SUDAH hampir dua bulan kebrutalan dan kekejaman militer berlangsung di Myanmar sejak mereka merebut kekuasaan dari tangan sipil, pada 1 Februari 2021.
Korban tewas terus berjatuhan di pihak rakyat. Mereka tewas ditembus peluru tentara. Hingga Kamis (25/3), menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah kelompok hak sipil di Myanmar, warga sipil yang tewas mencapai 320 orang dan 3.000 orang ditahan!
Menyaksikan semua itu, dunia seperti terpana. Bingung mau berbuat apa. Apalagi berbagai seruan dan ancaman sanksi terhadap Myanmar, tak dipedulikan sama sekali oleh militer yang berkuasa. Dunia yang semestinya membantu seperti telah kehilangan akal menghadapi kebrutalan dan kenekatan militer.
Aktor-aktor luar yang selama ini berperan dalam pembangunan politik dan ekonomi Myanmar—ASEAN, China, Australia, India, Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, AS, juga PBB— juga seperti salah tingkah semua. Mau berbuat apa. Ada kepentingan masing-masing negara dengan Myanmar yang dianggap lebih besar ketimbang nyawa anak-anak muda yang terus melayang ditembus peluru.
Gerakan perlawanan kaum muda di Myanmar mengingatkan yang terjadi di Tunisia dan Mesir, 10 tahun silam. Tewasnya seorang pedagang kaki lima Muhammad Bouazizi di Sidi Bouzid, Tunisia tengah, mampu menggerakkan seluruh rakyat dan menyingkirkan penguasa korup, diktator yang sudah berkuasa 23 tahun, Zine El Abidine Ben Ali. Cerita yang hampir mirip terjadi di Mesir.
Kaum muda yang menjadi motor revolusi di kedua negara itu, juga di negara-negara lain di Timur Tengah. Mereka adalah anak-anak muda yang kurang mendapat akses pekerjaan—30 persen anak muda Tunisia dan 40 persen anak muda Mesir menganggur (social.un.org: Agustus 2010-2011).
Sementara keluhannya tidak ditanggapi apalagi ditangani pemerintah. Populasi kaum muda perkotaan meningkat, upah rendah, dan harga pangan yang tinggi yang telah memperburuk ketidakpuasan mereka.
Sebuah Momentum
Apa yang terjadi pada Arab Spring memberikan catatan penting bahwa kaum muda dapat menjadi kekuatan perubahan. Pada 1963 Bob Dylan menulis "The Times They Are a-Changin", sebuah lagu yang menggambarkan pemberontakan pemuda tahun 1968 di Eropa dan Amerika Serikat. Kaum muda Indonesia melakukannya pada tahun 1998.
Kini, kemajuan teknologi komunikasi, semisal media sosial telah menjadi alat pemersatu gerakan. Selain itu, ada permersatu lain, seperti seni dalam beragam bentuk yang dapat berperan dalam advokasi antirezim.
Apakah perjuangan rakyat—termasuk kelompok-kelompok yang selama ini dimarjinalkan antara lain kaum minoritas relejius, etnik minoritas yang ditindas, komunitas LGBTQ (National Geographic, 20/3/2021)—kaum muda Myanmar akan berhasil seperti rekan-rekan mereka di negara lain?
Hingga saat ini, belum ada yang bisa memastikan. Apakah anak-anak muda yang turun ke jalan mempertaruhkan nyawa mereka pada akhirnya akan tidak berdaya dan kalah? Sekalipun sudah puluhan nyawa melayang, tidak terlihat bahwa ada rasa gentar di antara kaum muda yang melawan kekejaman militer.
Apa yang terjadi sekarang ini sebenarnya adalah momentum kebangkitan kaum muda untuk melawan penindasan, kekejaman, dan pembunuhan terhadap demokrasi. Yang terjadi di Tunisia dan Mesir, misalnya, memang beda dengan yang terjadi di Myanmar.
Di hampir ujung perjuangan kaum muda, rakyat sipil di kedua negara itu, militer berpihak pada mereka. Bahkan di Tunisia, militer tidak tertarik masuk ke politik. Sebaliknya, anak-anak muda Myanmar menghadapi tentara yang tega membunuh sesama anak bangsa.
Ini momentum bagi rakyat dan kaum muda Myanmar untuk merebut kedaulatan rakyat, untuk menegakkan demokrasi (yang sekarang berjalan setengah-setengah, karena meskipun militer melepaskan kepala demokrasi tetapi tetap memegang kuat-kuat tiga perempat badannya hingga ekor), untuk menyingkirkan cengkeraman tangan militer terhadap kebebasan mereka.
Tantangan yang harus dihadapi kaum muda dan rakyat sipil, hampir tidak dapat diatasi. Yang paling mencolok adalah kurangnya sumber daya keuangan dan lainnya dari gerakan tersebut dan perbedaan yang sangat besar dalam kekuatan dengan militer — sebuah organisasi yang cerdik, sangat berpengalaman dalam penggunaan taktik
divide-and-conquer sebagai alat untuk mensterilkan lawan politik.
Peranan MiliterMiliter, memang, harus diakui memiliki sejarah panjang dalam menggenggam kekuasaan. Militer telah lama menjadi aktor politik yang sangat berpengaruh.
Dalam sebuah studi, Mary Callahan menyatakan bahwa militer (Tatmadaw) bukan sebuah gerakan politik berpakaian militer. Militer bukan ekspresi sebuah gerakan politik bersenjata atau refleksi kultur otoritarian di masyarakat.
Mereka, pertama dan utama, adalah tentara pejuang yang telah dipandu oleh logika memerangi ancaman terhadap persatuan dan kedaulatan negara (Kristian Stokke, Roman Vakulchuk, Indra Øverland; 2018).
Daftar musuh yang mereka susun panjang. Yakni mulai dari kolonialisme Inggris, pendudukan Jepang (PD II), ancaman pendudukan Cina karena pangkalan Kuomintang di Myanmar, pemberontakan komunis dan etnis, mobilisasi pro-demokrasi dan ancaman pendudukan AS. Seiring waktu, ketakutan terhadap musuh yang sebenarnya dan yang dianggap musuh telah ditambah dengan ketakutan akan masa depan militer dan ancaman balas dendam setelah peralihan rezim, sebagaimana tercermin dalam ‘klausul kekebalan’ dalam Konstitusi 2008.
Karena militer semakin menegaskan kekuasaan mereka, yang sudah mereka pegang sejak merdeka 1948. Seiring berjalannya waktu, militer telah menjadi kekuatan politik yang mengedepankan kepentingannya sendiri.
Militer juga menjadi basis pembentukan elite ekonomi, dan mengembangkan kepentingan ekonomi dalam kelangsungan kekuasaan militer – seperti terlihat pada kuatnya peran politik dan ekonomi para panglima daerah dalam tubuh militer.
Menurut temuan “Special Rapporteur†PBB ada dua perusahaan yang memiliki hubungan dengan militer bahkan dimiliki militer. Yakni, Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC).
Pemilik perusahaan itu antara lain Panglima Tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing—pemimpin kudeta—dan Wakil Panglima Tertinggi Wakil Jenderal Senior Soe Win. Dari perusahaan itulah antara lain dana pensiun militer diperoleh.
MEHL dan MEC memiliki setidaknya 120 bisnis yang terlibat dalam segala hal mulai dari konstruksi hingga farmasi, manufaktur, asuransi, pariwisata, dan perbankan. Kedua perusahaan, bersama dengan setidaknya 26 anak perusahaan mereka, memegang lisensi untuk penambangan batu giok dan ruby ​​di negara bagian Kachin dan Shan.
Dengan semua itu, ditambah sejarah panjang keterlibatan politik, militer menguasai Myanmar. Mereka inilah yang harus dihadapi rakyat sipil dan kaum muda. Pertanyaannya tentu bagaimana akhir dari krisis di Myanmar saat ini.
Militer memang, memiliki pengalaman dan sumber daya, dan selama ini mampu mengatasi rakyat. Namun, perlawanan rakyat saat ini berbeda. Kelompok perlawanan yang dimotori kaum muda tersebar di mana-mana dan bersatu. Dan, mereka melihat dan meyakini inilah kesempatan emas untuk mendorong tentara ke barak dan membangun demokrasi.
Karena itu, penting bagi dunia luar untuk mendengarkan suara rakyat yang tertindas, dan menunjukkan solidaritas, serta dukungan pada mereka untuk menghentikan pembunuhan kekerasan dan pembunuhan brutal oleh militer.