Berita

Ilustrasi/Net

Publika

Imaji Kuasa Digital

KAMIS, 29 JULI 2021 | 16:29 WIB | OLEH: YUDHI HERTANTO

KOMPLEKS. Jalinan relasi antara manusia dan teknologi menyisakan ruang dilematis. Kehadiran perangkat digital menyelesaikan persoalan praktis, tetapi memiliki potensi problematika etis.

Manusia sangat optimis dengan keberadaan teknologi. Sebagaimana asal katanya techne yang bermakna kecakapan atau terampil, dipadukan dengan logia -pengetahuan.

Ilmu pengetahuan memang menyingkap banyak hal, termasuk menjadi instrumen bantu bagi pemecahan berbagai problematika kehidupan.


Bahkan, pada konsep yang khayal -utopia, teknologi digambarkan akan mampu membebaskan umat manusia.

Hal itu kemudian menjadi sebuah masalah, manakala lajunya perkembangan teknologi tidak diimbangi dengan kemampuan untuk mengendalikannya.

Kajian Jamie Bartlett, "Matinya Demokrasi dan Kuasa Teknologi", 2018, memperlihatkan bahwa terdapat berbagai celah kemungkinan di masa depan yang menghadapkan teknologi dan demokrasi.

Sejatinya, hasil telaah Bartlett mengungkap bila demokrasi adalah representasi dari kehidupan manusia, maka ancaman terhadap demokrasi merupakan gangguan bagi kemanusiaan.

Ketika teknologi menjadi powerfull, lengkap dengan berbagai perangkat canggih yang bahkan melebihi kapasitas kemampuan manusia, ada situasi anomali, manusia berubah menjadi data.

Keadaan tersebut, membuat manusia tidak lagi menjadi elemen bebas, tercermin melalui efek pengawasan digital. Seluruh gerak-gerik dan jejak digital mudah dilihat, layaknya pemantauan menara pengawas penjara -panoptik.

Bersamaan dengan seluruh kemajuan modernitas digital, kita berhadapan dengan konsekuensi lain, yakni perkakas manipulatif yang dapat dipergunakan bagi kepentingan sepihak.

Fenomenanya terlihat saat ini. Kita terperangkap dalam jebakan tidak berujung. Teknologi dipergunakan secara politik untuk merebut serta mempertahankan kekuasaan.

Sebelumnya, ruang digital sebagai bagian dari perkembangan teknologi, pada awalnya menyediakan ruang setara dan dialog dalam konsep ruang publik maya, berubah menjadi arena pertarungan kepentingan.

Dengan perspektif Foucault, ada dimensi persenyawaan antara kekuasaan dan pengetahuan, power-knowledge. Para pihak yang diuntungkan adalah mereka yang mampu mengontrol kedua bidang tersebut.

Di jagad digital, bentuk kebaruan teknologi, publik menjadi tidak berdaya sebagai elemen yang terombang-ambing, serta merupakan makanan empuk para aktor politik.

Sebuah era tercipta, post-truth bersama dengan aksesoris kebohongan -hoax sebagai ciri khasnya, dimainkan secara cermat melalui algoritma yang berpadu untuk kepentingan kekuasaan serta keuntungan bisnis.

Pandangan skeptis itu, bagi Bartlett, akan menjadi sebuah keniscayaan bila kemudian publik tidak segera terbangun dan sadar dari buaian kehidupan digital saat ini.

Gambaran indah tentang kehidupan layaknya kampung besar global village akibat koneksi teknologi, lambat laun berubah menjadi tersekat dalam wilayah perkubuan akibat teknologi pula.

Jauh lebih dalam, komunitas manusia, dikonstruksi tidak lebih menjadi boneka yang dimainkan oleh alur pikir dan gerak melalui kecerdasan buatan serta mahadata.

Manusia yang utuh berubah menjadi objek, dikuantifikasi dalam kalkulasi statistik, diproyeksikan statis, tidak ubah bagaikan mesin.

Kesenjangan, ketidakmerataan, hingga dimensi ketidakadilan akan muncul menjadi masalah karena teknologi yang digunakan tidak bebas nilai, sarat dengan muatan kepentingan.

Hingga pada akhirnya, situasi akut tersebut, tegas Bartlett, menjadi tantangan terbesar peradaban. Akankah demokrasi dan identitas negara hilang lalu melenyap menjadi kuasa digital absolut?

Pertanyaan pentingnya, di mana kedudukan publik? Di sinilah kita perlu menempatkan sudut pandang alternatif.

Bahwa publik harus mengaktifkan nalar kritisnya, ikut berpartisipasi dan menjaga ruang yang ada agar tidak dicemari kepentingan sempit.

Nasib umat manusia dipertaruhkan. Kita harus kembali pada kesadaran etis, bahwa manusia adalah subjek rasional untuk memastikan rasa kemanusiaan itu tidak menghilang.

Pada akhirnya, manusia akan berada diambang batas kontradiksinya, akankah tenggelam dalam hidup terdikte oleh teknologi, atau bijak mempergunakannya untuk tujuan-tujuan baik.

Pilihan itu ada di tangan Anda.

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi
Universitas Sahid


Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya