Berita

Ilustrasi/Net

Publika

Satu Semester Dalam Pandemik

MINGGU, 06 SEPTEMBER 2020 | 05:42 WIB | OLEH: YUDHI HERTANTO

MASIH terus bertambah. Belum sampai pada puncak kasus. Penularan wabah masih terus terjadi. Tidak hanya ada 190 ribu kasus, tetapi secara bersamaan lebih dari 100 tenaga dokter gugur. Pandemik masih terus mengancam.

Meski sudah berubah bentuk dalam struktur penanganan dari Gugus Tugas menjadi Satuan Tugas, dengan dikomandoi Menteri Koordinator, namun upaya dalam menekan dan mereduksi penularan wabah belum efektif terjadi.

Laporan Kompas (2/9) dengan tajuk, "Bersiap yang Terburuk, Berharap Terbaik", melakukan telaah pencapaian dalam satu semester dalam balutan pandemik. Banyak yang perlu dievaluasi, sekaligus diperbaiki secara bersama.


Satu hal yang luput dijadikan bagian dari tema besar Kompas adalah frasa Bekerja Optimal. Hal ini penting guna menekankan pada semua pihak untuk mengupayakan secara maksimal, terkait tugas dan tanggung jawab para pihak.

Hasil kajian Kompas itu, melengkapi pemberitaan sebelumnya (1/9) dengan judul, "Saatnya Tarik Tuas Rem, Pak Jokowi!" Hal ini mampu dipahami bila mencermati grafik kasus pandemik yang bahkan belum terlihat melandai, apalagi turun.

Kolaborasi Peran

Pada makna yang lebih lugas, pemangku kebijakan memiliki peran untuk memastikan seluruh langkah yang diambil dalam regulasi sesuai dengan tujuan akhir, menekan paparan penularan wabah, serta mengatasi dampaknya.

Di sisi lain, peran serta publik untuk tetap menjalankan disiplin atas penerapan protokol kesehatan menjadi kunci penting, untuk bisa mendukung tercapainya pemutusan mata rantai penularan. Pandemik adalah ujian fisik dan mental.

Kolaborasi atas kontribusi para pihak tersebut, yang menjadi penentu suksesnya mengatasi dan mengendalikan pandemik. Kritik disampaikan publik, fokus penanganan harus ditekankan pada aspek medis, psikologis, dan sosial.

Gelontoran anggaran yang dipersiapkan, berhadapan dengan kendala teknis. Mulai dari akurasi data penduduk sebagai objek sasaran, hingga tumpang tindih struktur pelaksana kelembagaan. Sudah saatnya berbenah.

Kebuntuan untuk tetap mempertahankan geliat ekonomi dengan membuka kembali ruang bagi aktivitas serta interaksi sosial, bertambah dengan kegelisahan publik yang mengalami kebosanan akibat pembatasan sosial -cabin fever.

Persoalan tersebut, seolah menambah tumpukan jerami kering di atas bara api, yang sudah pasti menimbulkan potensi kebakaran. Reorientasi tentang pandemik perlu dilakukan, untuk membuat seluruh pihak mampu melihat peran posisinya.

Kepemimpinan Literasi


Dalam ketidakmenentuan akan nasib di masa mendatang, terutama menebak sampai kapan durasi masa pandemik akan berlangsung, serta kapankah akan berakhir, dibutuhkan peran kepemimpinan literasi di semua tingkatan.

Kepemimpinan literasi berarti memberikan pencerahan informasi, menghindari distorsi. Para pemimpin formal, seharusnya memainkan peran tersebut secara langsung. Kelemahan penanganan pandemik adalah bias informasi.

Penyebab dari tersampaikannya makna pencerahan bagi kesadaran publik, tidak semata akibat diskoneksi keterputusan pesan, tetapi juga merupakan bagian dari akumulasi inkonsistensi yang terbaca secara jelas oleh publik.

Di tengah pandemik, para elite justru sibuk menyusun Pilkada serentak, bahkan membahas Omnibus Law. Belum lagi soal makna simbolik atas kebakaran hebat gedung Kejaksaan Agung, ketika banyak sorotan atas kasus Jaksa Pinangki.

Dalam situasi sedemikian, publik menyusun argumentasi ketidakpercayaan. Distrust sebagai antitesis public trust tercipta. Padahal modalitas untuk membangun kesatuan langkah dalam mengatasi pandemik adalah kepercayaan.

Prinsip utamanya adalah menjawab kebutuhan dasar publik dan mengartikulasikan harapan publik -meet the needs and meet the hope. Para pemimpin harus kembali kepada kemampuan persuasi dan retorika untuk menggugah publik.

Kunci utama dari komunikasi adalah kejujuran dan kepercayaan, sebagaimana landasan retorika yakni kredibilitas sumber informasi -ethos, kemampuan menjalin relasi emosional -pathos dan sesuai nalar rasional -logos.

Sehingga perilaku membungkus fakta dan realitas yang keliru, dengan menggunakan dengungan para influencer perlu dikritisi. Kini, setelah satu semester di dalam pandemik, kita harus benar-benar berupaya untuk "menghindari terpapar dan menolak terkapar".

Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya