Berita

Ilustrasi/Net

Publika

Menanti Tatanan Dunia Baru

RABU, 17 JUNI 2020 | 08:33 WIB | OLEH: TRIAS KUNCAHYONO

AKAN menjadi seperti apa dunia setelah pandemik Covid-19, nanti? Pertanyaan tersebut kini mulai menggedor-nggedor pikiran banyak orang. Tidak hanya para cerdik-cendikia, para pemimpin negara, para politisi, tetapi juga rakyat biasa. Meskipun, tidak seorang pun berani dan bisa memastikan, kapan pandemik Covid-19 ini akan sungguh-sungguh berakhir.  

Pertanyaan lain adalah sampai kapan kondisi seperti sekarang ini berlangsung? Apakah tidak akan muncul gelombang kedua bahkan ketiga seperti halnya “The Great Influenza Pandemic” yang lebih dikenal sebagai Flu Spanyol atau “La Grippe.”  

Menurut catatan, Flu Spanyol menyapu dunia dalam tiga gelombang: pertama pada musim semi 1918, kedua dan sangat mematikan mulai September 1918 hingga Februari 1919, dan ketiga masih pada tahun 1919; bahkan beberapa negara mengalami gelombang keempat pada tahun 1920 (Robert J. Barro ,José F. Ursúa, dan Joanna Weng; 2020).

Sapuan tiga gelombang di sekitar 48 negara itu, menewaskan antara 50 juta hingga 100 juta orang atau sekitar 2,1 persen penduduk dunia (setara dengan 220 juta hingga 430 juta orang pada zaman sekarang bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya). Gelombang pertama dan kedua terjadi berbarengan dengan tahun akhir PD I, sehingga, pesebaran flu makin luas, karena dibawa tentara yang pulang ke negerinya masing-masing.

Sejumlah tokoh terkenal menjadi korban Flu Spanyol itu. Mereka antara lain, sosiolog kondang Max Weber, seniman lukis asal Austria Gustav Klimt, dan protégé (anak didik) dari Gustav Klimt yakni Egon Schiele, lalu Frederick Trump, kakek dari Presiden Donald Trump.

Tokoh-tokoh besar zaman itu yang selamat dari Flu Spanyol antara lain  novelis Franz Kafka (1883-1924); ekonom Friedrich August von Hayek (1899-1992) yang pada 1974 memperoleh hadiah Nobel Ekonomi bersama Gunnar Myrdal; Jenderal John J Persing (1860-1948) yang memimpin pasukan AS terjun dalam PD I di Eropa dan membantu mengakhiri perang.

Selain mereka tokoh lainnya yang selamat adalah Walt Disney (1901-1966)  orang AS yang antara lain dikenal sebagai produser televisi dan film,  pelopor film kartun termasuk Mickey Mouse, serta co-founder Disneyland dan Disney World; Raja Spanyol Alfonso XIII (1886-1941) yang dikenal  mengesahkan kediktatoran militer tetapi kebijakan ini justru memperlemah posisinya sendiri dan mempercepat lahirnya Republik Kedua.

Yang juga selamat dari sapuan Flu Spanyol adalah Georges Clemenceau yang dikenal dengan sebutan “Le Tigre” atau Sang Macan (1841-1929). Wartawan dan juga negarawan ini, pada 1917-1920 (saat Flu Spanyol mengamuk) menjadi  perdana menteri. Clemenceau disebut-sebut sebagai penyusun Perjanjian Versailles yang mengakhiri PD I tetapi yang justru menjadi pendorong pecahnya PD II, karena Jerman merasa sangat dipermalukan lewat perjanjian itu.

PD II adalah “dampak jauh” dari Flu Spanyol. Demikian juga Great Depression (Depresi Hebat) atau sering disebut zaman malaise (zaman meleset), yakni kemerosotan ekonomi dunia yang dimulai pada tahun 1929 dan berlangsung hingga sekitar tahun 1939 yang sangat memukul AS.

Zaman Malaise ini yang mendorong Presiden Franklin Delano Roosevelt dalam upaya mengatasi krisis membuat program yang disebut “New Deal". Program ini dimaksudkan untuk antara lain mendukung bisnis, mengurangi pengangguran (yang waktu itu mencapai 25,6 persen), dan melindungi publik.

Dampak terdekat dari Flu Spanyol dan PD I adalah short depression (depresi singkat) yakni 1920-1921 yang dikenal dengan sebutan Forgoten Depression. Menurut Robert J Barro dan Jose F. Ursúa (dalam Robert J. Barro, José F. Ursúa, dan Joanna Weng; 2020), dampak ekonomi makro dari pandemik Flu Spanyol sangat besar.

Pandemik itu mengakibatkan penurunan kumulatif lebih dari 10 persen dalam PDB atau konsumsi riil per kapita dunia. Dengan kata lain, akibat serangan Flu Spanyol terjadi guncangan makro ekonomi negatif terbesar keempat di dunia sejak 1870 – terjadi setelah Perang Dunia II, Depresi Hebat pada awal 1930-an, dan Perang Dunia I.

Dampak Menyeluruh

Baik Black Death maupun La Grippe, yang menyerang tidak hanya Eropa tetapi juga Asia dan Timur Tengah ini berdampak besar terhadap dunia, terhadap kehidupan manusia baik secara ekonomi, politik, budaya, maupun sosial dan keagamaan. Dampak paling nyata dari serangan Black Death adalah turunnya jumlah penduduk.

Banyak orang meninggalkan daerah pedesaan dan bermigrasi ke kota untuk mencari upah yang lebih tinggi. Struktur ekonomi kekayaan berbasis lahan bergeser. Kekayaan dalam bentuk uang, keterampilan, dan layanan muncul.
Kota-kota kecil tumbuh sementara perkebunan besar dan kecil mulai runtuh. Struktur sosial, ekonomi, dan politik yang sangat Eropa diubah selamanya.

Wabah Black Death telah mempercepat runtuhnya sistem pemerintahan feodal dan mengubah wajah Eropa. Di Eropa, misalnya, akibat penurunan jumlah penduduk tersebut tak pelak lagi mengubah struktur ekonomi dan sosial. Tenaga kerja di bidang pertanian juga turun drastis, menjadi langka.  

Menurut hukum ekonomi, upah kemudian akan naik, karena tenaga kerja menjadi aset langka. Pemilik tanah harus menawarkan insentif khusus kepada pekerjanya agar tetap mau mengerjakan tanahnya. Kalau upah tidak dinaikkan, maka mereka akan pindah ke tuan tanah lain yang bersedia memberikan upah seperti yang mereka kehendaki.

Dengan kata lain, para tenaga kerja memiliki daya tawar (bargaining power) yang lebih kuat. Dalam banyak kasus, para pekerja bisa mendapatkan upah hingga lima kali lipat dibandingkan sebelum wabah.

Ini yang pada gilirannya memunculkan kelas menengah yang makmur. Apalagi karena kematian begitu banyak orang berujung pada pemusatan kekayaan di tangan para penyintas, mereka yang selamat.

Di kota-kota, wabah memiliki efek mengkonsolidasikan kekayaan, terutama di kalangan kelas menengah. Pembaruan dalam sistem pengupahan itu yang antara lain menjadi akar kapitalisme.

Tetapi, gejolak sosial, misalnya di kalangan petani penyewa tanah karena tingginya harga sewa tanah telah memicu terjadinya pemberontakan petani di Inggris (1381), Prancis (pemberontakan Jacquerie), dan di Italia (pemberontakan Ciompi, yang melanda kota Florence).

Wabah Black Death, sangat mempercepat perubahan sosial dan ekonomi selama abad ke 14 dan 15. Salah satu kelompok yang paling menderita adalah Gereja, karena kehilangan prestise, otoritas spiritual, dan kepemimpinan atas rakyat. Gereja menjanjikan penyembuhan, perawatan, dan penjelasan untuk wabah itu. Mereka mengatakan itu adalah kehendak Tuhan, tetapi alasan hukuman yang mengerikan ini tidak diketahui.

Orang-orang menginginkan jawaban, tetapi para imam dan uskup tidak punya jawaban. Orang-orang berdoa kepada Tuhan dan memohon pengampunan. Setelah wabah berakhir, penduduk desa yang marah dan frustrasi mulai memberontak melawan Gereja. Para penyintas juga marah kepada dokter, yang mengatakan mereka bisa menyembuhkan pasien tetapi tidak.

Dipercaya bahwa wabah Black Death memiliki dampak mendalam dan terkait langsung munculnya Renaisans (Kelahiran Kembali) dalam berbagai cara, bahkan Reformasi Eropa Barat, dan mengubah wajah Eropa secara keseluruhan.

Wabah Black Death mengguncang fondasi Eropa Abad Pertengahan dan generasi yang mengikuti dapat dengan bebas memperkenalkan pemikiran baru, membuka jalan bagi dimulainya Renaisans (Russell J Lowke,  1999). Dengan lain kata, wabah Black Death menjadi jembatan dari Abad Pertengahan ke Renaisans.

Renaisans yang merupakan sebuah gerakan pembaruan yang dikenal sebagai masa pencerahan, fajar budi (Aufklarung) yang bertujuan mereformasi ajaran-ajaran masyarakat seperti sastra, filsafat, seni, musik, politik, ilmu pengetahuan, dan agama yang pada akhirnya membawa ke Zaman Modern.

Menurut Jacob Burckhardt (1818-1897) sejarawan kondang asal Swiss penulis buku 'Die Kultur der Renaissance in Italien' (Peradaban Renaisans di Italia, 1878), Renaisans bukan sekadar kelahiran kembali kebudayaan Romawi dan Yunani kuno, tetapi merupakan kebangkitan kesadaran manusia sebagai individu yang rasional, sebagai pribadi yang otonom, yang mempunyai kehendak bebas dan tanggung jawab.

Zaman Pencerahan yang ditandai dengan dijadikannya rasio sebagai pemimpin tertinggi. Gerakan ini menuntut toleransi yang lebih besar, bagi pemerintahan yang lebih demokratis, konsep hak asasi, humanisme dan berbagai penemuan serta penggunaan penemuan-penemuan baru seperti kertas mesin cetak, kompas bagi pelaut, bubuk mesiu. Pada masa itu, para ilmuwan tidak lagi puas dengan menerima begitu saja kata-kata guru di zaman lampau. Mereka mengamati sekaligus melakukan eksperimen sendiri (Kevin O’Donnell, 2009).

Zaman Baru

Kembali ke pertanyaan yang mengawali tulisan ini: Apa yang akan terjadi setelah pandemik Covid-19? Tidak ada yang bisa memastikan!

Meskipun, perubahan-perubahan akan terjadi, tetapi bentuknya seperti apa? Apakah matinya zaman lalu akan disusul zaman baru, zaman yang benar-benar baru dalam kehidupan manusia. Dalam arti meninggalkan berbagai kelakuan dan tabiat zaman lama, perilaku lama yang mungkin “memberikan sumbangan” atau malah menjadi “penyebab” munculnya pandemik Covid-19?

Apakah akan terjadi perubahan besar seperti setelah wabah Black Death atau Flu Spanyol? Bukankah sejarah menceritakan bahwa wabah Black Death telah menjadi motivator atau provokator lahirnya Zaman Renaisans dan bahkan Reformasi?

