Berita

Jaya Suprana/Net

Jaya Suprana

Menerawang Nasib Golput

MINGGU, 03 JANUARI 2021 | 08:58 WIB | OLEH: JAYA SUPRANA

YANG mengerti makna demokrasi pasti paham bahwa pemilihan umum adalah mahakarya demokrasi, namun sebenarnya bukan kewajiban justru hak asasi manusia.

Hanya resim otoriter seperti di masa Orba yang tega memaksa rakyat untuk wajib memilih pada pemilu yang pada hakikatnya sekadar sandiwara, sebab pemenang sudah dapat dipastikan. Pemenang harus penguasa atau boneka penguasa yang sedang berkuasa.

Amerika Serikat

Pada pemilu 2020 memang mayoritas warga Amerika Serikat memanfaatkan hak asasi untuk memilih akibat mayoritas warga AS sudah jemu oleh dagelan tidak lucu yang setiap saat siap ditampilkan Donald Trump di panggung politik negeri Paman Sam itu.

Namun pada pemilu 2012 banyak warga Amerika Serikat golput. Pada saat itu hanya 60 persen warga berhak memilih yang sudi memanfaatkan haknya.

Namun tidak semua negara memilih kebijakan politik yang sama dengan Amerika Serikat. Di masa kini lebih dari 30 negara menganut paham kewajiban asasi manusia untuk memilih.

Memilih menjadi kewajiban setiap warga yang tidak ingin terkena dampak sanksi hukuman.

Belgia, Italia, Yunani

Di Belgia, warga yang empat kali secara berturut-turut tidak ikut pemilu, maka akan dijatuhi hukum sanksi tidak boleh memilih selama minimal 10 tahun ke depan.

Memang terkesan malah kebetulan bagi yang memang enggan memilih, namun sayang konsekuensi berlanjut pada tertutup kemungkinan untuk menjadi pegawai negeri atau lembaga yang dibayar oleh pemerintah kerajaan Belgia.

Para Golputer empat kali berturut-turut mustahil menjadi polisi maupun serdadu.

Bolivia agak lebih kejam karena account bank para Golputer diblokir sampai pemilu selanjutnya di mana sang pemilik account bisa membuktikan dirinya bukan Golputer.

Apabila anda ngegolput di Italia, maka tidak ada daycare center berkenan menerima anak anda dititipkan ke mereka.

Ironisnya justru di Yunani masa kini yang dianggap sebagai cikal-bakal demokrasi malah hukuman terhadap mereka yang tidak sudi ikut memilih pada pemilihan umum sebab tidak percaya lagi kepada lembaga kepemerintahan Yunani masa kini justru tergolong paling kejam.

Australia melakukan kebijakan mendenda para golputer dengan beban denda simbolis sekedar sebagai semacam peringatan agar Insya Allah tidak ngegolput pada pemilu mendatang. Kecuali jika memilih bayar denda ketimbang memilih pilihan yang tidak seusai suara sanubari.

Para golputer di Yunani harus siap bukan saja kehilangan SIM, namun bahkan juga paspor sehingga tidak bisa meninggalkan negeri mereka yang konon demokratis.

Tampaknya Yunani masih menganggap diri sebagai asal-muasal demokrasi, maka merasa berhak untuk melanggar asas dasar demokrasi yaitu kebebasan untuk memilih mau pun tidak memilih.

Indonesia

Pada masa Orba memang golput dianggap sebagai sikap apolitis bahkan pengkhianat. Maka yang merasa tidak ada pilihan yang layak dipilih pada masa Orba seperti Arief Budiman langsung tergolong persona non grata meski tak kunjung ditangkap karena belum ada UU yang melarang Golput.

Syukur Alhamdullilah, pada masa awal Orde Reformasi langsung urusan golput atau tidak golput tidak dipermasalahkan lagi, sebab tampaknya segenap pihak sadar bahwa memilih atau tidak memilih bukan kewajiban namun hak asasi manusia.

Setelah 18 tahun berlalu menjelang Pilpres 2019 mendadak Golput kembali dihujat habis oleh para buzzer yang kuatir sang junjungan tidak terpilih kembali. Mendadak golput kembali dihujat mulai dari anti demokrasi sampai ke tidak bertanggung-jawab atas nasib anak-cucu.

Memang sekarang masih belum diketahui bagaimana nasib golput pada masa Pilpres 2024. Bagi yang masih fobia terhadap golput sebaiknya mulai sekarang mumpung masih ada waktu empat tahun secara konstitusional berjuang menggerakkan para wakil rakyat di DPR untuk menghadirkan UU Pemilu yang baru.

UU Pemilu yang dengan tegas menegaskan bahwa Golput merupakan sikap dan perilaku kriminal akibat melanggar hukum di Indonesia sebagai negara hukum. Merdeka!

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

KSST Yakin KPK Tindaklanjuti Laporan Dugaan Korupsi Libatkan Jampidsus

Jumat, 24 Januari 2025 | 13:47

UPDATE

HUT Ke-17 Partai Gerindra, Hergun: Momentum Refleksi dan Meneguhkan Semangat Berjuang Tiada Akhir

Senin, 03 Februari 2025 | 11:35

Rupiah hingga Mata Uang Asing Kompak ke Zona Merah, Trump Effect?

Senin, 03 Februari 2025 | 11:16

Kuba Kecam Langkah AS Perketat Blokade Ekonomi

Senin, 03 Februari 2025 | 11:07

Patwal Pejabat Bikin Gerah, Publik Desak Regulasi Diubah

Senin, 03 Februari 2025 | 10:58

Kebijakan Bahlil Larang Pengecer Jual Gas Melon Susahkan Konsumen dan Matikan UKM

Senin, 03 Februari 2025 | 10:44

Tentang Virus HMPV, Apa yang Disembunyikan Tiongkok dari WHO

Senin, 03 Februari 2025 | 10:42

Putus Rantai Penyebaran PMK, Seluruh Pasar Hewan di Rembang Ditutup Sementara

Senin, 03 Februari 2025 | 10:33

Harga Emas Antam Merosot, Satu Gram Jadi Segini

Senin, 03 Februari 2025 | 09:58

Santorini Yunani Diguncang 200 Gempa, Penduduk Diminta Jauhi Perairan

Senin, 03 Februari 2025 | 09:41

Kapolrestabes Semarang Bakal Proses Hukum Seorang Warga dan Dua Anggota Bila Terbukti Memeras

Senin, 03 Februari 2025 | 09:39

Selengkapnya