Berita

Prijanto/Net

Publika

Menepis Pendapat Amien Rais (Bagian 2): DPD Hilang, DPA Muncul, Otda Batal

RABU, 07 OKTOBER 2020 | 19:44 WIB | OLEH: PRIJANTO

Pembatasan: ”Untuk membedakan dan mempermudah, hasil amandemen UUD 1945 dalam artikel ini kita sebut UUD 2002”.

Pembukaan UUD 1945


DALAM Pembukaan UUD 1945 sangat jelas, Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia disusun dalam Undang Undang Dasar Negara Indonesia. Pemerintahan yang dipilih, Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Konsensus kita, Pembukaan UUD 1945 dan NKRI tidak boleh diubah.

Bentuk negara dan implementasi kedaulatan rakyat diatur dalam Batang Tubuh. Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik; dan Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Dalam pertarungan kepentingan politik global, untuk menguasai suatu negara, konstitusi merupakan sasaran. Indonesia masuk salah satu sasaran. Keterlibatan aktor internasional negara liberal kapitalis dalam amandemen UUD 1945 dengan dalih agar Indonesia lebih demokratis, adalah nyata.

United Nations Develepment Program (UNDP) dan United State Agency for International Develepment (USAID) didukung LSM asing, Institute of Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Internasional Foundation for Election System (IFES), National Democratic Institute (NDI) dan International Republican Institution (IRI) terlibat dalam amandemen UUD 1945.

Keterlibatan mereka tidak hanya masalah dana, tetapi juga konsep pemikiran pembaruan. Mereka hadir dalam rapat. Mereka berkolaborasi dengan LSM domestik Centre for Electoral Reform (Cetro). (Valina Singka Subekti, 2007, Menyusun Konstitusi Transisi).

Kita sudah merasakan, pemilihan secara langsung ala Amerika, ‘one man, one vote’, adalah hasil amandemen yang merusak sendi persatuan. Mari kita bahas bagaimana kaitan intervensi asing dalam amandemen UUD 1945 dengan implikasi yang disampaikan Amien Rais jika kita kembali ke UUD 1945.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Untuk Apa?

Implikasi pertama yang disampaikan Amien Rais, DPD otomatis hilang, jika kembali ke UUD 1945. Amien Rais beranggapan DPD penting. Padahal, hilangnya DPD itu logis, UUD 1945 tidak mengenal DPD.

Kita kenal, lembaga DPD itu sebagai unsur negara serikat (federal). Padahal, Pasal 1 ayat (1) baik di UUD 1945 maupun  UUD 2002, Indonesia sebagai Negara Kesatuan. Dengan demikian, DPD bertentangan dengan konstitusi. Pertanyaan kritisnya, siapa pembisik harus ada lembaga DPD? Intervensi asing kah? Untuk  pecah belah kita kah?

Walau DPD perannya belum sama seperti Senat di Kongres Amerika Serikat, ini ‘embrio’ yang tidak sesuai untuk Negara Kesatuan. Upaya meningkatkan peran DPD secara perlahan, merupakan indikasi, konsepsi ‘sutradara’ untuk membangun DPD di Indonesia yang diinginkan belum selesai. 

Apabila dalih DPD untuk memberdayakan ‘Utusan Daerah’ harus lewat Pemilu dan dilembagakan, mengapa ‘Utusan Golongan’ tidak sekalian diberdayakan menjadi ‘Dewan Perwakilan Golongan’? Patut diduga dan dicurigai, pembentukan DPD ada maksud dan tujuan tertentu. ‘Napas’ DPD berbeda dengan ‘Utusan Daerah’ yang dimaksud UUD 1945.

Mari kita cermati, ada Otonomi Daerah, DPD, ketidakharmonisan pusat dan daerah, pusat beroposisi dengan daerah dan sebaliknya, sumber kekayaan alam di daerah, dan pemilik modal di belakang pejabat yang didukung saat pemilihan. Kita bangun pertanyaan kritis, adakah benang merah rangkaian kondisi tersebut?

Apakah DPD embrio menuju negara federal agar asing mudah ‘bermain’ urusan sumber daya alam di daerah? DPD bisa mengajukan RUU terkait Otonomi Daerah. Sedangkan anggota DPD dan Kepala Daerah lewat Pemilihan langsung, membuka peluang kapitalis bermain. Kiranya cukup panjang untuk menyoroti DPD, apakah dari aspek kelembagaan, status, peran dan manfaatnya.

Satu hal yang pasti, kembali ke UUD 1945, otomatis DPD hilang, bukan kerugian dan tidak perlu risau. Justru sistem ketatanegaraan yang kita pilih benar, menjaga Negara Indonesia tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pentingnya Dewan Pertimbangan Agung (DPA)

Nusantara ini awalnya kerajaan-kerajaan. Raja selalu punya unsur Penasihat, Mahapatih, dan lain-lain. Dunia wayang, juga ada Penasihat yang memiliki pitutur luhur. Suritauladan dunia wayang adalah negara Amarta dengan Penasihat Batara Kresna dan Semar.

Kresna seorang ksatria dan Raja. Semar seorang Punakawan, abdi ksatria Pendawa. Komposisi ini menggambarkan Raja mendengarkan suara para ksatria dan rakyat. Nilai budaya mengilhami ‘the founding fathers’ tidak saja dalam menentukan Dasar Negara, tetapi juga dalam ketatanegaraan, antara lain perlunya Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Presiden mandataris MPR, sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara, memerlukan Penasihat. Dewan Pertimbangan Agung inilah penasihat Presiden, sebuah badan di luar eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Apabila undang-undang mengatur anggota DPA adalah tokoh-tokoh terpilih non-Parpol, maka DPA akan memiliki independensi yang kuat.

