat jaring ikan di seluruh negeri sebagai bagian dari program kerja penjara.

Belum ada komentar dari Departemen Pemasyarakatan, tetapi sebelumnya telah membantah tuduhan kerja paksa.

Program kerja penjara dimaksudkan untuk memberikan pelatihan di tempat kerja yang dapat membantu narapidana mendapatkan pekerjaan yang dibayar setelah mereka dibebaskan, menurut materi promosi dari Departemen Pemasyarakatan.

Tetapi kelompok hak asasi mengatakan itu telah menjadi eksploitatif, dengan alasan upah rendah, kondisi kerja yang keras dan penggunaan hukuman ketika pekerja tidak memenuhi kuota.

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Pemkot Bogor Kini Punya Gedung Pusat Kegawatdaruratan

Senin, 29 Desember 2025 | 10:12

Dana Tunggu Hunian Korban Bencana Disalurkan Langsung oleh Bank Himbara

Senin, 29 Desember 2025 | 10:07

1.392 Personel Gabungan Siap Amankan Aksi Demo Buruh di Monas

Senin, 29 Desember 2025 | 10:06

Pajak Digital Tembus Rp44,55 Triliun, OpenAI Resmi Jadi Pemungut PPN Baru

Senin, 29 Desember 2025 | 10:03

Ketum KNPI: Pelaksanaan Musda Sulsel Sah dan Legal

Senin, 29 Desember 2025 | 09:51

Bukan Soal Jumlah, Integritas KPU dan Bawaslu Justru Terletak pada Independensi

Senin, 29 Desember 2025 | 09:49

PBNU Rukun Lagi Lewat Silaturahmi

Senin, 29 Desember 2025 | 09:37

PDIP Lepas Tim Medis dan Dokter Diaspora ke Lokasi Bencana Sumatera

Senin, 29 Desember 2025 | 09:36

Komisi I DPR Desak Pemerintah Selamatkan 600 WNI Korban Online Scam di Kamboja

Senin, 29 Desember 2025 | 09:24

Pengakuan Israel Atas Somaliland Manuver Berbahaya

Senin, 29 Desember 2025 | 09:20

Selengkapnya