Berita

Jaya Suprana/Net

Jaya Suprana

Menghayati Sila Kerakyatan

MINGGU, 01 AGUSTUS 2021 | 13:12 WIB | OLEH: JAYA SUPRANA

MESKI sadar bahwa penghayatan saya terhadap Pancasila masih sangat dangkal sekaligus kelas rendahan maka sama sekali tidak layak menjadi anggota BPIP, namun saya merasa kurang sreg ketika mencoba menghayati sila ke empat Pancasila yang kebetulan paling panjang yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Perwakilan


Memang kita memiliki DPR, DPD dan MPR sebagai bukti pengejawantahan makna kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan menjadi kenyataan institusional.

Pada masa presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR juga tidak ada masalah sreg-sregan terhadap pewujudan sila nomor empat Pancasila karena presiden dan wakil presiden dipilih secara perwakilan, yaitu MPR yang terdiri dari DPR dan DPD meski tidak selalu berdasar permusyawaratan, namun voting yang jelas bukan permusyawaratan.

Memang pada masa Bung Karno de jure maupun Pak Harto de facto ditetapkan presiden seumur hidup, makna kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan sudah mulai kabur.

Namun sedikit saja yang berani protes akibat mayoritas takut dicap tidak mendukung penguasa.

Reformasi


Pada masa Orde Reformasi yang menghadirkan demokrasi terbukti Pancasila masih lebih dihormati ketimbang demokrasi dengan fakta bahwa presiden dan wakil presiden dipilih secara perwakilan oleh MPR.

Memang harus diakui bahwa sebenarnya makna kerakyatan Pancasila beda dengan kerakyatan demokrasi, maka apabolehbuat di dalam Pancasila sama sekali tidak ada kata atau istilah demokrasi.

Meski merasa kurang sreg, saya membutatuli mematuhi konstitusi presiden dan wapres dipilih secara perwakilan agar selaras dengan Pancasila ketimbang demokrasi.

Namun ada bahkan banyak pihak menganggap peraturan yang mengatur presiden dan wapres dipilih oleh perwakilan rakyat tidak sesuai asas demokrasi.

Maka mulai tahun 2004 akhirnya presiden dan wapres RI tidak lagi dipilih oleh MPR tetapi langsung oleh rakyat secara demokratis one person one vote.

Hak MPR menjadi lembaga negara tertinggi juga dicopot agar tidak bisa melengserkan presiden seperti yang dialami oleh Gus Dur.

Pendek kata sistem politik memang tidak sakral maka bisa diganti-ganti sesuai kehendak dan kepentingan pihak yang berkuasa mengganti.

Patuh Konstitusi


Sebagai warga yang patuh konstitusi, maka saya mendukung presiden dan wapres Republik Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan presiden yang bukan alang kepalang repot sambil mahal bahkan terbukti menelan korban nyawa cukup banyak warga pada masa pilpres.

Tidak bisa disangkal bahwa de facto pemilihan langsung oleh rakyat memang jauh lebih mahal dan lebih repot maka lebih mengandung resiko kecurangan ketimbang pemilihan secara perwakilan oleh MPR. Pemilihan oleh anggota MPR yang tidak sampai seribu orang memang jauh lebih mudah dilaksanakan ketimbang pemilihan oleh puluhan juta rakyat Indonesia.

Namun pemilihan langsung oleh rakyat secara profit jelas lebih menguntungkan pabrik kertas, pembuat kaos oblong dan spanduk, industri jasa jajak-pendapat, para artis maupun para pedagang kaki lima dan asongan yang berjaya memetik keuntungan menjual produk mereka kepada para hadirin pergelaran kampanye pilpres yang jumlahnya bisa bukan alang kepalang fantastis.

Kurang Sreg


Namun setelah menyaksikan bagaimana dampak buruk dari sistem pemilihan presiden dan wapres secara lambat namun pasti saya mulai kurang sreg alias meragukan apakah sistem pemilih presiden dan wapres langsung oleh rakyat memang lebih tepat ketimbang sistem pemilihan presiden dan wapres oleh MPR.

Sadar bahwa saya cuma rakyat jelata yang awam sistem politik maka saya tidak berani berbuat apa pun kecuali curhat melalui naskah sederhana ini selama rakyat curhat belum dilarang undang-undang.

Saya percayakan segenap kebijakan serta keputusan sistem politik di Tanah Air Udara tercinta sepenuhnya kepada para ahlinya maupun para penguasanya. Merdeka!

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

KPK Akan Digugat Buntut Mandeknya Penanganan Dugaan Korupsi Jampidsus Febrie Adriansyah

Kamis, 23 Januari 2025 | 20:17

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

UPDATE

Melalui Rembug Ngopeni Ngelakoni, Luthfi-Yasin Siap Bangun Jateng

Minggu, 02 Februari 2025 | 05:21

PCNU Bandar Lampung Didorong Jadi Panutan Daerah Lain

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:58

Jawa Timur Berstatus Darurat PMK

Minggu, 02 Februari 2025 | 04:30

Dituding Korupsi, Kuwu Wanasaba Kidul Didemo Ratusan Warga

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:58

Pelantikan Gubernur Lampung Diundur, Rahmat Mirzani Djausal: Tidak Masalah

Minggu, 02 Februari 2025 | 03:31

Ketua Gerindra Banjarnegara Laporkan Akun TikTok LPKSM

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:57

Isi Garasi Raffi Ahmad Tembus Rp55 Miliar, Koleksi Menteri Terkaya jadi Biasa Saja

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:39

Ahli Kesehatan Minta Pemerintah Dukung Penelitian Produk Tembakau Alternatif

Minggu, 02 Februari 2025 | 02:18

Heboh Penahanan Ijazah, BMPS Minta Pemerintah Alokasikan Anggaran Khusus Sekolah Swasta

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:58

Kecewa Bekas Bupati Probolinggo Dituntut Ringan, LIRA Jatim: Ada Apa dengan Ketua KPK yang Baru?

Minggu, 02 Februari 2025 | 01:42

Selengkapnya