Berita

Ilustrasi perkampungan warga/Net

Publika

Indonesia Tanah Air Siapa?

Oleh: Yusuf Blegur*
RABU, 15 DESEMBER 2021 | 11:13 WIB

AIR beli, tanah beli, pekerjaan juga beli. Rakyat juga harus membeli kesehatan dan pendidikan. kontitusi pun juga harus dibeli. Bahkan aparat juga bisa dibeli. Jangan-jangan akan ada saatnya rakyat harus membeli sekadar untuk tidur dan mimpinya.

Kalau semua yang ada di negeri ini harus dibeli, lantas apa yang gratis dan bisa dimiliki rakyat? Sementara sejauh ini, semua yang dibeli rakyat itu kini dikuasai dan dimiliki segelintir orang, perusahaan dan pejabat-pejabat tertentu. Sebenarnya Indonesia itu punya siapa? Punya rakyat atau oligarki?

Masa-masa perjuangan pergerakan hingga mencapai kemerdekaan RI harus dibayar dengan cucuran keringat dan darah. Bahkan tidak terhitung nyawa harus dikorbankan. Semua pemberian rakyat yang yang tak bisa dinilai dan digantikan dengan uang dan materi apapun.


Rakyat bersama para pemimpin-pemimpin kebangsaan mengobarkan perang suci yang menggetarkan langit dan bumi. Bukan hanya pekik merdeka, hidup mulia atau mati syahid. Takbir Allahu Akbar menggema di seantero nusantara, tatkala keyakinan menyatu dengan nasionalisme dan patriotisme untuk melenyapkan penjajahan.

Ada semangat spiritualitas dan trasedental yang menyelimuti perjuangan dan pengorbanan rakyat saat itu. Mungkin yang demikian itu sesungguhnya menjadi kekuatan. Saat logika dan rasionalitas tak mampu menghadapi kedigdayaan kolonialisme dan imperialisme.

Perlawanan terhadap penjajahan yang dilandasi karena mengharapkan keridhoan Allah aza wa jalla. Memiliki kesadaran dan keinsyafan pada amar maruf nahi munkar, telah menjadikan keadaan rakyat yang serba terbatas dan kekurangan itu. Mampu melahirkan negara Indonesia yang merdeka. Betapa sejarah negeri ini memang tidak bisa dipisahkan dengan peran penting Islam, meskipun sistem politiknya memisah relasi agama dan negara.

Pasca itu, setelah 76 tahun melewati masa kegelapan. Selama hayat masih dikandung badan, selama itu pula rakyat hidup terjajah meskipun dalam alam kemerdekaan. Apa yang telah dikorbankan rakyat bersama para pendahulunya, nyaris tak bermakna dan meninggalkan kegetiran. Warisan kemerdekaan Indonesia tidak sepenuhnya bisa dinikmati rakyat dan generasi penerusnya.

Tak ada lagi jembatan emas yang mampu menyeberangi suatu tempat bagi rakyat merasakan kemakmuran dan keadilan. Negara merdeka yang ada sekarang tak ubahnya jurang curam dan dalam bagi ketertindasan dan penderitaan rakyat. Hidup dalam kemiskinan dan kebodohan.

Seiring itu, kekayaan alam yang hakikatnya milik rakyat telah dirampas oleh negara asing dan sebagian kecil bangsanya sendiri. Tak cukup sampai disitu, para pemimpin yang berpakaian pejabat dan politisi telah mewujud sebagai komprador bagi kepentingan kekuasaan nekolim. Bersama negara asing, kelompok non state dan  korporasi transnasional. Indonesia kembali memasuki fase penjajahan klasik di era modern.

Republik Renta dan uzur


Perlahan dan terus masif mengalami kemunduran dan keterbelakangan. Negeri ini hanya bisa menampilkan mayoritas distorsi. Dilingkupi kejahatan dan kebiadaban lainnya baik secara kualitas maupun kuantitas. Indonesia seperti sedang mengalami kesengsaraan hidup rakyatnya yang hampir sempurna.

Bukan hanya demokrasi yang mengusung rakyat sebagai pemilik kebebasan dan kedaulatan. Semua yang menjadi hak dan kewajiban rakyat juga mengalami disfungsi. Rakyat tak pernah berhenti sejenak sekalipun dari  korban eksploitasi rezim.  Setap waktu dipaksa untuk menerima dan pasrah dari pelbagai 'abuse of power'.

Bukan hanya konstitusi dan pelbagai turunannya yang mengalami rekayasa dan sabotase. Kekuasaan juga membenturkan agama dengan radikalisme dan fundamentalisme negara. Demi kepentingan materialistik, rezim telah membuat Islam berhadap-hadapan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Lewat kamuflase dan manipulasi, kekuasaan rajin menstigma jahat, politik identitas,  gerakan membangun demokrasi dan semua kekuatan perubahan lainnya. Rezim telah  menciptakan konflik agama dan konflik kebangsaan. Beretorika dan menggiring kebijakan negara anti khilafah, populisme Islam dan nilai-nilai moral lainnya. Namun sejatinya rezim pemerintahan ini menjadi budak yang loyal bagi kapitalisme dan komunisme global.

Dengan upaya yang terukur, sistematik dan terorganisir untuk  membangun marginalisasi dan deislamsasi. Sesungguhnya pemerintahan mencoba memisahkan negara dengan rakyatnya. Bukan hanya sekulerisasi dan liberalisasi agama. Kekuasaan juga terang-terangan merampas dan merampok segala milik rakyat yang ada pada negara. "Bumi dan air dan kekakayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai  negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Amanat konstitusi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 33, ayat 3 itu, telah berubah menjadi mitos.

Ia hanya mimpi dan utopis di dunia nyata. Kekuasaan juga telah membelenggu suara, pikiran dan tindakan rakyat atas nama kesinambungan jabatan dan menumpuk-numpuk harta. Rakyat tak ubahnya budak di hadapan rezim ini. Terpinggirkan dan terus mengalami diskriminasi politik, ekonomi, hukum dll. Hanya ada kata menurut dan mematuhi peraturan. Diluar itu,  akan ada tindakan represif, pemenjaraan dan jika diperlukan menghadirkan kematian.

Rakyat Indonesia memang telah kehilangan negara. Apa yang ada dalam negara dengan segala fasilitas, jaminan hidup dan kelayakan masa depan tak lagi dimiliki rakyat. Semua potensi kebaikan yang ada dalam negara telah dimiliki asing, aseng dan bromocorah lokal. Konspirasi global bertemu dengan para penjilat dan penghianat bangsa,  semakin memastikan ironi negeri. Korupsi dan tindakan sewenang-wenang telah menjadi habit dan serba permisif bagi para penyelenggara negara dan kongsi bisnisnya.

Semakin renta dan uzur Indonesia menapaki jalan kebangsaan. Republik ini terlalu banyak memakan racun ideologi dunia. Tubuhnya mengidap penyakit kronis dan akut. Bahkan untuk nengobatinya, negeri ini tak punya apa-apalagi. Bukan hanya biaya, bahkan keberanian untuk sembuh dan pulihpun tidak ada. Kekhawatiran dan ketakutan terus menghidupi meski tetap berada diantara hudup dan mati. Hidup dan mati entah secara alami atau entah karena persoalan struktural, karena kekuasaan.

Sudah mayoritas miskin, bodoh dan terbelakang. Indonesia juga terpuruk karena kesakitannya. Tak punya apa-apa lagi sebagai rakyat di negeri ini. Kemana lagi rakyat harus bertanya dan mengadu. Masih adakah dan kemana rakyat dan pemimpin-pemimpin seperti dulu yang nasionalis, patriotis dan religius? Termasuk terus membatin sambil mengelus dada, Indonesia Tanah Air Siapa?

*Penulis adalah pegiat sosial dan aktivis Yayasan Human Luhur Berdikari

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

UPDATE

Pesan Ketum Muhammadiyah: Fokus Tangani Bencana, Jangan Politis!

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:13

Amanat Presiden Prabowo di Upacara Hari Bela Negara

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:12

Waspada Banjir Susulan, Pemerintah Lakukan Modifikasi Cuaca di Sumatera

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:05

Audit Lingkungan Mendesak Usai Bencana di Tiga Provinsi

Jumat, 19 Desember 2025 | 10:04

IHSG Menguat, Rupiah Dibuka ke Rp16.714 Pagi Ini

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:59

TikTok Akhirnya Menyerah Jual Aset ke Amerika Serikat

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:48

KPK Sita Ratusan Juta Rupiah dalam OTT Kepala Kejari HSU

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:28

Bursa Asia Menguat saat Perhatian Investor Tertuju pada BOJ

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:19

OTT Kalsel: Kajari HSU dan Kasi Intel Digiring ke Gedung KPK

Jumat, 19 Desember 2025 | 09:05

Mentan Amran: Stok Pangan Melimpah, Tak Ada Alasan Harga Melangit!

Jumat, 19 Desember 2025 | 08:54

Selengkapnya