Berita

Tim medis Kuba saat tiba di Italia/Net

Dunia

COVID-19

Diplomasi Medis Ala Kuba, Unjuk Gigi Kemampuan Dalam Negeri Di Tengah Pandemi

MINGGU, 26 APRIL 2020 | 22:56 WIB | LAPORAN: AMELIA FITRIANI

Di tengah pandemi virus corona atau Covid-19 yang menjadi musuh bersama dunia saat ini, Kuba muncul ke panggung global dan menunjukkan solidaritas internasionalnya.

Negara Karibia kecil yang diisolir oleh Amerika Serikat itu maju sebagai bagian dari garda terdepan perang melawan virus corona. Negara ini bahkan membuat rekor yang mustahil, yakni mengirim tim medis ke 19 negara dalam waktu kurang dari dua minggu.

Di antara 19 negara tersebut adalah Italia, Andorra, Angola, Jamaika, Meksiko, dan Venezuela. Total ada sekitar 900 dokter dan perawat Kuba yang ditugaskan di luar negeri untuk membantu penanganan pasien virus corona di negara-negara tersebut.


Hal ini menunjukkan bahwa terlepas dari sanksi Amerika Serikat yang melumpuhkan, Kuba berhasil memainkan peran kunci dalam perang melawan virus corona.

Sebenarnya, ini bukan kali pertama Kuba mengirimkan tim medis sebagai bentuk solidaritas internasionalnya. Negara ini memainkan peran kunci dalam upaya penyelamatan nyawa di tengah bencana alam terburuk yang pernah terjadi, terutama di Asia. Termasuk di antaranya adalah tsunami 2004 di Sri Lanka, gempa 2005 di Pakistan, dan gempa 2006 di Indonesia.

Oscar Putol, seorang anggota misi yang merawat para korban gempa Indonesia 2006, menjelaskan operasi yang mereka lakukan dalam memberikan bantuan.

"Hari ini, sebuah gunung berapi, besok, gempa bumi, lusa, banjir. Kuba siap pergi ke negara mana saja untuk membantu," tegasnya.

Sayangnya, banyak media barat kerap mengabaikan peran penting tim medis Kuba di Asia maupun di dunia dalam kondisi kritis, baik ketika bencana atau ketika pandemi virus corona seperti yang saat ini terjadi.

Padahal, upaya Kuba dalam membangun sistem kesehatan serta menelurkan generasi unggul di bidang medis banyak diapresiasi di tataran global.

Mantan presiden Timor-Leste yang juga pemenang Nobel Jose Ramos-Horta, sebelumnya pernah memuji Kuba karena berhasil membangun sistem kesehatan publik dari bawah setelah kemerdekaan negaranya pada tahun 2001.

"Timor-Leste telah memiliki banyak negara sebagai teman sejati, tetapi saya harus bertanya, hadiah lebih besar apa yang dapat kita terima dari sistem kesehatan yang dijamin untuk rakyat kita? Ini adalah hadiah dari rakyat Kuba," ungkap Ramos-Horta dalam sebuah pernyataan beberapa waktu lalu.

Pernyataan ini merujuk pada kontribusi besar Kuba pada bidang kesehatan di Timor-Leste, terutama di tengah pandemi virus corona saat ini. Dokter dari Kuba sekarang bekerja dengan beberapa ratus dokter Timor-Leste yang lulus dari sekolah kedokteran di Havana untuk mencegah pandemi virus corona.

Dalam data resmi tercatat bahwa ada sekitar 950 dokter Timor-Leste yang lulus dari sekolah kedokteran di Kuba antara tahun 2000 hingga 2019 lalu.

Bukan hanya kontribusi tim medis, salah satu pengobatan anti-virus Kuba, yakni interferon alfa-2b, juga digunakan secara luas oleh dokter China di Wuhan saat merawat pasien yang terinveksi virus corona.

Sangat mudah bagi otoritas medis China untuk mengakses obat anti-virus Kuba, karena sejak tahun 2003 telah dikembangkan Changchun Heber (ChangHeber), yakni sebuah usaha bioteknologi gabungan Kuba-China di provinsi Jilin.

Pakar Kuba Dr. Luis Herrera Martínez, yang bekerja di pusat bioteknologi CIGB Kuba, menjelaskan bahwa interferon alfa-2b mencegah komplikasi pada pasien, mencapai tahap yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian.

Obat ini digunakan dengan dua obat anti-virus HIV, yakni lopinavir dan ritonavir, untuk mengobati pasien virus corona di Wuhan, yang mengarah pada inklusi dalam uji coba obat yang sekarang sedang dikoordinasikan oleh WHO.

Namun, ada satu penelitian awal yang memperingatkan bahwa interferon hanya dapat digunakan dengan aman dalam menangani gejala ringan pada tahap awal infeksi virus corona.

Kuba sendiri pertama kali mengerahkan interferon pada 1981 untuk menangkap wabah mematikan demam berdarah yang memengaruhi 340.000 orang Kuba. Menurut dosen Universitas Glasgow Helen Yaffe, pengalaman itu memicu pengembangan industri biotek yang sangat inovatif di Kuba.

"IPK Kuba (Institut Penyakit Tropis Pedro Kouri Internasional) dihormati di seluruh Amerika Latin dan sekitarnya," kata profesor antropologi medis di Harvard Medical School, Profesor Paul Farmer.

"Dengan anggaran yang relatif kecil, kurang dari itu, katakanlah, dari satu rumah sakit penelitian besar di Harvard, IPK telah melakukan penelitian sains dasar yang penting, membantu mengembangkan vaksin baru, melatih ribuan peneliti dari Kuba dan dari seluruh dunia," sambungnya.

Keahlian bioteknologi Kuba juga telah lama menarik bagi negara-negara Asia, menghasilkan perjanjian usaha patungan dengan China, Singapura, dan Thailand.

Selain pabrik ChangHeber, Kuba memiliki pabrik patungan lain, yakni Biotech Pharmaceutical Company Ltd., di Zona Pengembangan Ekonomi dan Teknologi Beijing. Pabrik ini didirikan pada tahun 2000 dan memproduksi biofarmasi untuk mengobati kanker kepala, leher, dan telinga.

Sementara itu, Pusat Inovasi Bersama Bioteknologi China-Kuba secara resmi diresmikan di provinsi Hunan pada bulan Januari lalu, tepat saat pandemi virus corona memanas di provinsi Hubei.
Menurut kedutaan Kuba di China, pusat itu akan mengembangkan 100 persen proyek dan teknologi Kuba.

Bukan hanya itu, sebelum pandemi virus corona benar-benar berdampak di Thailand, pada bulan Februari lalu, Siam Bioscience Group Thailand dan Pusat Imunologi Molekuler (CIM) di Kuba telah mengumumkan kemajuan dalam pengembangan bersama antibodi monoklonal untuk mengobati kanker dan penyakit autoimun. MOU mereka pertama kali ditandatangani pada tahun 2017.

Siam Bioscience menjadi mitra usaha patungan pertama dengan Kuba di kawasan Asia Tenggara untuk transfer keahlian bioteknologi dan pendirian pabrik manufaktur untuk produk medis.

CEO Siam Bioscience, Songpon Deechongkit, menjelaskan rencananya untuk memproduksi dan menjual tiga obat baru untuk penyakit rumit, yakni kanker, gagal ginjal, dan penyakit auto-imun pada tahun 2022 mendatang.

MOU bioteknologi lainnya juga telah ditandatangani Kuba dengan perusahaan di Singapura, Malaysia, dan Jepang.

Nimotuzumab obat anti-kanker Kuba secara khusus menarik beberapa perjanjian MOU, termasuk satu dengan perusahaan Jepang Daiichi Sankyo yang mengambil obat Kuba sampai ke tahap 3 uji klinis internasional, sebelum dihentikan pada tahun 2014.

Hal itu terjadi karena sulitnya obat inovatif dari Selatan, seperti Kuba, untuk meloloskan semua protokol untuk dapat masuk ke pasar obat Barat yang sebagian besar didominasi oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dan Uni Eropa.

Ketika perusahaan Jepang gagal, Thailand mungkin berhasil, berkat model usaha patungan yang sangat berbeda yang hanya menargetkan Thailand dan pasar farmasi ASEAN.

Menurut Songpon, harga obat-obatan yang diproduksi oleh perusahaan tersebut akan 50 persen lebih rendah daripada obat-obatan impor mahal dari negara-negara maju. Hal itu bertujuan untuk membuat pasien Thailand bisa mengakses obat-obatan berkualitas tinggi dengan harga lebih rendah.

"Pabrik itu juga akan membantu Thailand menyiapkan layanan medis dan kesejahteraan sosialnya bagi masyarakat lanjut usia yang akan datang, dan meningkatkan kualitas hidup orang Thailand," jelasnya seperti dimuat The Diplomat.

Perjanjian ini juga menetapkan Siam Biotech sebagai perusahaan terkemuka di ASEAN untuk bioteknologi dan produksi biosimilar, juga dikenal sebagai obat generik.

Dengan rekam jejak kemampuan medis Kuba yang mumpuni seperti di atas dan upaya diplomasi medis yang dilakukannya, tidak heran jika pada saat pandemi virus corona terjadi, lebih dari 40 negara di dunia segera meminta pertolongan pada Kuba.

Pemerintah Kuba pun menunjukkan solidaritas internasionalnya dengan segera mengirimkan bantuan tim medis ke sejumlah negara.

Namun apa yang dilakukan oleh Kuba bukan tanpa suara sumbang. Salah kritik pedas datang dari Amerika Serikat. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo menyebut bahwa misi medis internasional Kuba adalah budak dokter yang memperkaya negara komunis.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat dalam pernyataan di Twitter beberapa waktu lalu menyebut bahwa motif Kuba mengirim dokter pada misi internasional di tengah pandemi virus corona saat ini adalah untuk membuat uang yang hilang.

Padahal, pemimpin tim medis Kuba di Italia, Dr. Carlos Perez Diaz dalam wawancara pers setempat mengatakan bahwa apa yang dilakukannya dan misi medis Kuba tidak memiliki tujuan profit.

"Kami hanya di sini untuk berkolaborasi berdasarkan solidaritas kami," katanya.

"Pemerintah Italia telah meyakinkan kamar dan asrama untuk kami, tetapi tidak ada pembayaran yang telah dibahas," jelasnya.

Pemerintah Kuba juga menegaskan bahwa tidak ada keuntungan finansial yang diraup dari pengiriman bantuan ke Kepulauan Karibia, termasuk Antigua, Barbados, dan St Kitts.

Reputasi Kuba di panggung dunia sebagai penyedia utama layanan medis global telah diakui banyak negara, bahkan juga oleh PBB. Salah satu bentuk pengakuannya adalah penghargaan pada tahun 2017 untuk Henry Reeve International Medical Brigade di Kuba "sebagai pengakuan atas bantuan medis daruratnya kepada lebih dari 3,5 juta orang di 21 negara".

Tetapi penghargaan dan itikad baik internasional sendiri tidak akan menyelesaikan masalah di Kuba itu sendiri. Terutama terkait dengan sanksi dari Amerika Serikat yang membuat Kuba kesulitan untuk bergerak lebih luas di ranah internasional, meski ada dukungan dari China dan Rusia.

Meski begitu, apa yang dilakukan Kuba di tengah pandemi virus corona saat ini, baik di kawasan Karibia, Eropa maupun Asia, akan semakin memperkuat posisi Kuba di panggung dunia. Akan mungkin lebih banyak negara yang merasa perlu untuk memanfaatkan keahlian Kuba, baik sebagai mitra usaha patungan untuk menghasilkan obat yang lebih murah dan sebagai model yang berguna dalam membangun sistem kesehatan masyarakat yang lebih tangguh.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

Wakil Wali Kota Bandung Erwin Ajukan Praperadilan

Kamis, 18 Desember 2025 | 04:05

Prabowo Diminta Ambil Alih Perpol 10/2025

Kamis, 18 Desember 2025 | 04:00

BNPB Kebut Penanganan Bencana di Pedalaman Aceh

Kamis, 18 Desember 2025 | 03:32

Tren Mantan Pejabat Digugat Cerai

Kamis, 18 Desember 2025 | 03:09

KPID DKI Dituntut Kontrol Mental dan Akhlak Penonton Televisi

Kamis, 18 Desember 2025 | 03:01

Periksa Pohon Rawan Tumbang

Kamis, 18 Desember 2025 | 02:40

Dua Oknum Polisi Pengeroyok Mata Elang Dipecat, Empat Demosi

Kamis, 18 Desember 2025 | 02:13

Andi Azwan Cs Diusir dalam Gelar Perkara Khusus Ijazah Jokowi

Kamis, 18 Desember 2025 | 02:01

Walikota Jakbar Iin Mutmainnah Pernah Jadi SPG

Kamis, 18 Desember 2025 | 01:31

Ini Tanggapan Direktur PT SRM soal 15 WN China Serang Prajurit TNI

Kamis, 18 Desember 2025 | 01:09

Selengkapnya