Berita

Ilustrasi virus corona/Net

Publika

Memastikan Suara Publik Dalam Derap Post Democracy

MINGGU, 01 MARET 2020 | 15:32 WIB | OLEH: YUDHI HERTANTO

LULUH lantak. Sesungguhnya, tidak hanya Corona yang menjadi mengancam eksistensi manusia. Kekuasaan sekelompok manusia, bisa menjadi ancaman bagi manusia lain. Homo homini lupus.

Keadilan serta kesejahteraan sosial, adalah tema yang selalu menjadi pokok persoalan. Bahkan berulang dalam setiap proses konflik sosial di dunia.

Sepanjang tahun 2019, sebelum ditutup dengan merebaknya Corona, diwarnai peningkatan ketegangan sosial di berbagai penjuru wilayah dunia.


Bukan hanya, Afrika dan Timur Tengah yang memang menjadi hotspot pertarungan kepentingan politik. Begitu juga di Amerika Latin, Asia Timur hingga Eropa. Gerakan rompi kuning di Prancis hingga revolusi payung Hongkong terjadi.

Pemicunya sangat beragam. Mulai dari persoalan harga parkir dan transportasi, kenaikan biaya bahan bakar hingga pencabutan subsidi pendidikan maupun kesehatan. Isu keseharian, menjadi pembicaraan publik, menyoal kepentingan komunal, berdampak politik.

Sementara itu, sepanjang 2019 dalam konteks domestik, isu politik lokal juga mencapai titik panas tertinggi bersamaan dengan periode kontestasi nasional. Polarisasi terjadi. Di bagian akhir, para elit berkoalisi. Di tingkat akar rumput, bara dalam sekam tersembunyi.

Pokok Soal

Merebaknya ketidakpuasan publik di berbagai negara, memiliki muara yang sama. Tersumbatnya saluran demokratis. Suara dan aspirasi publik, tidak termuat dalam berbagai kebijakan.

Ruang demokrasi sesak. Padat dengan kepentingan kekuasaan. Demokrasi memang mensyaratkan sirkulasi kekuasaan. Dalam kerangka pragmatis, kekuasaan bermakna kekuatan modal.

Publik bergerak merespon realitas. Kenyataan sosial yang dihadapi, tertutup awan gelap tidaklah cerah. Ketimpangan dan ketidakadilan adalah sebuah kenyataan. Jauh dari mimpi adil, makmur, sejahtera.

Kelompok kekuatan politik, mengartikulasikan legitimasi sebagai hasil dari proses pemilihan umum, terutama bagi upaya konsolidasi sumberdaya untuk tetap mempertahankan kekuasaan.

Proses demokrasi, beralih dari sarana kebebasan, menjadi alat penguasaan baru. Kekuasaan yang lahir dari demokrasi, tidak urung berubah menjadi kekuatan anti demokrasi.

Kecenderungan wajah otoriter tersembunyi dibalik bilik pemilihan. Terperangkap pada pilihan populis. Konstruksi figur populer, melalui simbiosis mutualisme menggunakan peran media terjadi.  

Selaras dengan Hendri Teja, dkk dalam Suara Rakyat, Suara Tuhan: Mengapa Gerakan Protes Sosial Sedunia Marak, 2020, indikasi kekuasaan mewujud menjadi tirani, ketika publik kehilangan gairah beroposisi.

Tipologi otoritarian, terjadi bersamaan dengan mengkerutnya kebebasan publik, dalam mengkritisi kebijakan kekuasaan. Merajalelanya berbagai tindak korupsi, melalui transaksi pengaruh. Hingga manipulasi proses politik.

Fase Post Democracy

Kemenangan oligarki, menandai periode post democracy. Situasi dimana ruang demokrasi terjadi melalui tangan-tangan segelintir elite. Publik menjadi objek pelengkap. Terpolitisasi melalui isu sektarian dan populis, pada tahap kampanye dan pemilihan.

Proses demokrasi ditelikung. Instrumen demokrasi tertutup. Publik terperangkap dalam kesadaran palsu. Keterbelahan adalah konsekuensi dari proksi pertarungan kepentingan antar elite. Demokrasi menjadi sekedar formalitas.

Menguatnya demokrasi prosedural, menghilangkan hal esensial, yakni mewujudkan hakikat kepentingan publik untuk merdeka dan sejahtera. Kekuasaan terpisah dan eksklusif dalam kebijakan, tetapi nampak populis melalui berbagai tampilan pencitraan.

Berangkat dari Irfan Afifi, dalam Jurgen Habermas, Senjakala Modernitas, 2019, ilusi kepentingan elite yang seolah merepresentasi kehendak publik, harus bisa dilakukan melalui upaya menghadirkan rasionalitas dialogis.

Diskursus tentang kekuasaan, harus dikembangkan dalam ruang komunikasi, pada berbagai ruang publik. Mengutip Habermas, demokrasi yang hadir selaras dengan upaya modernitas, adalah bagian dari kerangka perluasan kepentingan kapitalistik.

Kuasa untuk membalik demokrasi yang berorientasi kekuasaan elite menjadi kekuasaan publik, hanya akan terjadi, melalui tindakan komunikasi berkesadaran. Hal tersebut, jelas mengisyaratkan kebutuhan oposisi.

Dimensi kekuasaan, harus menghadirkan ruang setara sebagai antitesis, untuk menjaga keseimbangan demokrasi, karena kekuasaan kerap tergelincir anti kritik dan otoriter.

Penulis sedang menempuh Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid


Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya