Berita

Gede Sandra/Net

Publika

Belajar Dari China Dan Vietnam Dalam Menghindari Resesi

RABU, 26 AGUSTUS 2020 | 15:05 WIB | OLEH: GEDE SANDRA

Menghindari Efek Crowding Out

CHINA dan Vietnam adalah dua negara yang kebal resesi selama pandemik Covid-19 berlangsung. Pertumbuhan ekonomi China, meskipun sempat anjlok ke -6,8% pada kuartal I-2020, pada kuartal II-2020 bangkit ke 3,2%.

Sementara Vietnam, pertumbuhan ekonominya pada kuartal I-2020 3,82%, kemudian turun tapi masih tetap positif di kuartal II-2020 sebesar 0,32%. Secara teknis, kedua negara tersebut tidak masuk dalam kategori resesi.

Apa sebenarnya rahasia kedua negara yang berhaluan politik komunis ini, sehingga ekonominya masih bertahan dibandingkan negara-negara lainnya yang sudah masuk ke resesi? Salah satu kuncinya yang utama adalah pertumbuhan kredit di sektor perbankan.

Pertumbuhan kredit adalah gambaran dari seberapa efektif perbankan menjalankan fungsi menyalurkan dana pihak ketiga kepada sektor swasta. Semakin tinggi pertumbuhan kredit, dipastikan aktivitas bisnis swasta semakin cepat berkembang. Bila pertumbuhan kredit rendah, dipastikan aktivitas bisnis swasta pun menjadi lesu.

Di tengah pandemik Covid-19 ini, pertumbuhan kredit di China masih cukup tinggi, yaitu di kisaran 16,1%. Sementara, pertumbuhan kredit di Vietnam memang cukup tertekan, tapi angkanya masih di kisaran 8,6% (turun dari rata-rata 20-an% selama belasan tahun terakhir). Bandingkan dengan pertumbuhan kredit di Indonesia yang saat ini sudah terjun bebas ke kisaran 3%!

Lalu apakah yang menyebabkan pertumbuhan kredit di China tetap tinggi dan Vietnam cukup tinggi, sedangkan di Indonesia sangat rendah? Jawabannya ada pada yang disebut dengan efek crowding out.

Dalam perekonomian China dan Vietnam tidak terjadi efek crowding out, sedangkan di Indonesia terjadi. Efek crowding out terjadi di Indonesia karena perbankan Indonesia lebih terdorong untuk membeli surat utang pemerintah dibanding menyalurkan dana untuk kredit sektor swasta. Akibatnya sektor swasta Indonesia tidak ikut bertumbuh, meskipun pemerintah terus terbitkan surat utang untuk melakukan pembangunan/spending.   

Perbankan Indonesia tertarik membeli surat utang pemerintah karena bunga/yield surat utang sangat tinggi. Yield surat utang tenor 10 tahun di kisaran 6,7%, bahkan kadang pemerintah berikan kupon hingga 7-8% untuk tenor yang lebih cepat.

Bagi perbankan Indonesia, investasi ke surat utang pastilah jauh lebih aman dan mudah daripada investasi ke sektor swasta (meskipun bunga kredit tinggi 12%) yang jauh lebih beresiko (seiring naiknya angka kredit macet ke 3%). Akibatnya sektor swasta tersingkir (crowd-out) dari pasar tidak kebagian dana, karena kebanyakan dana hanya berputar-putar di antara sektor perbankan dan pemerintah saja.

Menurunkan Yield Surat Utang

Pertanyaannya, mengapa perbankan di China dan Vietnam tetap menyalurkan kredit ke swasta dan tidak terdorong untuk membeli surat utangnya secara jorjoran? Jawabannya adalah karena yield yang diberikan kedua negara tersebut untuk surat utangnya cukup rendah, bahkan lebih rendah dibandingkan suku bunga bank sentralnya.

Seperti diketahui, suku bunga acuan bank sentral Indonesia saat ini adalah 4%, sedangkan yield surat utangnya (10 tahun) 6,7%.

Untuk China, suku bunga acuan bank sentralnya 3,85%, sedangkan yield surat utang (10 tahun) 3,05%. Untuk Vietnam, suku bunga acuan bank sentralnya 4,5%, sedangkan yield surat utangnya (10 tahun) 2,9%.

Dari data-data di atas, terlihat apa perbedaan China-Vietnam dengan Indonesia? Ya, yield surat utang China dan Vietnam lebih rendah dari suku bunga acuan bank sentralnya. Sebaliknya, yield surat utang Indonesia lebih tinggi dari suku bunga acuan bank sentral Indonesia.

Bila suku bunga acuan Bank Sentral lebih tinggi dari yield surat utang, maka dana perbankan tidak akan membanjiri surat utang. Akibatnya mau tidak mau perbankan akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyalurkan kredit.

Tidak akan terjadi efek crowding out dalam sistem ekonomi negara tersebut. Itulah yang menjelaskan kondisi di China dan Vietnam.

Pertanyaannya, bisakah yield rendah berlaku di surat utang Indonesia? Tentu harus bisa. Percuma dong pejabat keuangan kita sudah sekolah tinggi-tinggi.

Di Indonesia, pejabat kementerian keuangannya memiliki rumus (tersaji di website DJPPR Kemenkeu) untuk menentukan kupon surat utang, yaitu suku bunga acuan bank sentral ditambah “spread”.

Darimana asal rumus ini?! Mengapa kementerian keuangan China dan Vietnam memiliki rumus yang berbeda? Mereka mendapatkan besar kupon malah dengan mengurangi suku bunga acuan dengan “spread”. Mengapa pejabat kita tidak menggunakan rumus pemerintahan China dan Vietnam saja (mengurangi suku bunga acuan dengan “spread”, bukan menambah), agar bunga surat utang Indonesia ikut rendah.
Mungkin nanti akan ada juga ekonom atau pejabat yang bilang, yield ini tidak bisa diturunkan karena murni ditentukan oleh pergerakan pasar. Benarkah? Artinya para ekonom atau pejabat yang bilang begitu itu jarang membaca.

Ada namanya kebijakan “yield curve control”. Ini adalah kebijakan yang dilakukan untuk mematok besar yield surat utang untuk mengurangi beban bunga dari surat utang di masa mendatang. Kebijakan ini sudah diterapkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia, dan berhasil.

Populer

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

Jurus Anies dan Prabowo Mengunci Kelicikan Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 19:46

Tim Hukum PDIP Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda

Selasa, 23 April 2024 | 19:52

Pj Gubernur Jabar Minta Pemkab Garut Perbaiki Rumah Rusak Terdampak Gempa

Senin, 29 April 2024 | 01:56

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

UPDATE

Samsudin Pembuat Konten Tukar Pasangan Segera Disidang

Kamis, 02 Mei 2024 | 01:57

Tutup Penjaringan Cakada Lamteng, PAN Dapatkan 4 Nama

Kamis, 02 Mei 2024 | 01:45

Gerindra Aceh Optimistis Menangkan Pilkada 2024

Kamis, 02 Mei 2024 | 01:18

Peringatan Hari Buruh Cuma Euforia Tanpa Refleksi

Kamis, 02 Mei 2024 | 00:55

May Day di Jatim Berjalan Aman dan Kondusif, Kapolda: Alhamdulillah

Kamis, 02 Mei 2024 | 00:15

Cak Imin Sebut Negara Bisa Kolaps Kalau Tak Ada Perubahan Skenario Kerja

Rabu, 01 Mei 2024 | 23:39

Kuliah Tamu di LSE, Airlangga: Kami On Track Menuju Indonesia Emas 2045

Rabu, 01 Mei 2024 | 23:16

TKN Fanta Minta Prabowo-Gibran Tetap Gandeng Generasi Muda

Rabu, 01 Mei 2024 | 22:41

Ratusan Pelaku UMKM Diajari Akselerasi Pasar Wirausaha

Rabu, 01 Mei 2024 | 22:36

Pilgub Jakarta Bisa Bikin PDIP Pusing

Rabu, 01 Mei 2024 | 22:22

Selengkapnya