Berita

Parade Pemuda pemudi Barisan Soekarno./Repro

Histoire

Sejarah Tritura Bagian III

Gerakan Tandingan Barisan Soekarno

MINGGU, 07 MARET 2021 | 00:01 WIB | LAPORAN: REPUBLIKMERDEKA.ID

Presiden Soekarno memberi komando pembentukan Barisan Soekarno. Tujuannya mengimbangi gerakan mahasiswa yang dimotori Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Konsolidasi berlangsung cepat di kalangan pendukung Soekarno.

Pada 17 Januari 1966, Menteri Penerangan Achmadi berhasil mewujudkan perintah Soekarno itu. Cikal bakal Barisan Soekarno segera terbentuk. Mereka pun mulai bergerak, antara lain dengan menyebarkan pamflet-pamflet yang menyerang KAMI dan bahkan memprovokasi sejumlah benturan fisik.

Pada awal Februari 1966, Pangdam Jaya Amirmahmud melakukan akrobatik politik yang menyenangkan Presiden Soekarno. Pada Selasa, 1 Februari 1966 itu di lapangan Banteng digelar rapat umum yang menelurkan suatu ikrar dari 120 organisasi politik dan organisasi massa se Jakarta Raya.


Dalam ikrar itu mereka yang menyatakan sanggup untuk melaksanakan komando Presiden, sesuai amanat Presiden 15 Januari mengenai pembentukan Barisan Soekarno.

Keesokan harinya, 2 Februari 1966, Amirmahmud menghadap Soekarno di Istana Negara menyampaikan ikrar itu. Usai menghadap, kepada pers, Amirmahmud dengan bersemangat menyampaikan pernyataan 120 orpol dan ormas itu otomatis menjadi Barisan Soekarno.

Berdasarkan catatan Jenderal AH Nasution tentang Barisan Soekarno. Tokoh-tokoh politik, mahasiswa dan militer tertentu terus dipanggil ke istana dan bekerja untuk  membentuk Barisan Soekarno.

Waperdam III Chairul Saleh yang telah ditugaskan memimpin Barisan Soekarno menunjuk Kolonel Sjafei yang dikenal sebagai ‘raja’ para copet Jakarta sebagai Komandan.

“Di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan dan kota-kota lain sampai hangat demonstrasi kontra demonstrasi dan terjadi bentrokan-bentrokan fisik,” kata AH Nasution, yang ditulis Rum Aly, dalam buku berjudul Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966. Mitos dan Dilema, Mahasiswa Dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970 (2006).
Nasution mengungkapkan yang tak dapat diabaikan, bahwa para Panglima di Jawa pada saat itu, baik di Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya, meskipun dikenal sebagai orang-orang yang anti PKI, tetapi juga secara pribadi kuat mendukung Soekarno.

Isu pembentukan Barisan Soekarno telah menimbulkan pelbagai tanggapan, yang satu sama lain berbeda dan dapat membingungkan. Panglima Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie, meskipun seorang pendukung kuat Soekarno, melarang Barisan Soekarno di wilayah hukumnya.

Panglima Kodam Jaya Brigjen Amirmahmud, selaku Pepelrada, mengeluarkan instruksi yang mengatur penyaluran pembentukan Barisan Soekarno di wilayahnya.

Sementara itu, Panglima Komando Wilayah Sumatera Jenderal Mokoginta dengan tegas menyatakan Barisan Soekarno sebagai kontra revolusi.

Waperdam I Soebandrio melihat Barisan Soekarno sebagai alat pertarungan untuk mempertahankan kekuasaan Soekarno, sehingga dia menekankan aspek fisik.

Kemudian, 15 Februari 1966, Presiden Soekarno didampingi Waperdam I Soebandrio mengadakan, pertemuan terbatas dengan pimpinan GMNI-Asu, Germindo, Presidium MMI dan Dewan Mahasiswa Universitas Bung Karno, di Istana Merdeka.

Pada forum tersebut Dr Soebandrio kembali menyerukan pembentukan Barisan Soekarno, sebagai suatu barisan berbentuk fisik, memenuhi seruan Soekarno sendiri pada 15 Januari yang menginginkan penyusunan barisan pendukung yang berdiri di belakangnya. “Bentuklah Barisan Soekarno sekarang juga,” kata Soebandrio.

Setiap organisasi mahasiswa yang hadir dimintanya untuk turut membentuk Barisan Soekarno itu, "biar cuma seratus orang, tak apa, asal ulet."

Barisan dalam bentuk fisik ini terbukti kemudian di beberapa daerah memang dimaknai dalam artian fisik yang sesungguhnya dan kesiapan bertarung untuk membela Soekarno. Hingga beberapa bulan, pemaknaan yang demikian terus berlangsung.

Pada 19 Agustus 1966, ketika mahasiswa Bandung makin gencar melakukan gerakan-gerakan anti Soekarno, Barisan Soekarno menyerbu Konsulat KAMI Bandung di Jalan Lembong.

Dalam Peristiwa 19 Agustus 1966 tersebut jatuh korban jiwa, Julius Usman, mahasiswa Universitas Parahyangan. Julius tewas di depan kampusnya di Jalan Merdeka, tak jauh dari Jalan Lembong.

Setelah terjadinya serangkaian bentrokan fisik antara mahasiswa anggota KAMI dengan massa Barisan Soekarno dari Front Marhaenis sayap Ali-Surachman pada akhir Februari hingga awal Maret, Panglima Kodam Jaya Brigjen Amirmahmud melontarkan gagasan ‘jalan tengah’ Persatuan Nasional Mahasiswa Indonesia pada 7 Maret 1966.

Gagasan ini sebenarnya berasal dari ide pembentukan National Union of Student (NUS) yang dilontarkan sebelumnya oleh Soekarno 14 Januari 1966 setelah mendengarkan saran dan laporan Wakil Panglima Besar Komando Ganyang Malaysia (Wapangsar Kogam) bidang Sosial Politik, Ruslan Abdulgani.

Ketika gagasan NUS itu untuk pertama kali dilontarkan oleh Soekarno dan Ruslan Abdulgani, muncul penolakan yang keras dari aktivis mahasiswa Bandung.

Dalam sebuah pernyataan 2 Februari 1966,mahasiswa Bandung mencurigai pembentukan NUS tersebut, yang dilontarkan justru bertepatan dengan saat PKI dan simpatisannya mulai dibersihkan dari kabinet dan berbagai lembaga negara.

Mereka curiga bahwa pembentukan NUS dimaksudkan untuk mendegradasi setahap demi setahap KAMI, sambil memasukkan unsur-unsur Front Marhaenis Ali Surachman ke dalam tubuh kemahasiswaan, yang tentu saja berbahaya terhadap upaya pembubaran PKI. Mahasiswa-mahasiswa Bandung saat itu beranggapan bahwa Front Marhaenis adalah partner terdekat PKI di zaman pra G30S.

Aksi mahasiswa pun semakin berani. Dalam suatu demonstrasi dan aksi corat-coret yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa di Bogor, kediaman Nyonya Hartini Soekarno, kebagian coretan "Gerwani Agung". Kejadian itu memuat  Soekarno amat marah. Sementara di Bandung, pada waktu yang hampir bersamaan, mulai bermunculan coretan yang ditujukan langsung kepada Soekarno, seperti tulisan “Soekarno, No".

Gedung MPRS, Gedung Merdeka di Jalan Asia Afrika Bandung diserbu dan dicoreti mahasiswa dengan tulisan “Gedung Komidi Stambul”. Dalam nyanyian-nyanyiannya mahasiswa menyindir “MPRS… Yes, yes, yes” yang menggambarkan MPRS itu berisi dengan orang-orang yang hanya bisa mengatakan “yes” kepada Soekarno.

Soekarno yang marah, bersama Soebandrio, melontarkan tuduhan bahwa aksi-aksi mahasiswa itu ditunggangi Neo Kolonialisme dan Imperialis (Nekolim). Namun pasca G30S, tudingan Nekolim semacam itu telah hilang keampuhannya dan tidak lagi membuat gentar mahasiswa yang dituding.

Populer

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

OTT Beruntun! Giliran Jaksa di Bekasi Ditangkap KPK

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:29

Tamparan bagi Negara: WNA China Ilegal Berani Serang Prajurit TNI di Ketapang

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:26

Kejagung Ancam Tak Perpanjang Tugas Jaksa di KPK

Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:35

Tunjuk Ara di Depan Luhut

Senin, 15 Desember 2025 | 21:49

UPDATE

Perbankan Nasional Didorong Lebih Sehat dan Tangguh di 2026

Senin, 22 Desember 2025 | 08:06

Paus Leo XIV Panggil Kardinal di Seluruh Dunia ke Vatikan

Senin, 22 Desember 2025 | 08:00

Implementasi KHL dalam Perspektif Konstitusi: Sinergi Pekerja, Pengusaha, dan Negara

Senin, 22 Desember 2025 | 07:45

FLPP Pecah Rekor, Ribuan MBR Miliki Rumah

Senin, 22 Desember 2025 | 07:24

Jaksa Yadyn Soal Tarik Jaksa dari KPK: Fitnah!

Senin, 22 Desember 2025 | 07:15

Sanad Tarekat PUI

Senin, 22 Desember 2025 | 07:10

Kemenkop–DJP Bangun Ekosistem Data untuk Percepatan Digitalisasi Koperasi

Senin, 22 Desember 2025 | 07:00

FDII 2025 Angkat Kisah Rempah Kenang Kejayaan Nusantara

Senin, 22 Desember 2025 | 06:56

Polemik Homebase Dosen di Indonesia

Senin, 22 Desember 2025 | 06:30

KKP Bidik 35 Titik Pesisir Indonesia Buat KNMP Tahap Dua

Senin, 22 Desember 2025 | 05:59

Selengkapnya