Tugas DPA diatur dalam Bab IV Pasal 16 UUD 1945: ”Dewan Pertimbangan Agung berkewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak memajukan usul kepada pemerintah”. Ada kewajiban dan hak. Tugas ini sangat penting, khususnya ketika Presiden dalam tekanan Parpol atau legislatif.

Andaikan DPA ada, seperti masalah Pilkada serentak Desember 2020 dan RUU yang jauh dari kepentingan rakyat, Presiden bisa mendapat masukan DPA dari perspektif kepentingaan rakyat.  Negara kita memang Republik bukan Kerajaan, namun agar pemimpin tidak otoriter dan salah keputusan, baik pemerintahan kerajaan maupun republik, tetap saja perlu ‘penasihat’.

Hal ini terbukti, pengamandemen juga berpikir, Presiden perlu penasihat. Pengamandemen menghapus Bab IV UUD 1945 Dewan Pertimbangan Agung, selanjutnya menempatkan Pasal 16 di Bab III UUD 2002, Kekuasaan Pemerintahan Negara. Di sini terjadi keanehan dan tidak lazim. Bagaimana mungkin sebuah konstitusi ada Bab yang kosong atau hilang?

Pasal 16 UUD 2002: “Presiden membentuk satu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang”.

Tidak ada kata kewajiban dan hak. Dewan pertimbangan ini sebagai unsur eksekutif. Pertanyaannya, sejauhmana anggota dewan berani mandiri tidak takut kepada Presiden?

Dewan penasihat Presiden saat ini bernama Wantimpres didukung Staf Kepresidenan. Suatu saat nanti, bisa jadi, tidak menutup kemungkinan, dewan ini isinya orang-orang tertentu, sebagai lanjutan saat Pilpres. Produknya bisa ditebak, cenderung melindungi kebijakan Presiden atau pemerintah dan pencitraan bagaikan tim sukses.
 
Sedangkan DPA, sebagai Lembaga Negara yang independen, diharapkan memberikan masukan kepada Presiden dalam perspektif kepentingan negara. Sehingga Presiden tidak otoriter, tidak terkooptasi Parpol, memiliki bahan pertimbangan yang matang dan mandiri.

DPA yang berperan bak Batara Kresna dan Semar. Kresna yang duduk sejajar dengan Raja Amarta, Yudhistira. Inilah pentingnya DPA dalam sistem ketatanegaraan UUD 1945.

Pemerintahan Daerah di UUD 1945

Bab VI Pemerintahan Daerah, Pasal 18 UUD 1945: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Cuplikan penjelasan Pasal 18 UUD 1945 di atas: Daerah-daerah itu bersifat autonoom (steek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semua akan ditetapkan dengan undang-undang.
   
Di daerah-daerah yang bersifat autonoom akan diadakan badan perwakilan daerah. Oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

Mencermati hal di atas, pendapat Amien Rais, jika kembali ke UUD 1945, Otonomi Daerah (Otda) batal, sebagai pernyataan yang tidak ada dasarnya.

Bagaimana mungkin Otda batal, sedangkan UUD 1945 mengamanatkan masalah Pemerintahan Daerah. Persoalannya terletak bagaimana undang-undang Otda harus memiliki napas sesuai pasal tersebut sehingga tetap dalam bingkai NKRI.

Selanjutnya bagaimana implikasi terhadap keanggotaan MPR, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, jika kita kembali ke UUD 1945? Kedua implikasi yang disampaikan Amien Rais tersebut akan kita bahas pada bagian-3 rangkaian artikel ini.

Semoga bermanfaat. InsyaAllah, aamiin.

Mayjen TNI (Purn) Prijanto

Wagub DKI Jakarta 2007-2012
Rumah Kebangkitan Indonesia

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

UPDATE

Samsudin Pembuat Konten Tukar Pasangan Segera Disidang

Kamis, 02 Mei 2024 | 01:57

Tutup Penjaringan Cakada Lamteng, PAN Dapatkan 4 Nama

Kamis, 02 Mei 2024 | 01:45

Gerindra Aceh Optimistis Menangkan Pilkada 2024

Kamis, 02 Mei 2024 | 01:18

Peringatan Hari Buruh Cuma Euforia Tanpa Refleksi

Kamis, 02 Mei 2024 | 00:55

May Day di Jatim Berjalan Aman dan Kondusif, Kapolda: Alhamdulillah

Kamis, 02 Mei 2024 | 00:15

Cak Imin Sebut Negara Bisa Kolaps Kalau Tak Ada Perubahan Skenario Kerja

Rabu, 01 Mei 2024 | 23:39

Kuliah Tamu di LSE, Airlangga: Kami On Track Menuju Indonesia Emas 2045

Rabu, 01 Mei 2024 | 23:16

TKN Fanta Minta Prabowo-Gibran Tetap Gandeng Generasi Muda

Rabu, 01 Mei 2024 | 22:41

Ratusan Pelaku UMKM Diajari Akselerasi Pasar Wirausaha

Rabu, 01 Mei 2024 | 22:36

Pilgub Jakarta Bisa Bikin PDIP Pusing

Rabu, 01 Mei 2024 | 22:22

Selengkapnya