Apakah akan seperti zaman setelah tragedi Flu Spanyol, tetapi yang hampir dua dekade kemudian “melahirkan” Zaman Malaise (Great Depression) yang menurut Francis Fukuyama mendorong isolasionisme, nasionalisme, fascisme, dan bahkan PD II. Tetapi juga mendorong dikeluarkannya New Deal (di AS), dan melahirkan AS sebagai adidaya global serta akhirnya dekolonisasi (Foreign Affairs, Mei-Juni 2020).   

Semua perubahan, atau lahirnya zaman baru tersebut sangat tergantung pada masing-masing negara mengatasi dan mensikapi pandemik. Terlihat sangat adanya perbedaan masing-masing negara dalam mengatasi dan mensikapi pandemik Covid-19. Misalnya, antara China, negeri yang awal mula disapu Covid-19 dan Indonesia dengan negara-negara Eropa atau bahkan dengan AS.

Fukuyama menyebut, ada beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan mengatasi pandemik: kapasitas negara, kepercayaan sosial, dan kepemimpinan. Negara-negara yang memiliki ketiganya—sebuah aparatus negara yang kompeten, pemerintah yang mendapatkan kepercayaan warganegaranya, dan didengarkan, serta pemimpin yang efektif—telah tampil mengesankan dan mampu membatasi kerusakan akibat pandemik Covid-19.

Satu hal yang jelas, pandemik Covid-19 telah mendorong semakin menguatnya nasionalisme, isolasionisme, xenophia, dan serangan terhadap tatanan dunia liberal seperti memperoleh momentum tepat. Bahkan di sejumlah negara, pandemik mendorong menguatnya radikalisme, fundamentalisme, dan fanatisme.

Italia, misalnya, begitu tersapu pandemik Covid-19 segera menutup diri, juga disusul negara-negara lain—didahului oleh China—dan “putusnya” hubungan antar-negara dalam bentuk transportasi nyata, demi keamanan negara.

Apakah “ketertutupan” negara akan melahirkan bentuk baru komunikasi antarnegara atau sebaliknya, naiknya nasionalisme akan meningkatnya kemungkinan konflik internasional. Misalnya, bagaimana bentuk kerja sama ASEAN dan Uni Eropa di zaman baru? Sejarahlah yang akan membuktikan.
Meski sekarang sudah terlihat, misalnya, Korea Utara, memutus hubungan dengan Korea Selatan, di tengah pandemik ini. Atau Israel dengan dukungan AS akan mensahkan wilayah pendudukan sebagai wilayahnya. Memang, negara-negara yang lemah secara ekonomi akan sangat kesulitan keluar dari penjara pandemik Covid-19 ini.

Perlu dicatat pula, krisis kemanusiaan karena pandemik Covid-19 ini telah mengungkap kemampuan sebenarnya para pemimpin negara: apakah mereka memiliki kemampuan memimpin dan mengatasi krisis atau tidak, apakah mereka pemimpin sejati? Xi Jinping atau Angela Markel, juga Jokowi telah menunjukkan dan membuktikan kemampuannya sebagai pemimpin. Ini sangat berbeda dengan Donald Trump yang membuat negerinya berantakan.

Kiranya zaman baru akan muncul dan dihela oleh para pemimpin negara yang mampu membawa keluar negerinya dari krisis kemanusiaan yang sangat dahsyat ini.

Tetapi mereka, para pemimpin yang sudah membuktikan kepemimpinannya yang andal itu, masih ditunggu atau malahan dituntut untuk melakukan langkah yang dahsyat agar benar-benar mampu membawa dunia ini ke Zaman Baru dengan mengubur dalam-dalam Zaman Lama yang merusak Bumi, yang penuh kekerasan, kebencian, tidak toleran, fanatisme, fundametalisme, juga yang banyak tidak menghormati nilai-nilai kemanusiaan.

Dengan demikian setelah pandemik Covid-19 berakhir, akan benar-benar lahir Zaman “Normal Baru” dan benar-benar “Baru Normal” setelah sekian lama tidak normal.

Populer

UPDATE