Presiden RI, Joko Widodo/Net
SEJARAWAN Onghokham yang berkeliling Jawa menjelang kejatuhan Soekarno mencatat fenomena wabah kutu busuk di sejumlah kota besar.
Ong kerap menyaksikan ratusan tikus turun ke jalan dari persawahan yang kering, yang tampak melalui sorot lampu kendaraan yang ditumpanginya pada malam hari.
Fenomena kutu busuk terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Solo, Bandung, dan beberapa wilayah Jawa Timur.
Orang tak dapat duduk tenang di tempat-tempat umum seperti gedung bioskop, restoran, dan perkantoran, karena gangguan kutu busuk.
Waktu itu situasi sosial dan ekonomi mirip sekarang. Petani/nelayan terabaikan. Sehingga di desa-desa, manusia dan tikus kelaparan.
Lapangan kerja susah (tapi tak diserobot aseng). Beras mahal.
Harga-harga melonjak. Kriminalitas meningkat.
Wabah penyakit seperti cacar dan busung lapar (sekarang Corona) ditutup-tutupi dengan istilah KKM, Kemungkinan Kurang Makan...
Pemerintah kehilangan kepercayaan.
Adam Malik yang baru ditunjuk jadi Menko Pelaksanaan Ekonomi Terpimpin di depan Kesatuan Aksi Mahasiswa UI mengeluh tiada mengerti ekonomi.
Kabinet dikata-katai Anjing Peking. Chaerul Saleh yang mengurus pertambangan naikin harga bensin. Yusuf Muda Dalam terlibat korupsi makan duit suap impor...
Soekarno tentu tidak seperti pimpinan rezim yang sekarang.
Sama sekali tak layak untuk dibanding-bandingkan.
Soekarno negarawan besar yang tak perlu menutupi keadaan.
Kepada Roeslan Abdulgani, sahabat sejak masa perjuangan kemerdekaan, Proklamator RI itu berkata rela mundur asal bangsa ini tidak hancur dipecah neokolim, yang tak lain adalah asing & aseng, berkolaborasi dengan elite bumiputera yang khianat.
Soekarno menulis Nawaksara yang akhirnya ditolak.
Soeharto setelah 32 tahun berkuasa masih punya rasa tahu diri. Tahu batas, dan menyatakan berhenti. Sudah cukup darah tumpah. Kalau mau dia bisa bikin Tiananmen versi Orba. Pembantaian komunis terhadap mahasiswa & orang sipil.
Tatakelola rezim hari ini berciri
infantil disorder, semacam gangguan kejiwaan kolektif, di mana realitas persoalan yang terjadi dan dialami langsung oleh masyarakat ditutup-tutupi secara kekanakan: Corona “dilawan†pakai buzzers 72 miliar APBN, promosi infrastruktur hasil utang dengan selfi, gaungkan Pancasila pakai TikTok, makin banyak menteri ngomong ngelantur, banyak angin surga; janji ini-itu; jargon yang melambung, kartu perkibulan yang ujungnya bohong belaka.
Bagaimanakah keadaan rakyat dan negeri ini lima tahun ke depan?
Sebab esensinya dikelola oleh para amatir avonturir. Para petualang amatir, yang ambil untung belaka untuk pribadi & kelompok dengan jual diri kepada aseng.
Tanda-tanda zaman, tanda tanda alam, sudah kasih isyarat tak menginginkan rezim berlanjut.
Dan bukankah orang Jawa bijak berkata:
Ojo Rumongso Biso, Nanging Kudu Biso Rumongso...
Arief GunawanWartawan Senior