Berita

Publika

Tradisi Politik Sukarno Dihancurkan Para Buzzer...

SELASA, 03 DESEMBER 2019 | 21:14 WIB | OLEH: ARIEF GUNAWAN

WAKTU diasingkan di Bengkulu Sukarno buka les privat bahasa Jawa. Salah satu muridnya, Jaap Kruisweg, menantu Residen Bengkulu.

Sukarno punya perpustakaan cukup besar. Melihat koleksi buku-buku yang sedemikian luas, Jaap bertanya.

“Kenapa Tuan belajar begitu giat ?”


Sukarno menjawab:

“Saya harus belajar giat sekali, karena Insya Allah saya akan jadi presiden di negeri ini.”

Sukarno mempersiapkan diri bukan hanya dengan membaca, ia juga menulis. Berpolemik di surat kabar mengenai banyak hal dengan kalangan muda sekolahan pada masa itu. Generasi Indonesia tahun ‘20-an sampai tahun ‘50-an mengembangkan tradisi ini, sehingga pemimpin yang dilahirkannya umumnya adalah a good thinker, a good writer, and a good speaker. Bukan peternak buzzers yang menelurkan kotoran sampah berupa tinja demokrasi seperti yang terjadi saat ini.

Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi, dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi, dan tekhnologi. Buzzers karena sampah demokrasi juga merupakan sampah peradaban.

Celakanya buzzers kini dijadikan sokoguru oleh para elit kekuasaan. Dengan armada buzzers seorang tokoh kritis yang menyuarakan kebenaran bisa dibully habis-habisan, difitnah, diserang dengan kata-kata keji & kotor. Pribadinya dihancurkan. Tanpa ada argumentasi yang logis.

Modus operandi para buzzers adalah mengagungkan-agungkan pihak yang membayar mereka, seolah pihak tersebut bagaikan nabi, dan menghancurkan lawan-lawan politik dengan framing, propaganda intoleran, tuduhan anti NKRI, sampai tuduhan rasis. Salah satu ciri mencolok para buzzers adalah tidak punya kemampuan untuk membahas persoalan secara rasional.

Untuk jangka pendek dan jangka panjang perjalanan kehidupan berdemokrasi di negeri ini keberadaan buzzers sangatlah membahayakan.

Karena:

1. Bisa membangun opini sesat dalam menciptakan bandit menjadi “nabi”. Pecundang menjadi pemimpin. Garong menjadi manusia budiman.

2. Opini sesat yang diciptakan oleh para buzzer dijadikan sumber berita/bahan berita oleh media massa-media massa partisan yang secara sadar mengabaikan obyektivitas dan mengenyampingkan profesionalitas jurnalistik.

3. Rekrutmen kepemimpinan nasional bermodalkan penggunaan buzzers akan menyeret bangsa ini kepada kehancuran NKRI.

Penulis adalah wartawan senior.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Puan Harap Korban Banjir Sumatera Peroleh Penanganan Baik

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:10

Bantuan Kemensos Telah Terdistribusikan ke Wilayah Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 02:00

Prabowo Bantah Rambo Podium

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:59

Pansus Illegal Logging Dibahas Usai Penanganan Bencana Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:39

BNN Kirim 2.000 Paket Sembako ke Korban Banjir Sumatera

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:18

Bahlil Sebut Golkar Bakal Dukung Prabowo di 2029

Sabtu, 06 Desember 2025 | 01:03

Banjir Sumatera jadi Alarm Keras Rawannya Kondisi Ekologis

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:56

UEA Berpeluang Ikuti Langkah Indonesia Kirim Pasukan ke Gaza

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:47

Media Diajak Kawal Transformasi DPR Lewat Berita Berimbang

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:18

AMAN Raih Dua Penghargaan di Ajang FIABCI Award 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 00:15

Selengkapnya