Berita

Foto:Net

Publika

Bahaya "Doping Rupiah" Bagi Ekonomi Indonesia

SELASA, 26 NOVEMBER 2019 | 15:15 WIB | OLEH: GEDE SANDRA

TOTAL surat utang pemerintah per November 2019 berada di Rp 4.005 triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 3.975 triliun (99,2 persen) dapat diperdagangkan/tradable.

Ternyata ukuran pasar surat utang Indonesia besarnya lebih dari dua kali lipat dari jumlah devisa Indonesia (hasil ekspor, remitansi dan lain-lain). Devisa yang di BI per November tercatat sebesar 126,7 miliar dolar AS atau Rp 1.773 triliun (kurs Rp 14.000/dolar AS).

Dalam sebuah rezim keuangan yang seperti ini (pasar surat utang mendominasi), besar kecilnya defisit perdagangan kurang kuat pengaruhnya dalam gejolak kurs mata uang suatu negara. Sebaliknya, penambahan surat utang pemerintah hampir pasti akan mampu menyangga kekuatan kurs, karena banyak terjadi permintaan terhadap mata uang negara tersebut.


Sederhananya, semakin banyak pemerintah berutang, menerbitkan surat utang, maka mata uang negara tersebut akan menjadi kuat. Kurs kuat bukan karena kekuatan dalam hal ekonomi perdagangan, surplus transaksi berjalan, tapi lebih karena  aktif berutang di pasar uang.

Jadi, bila perekonomian kita diibaratkan bagaikan atlet: seolah saja lari kita terlihat cepat. Tapi lari cepat bukan dari hasil latihan yang keras, melainkan akibat dari Doping. Kurs Rupiah kita seolah terlihat kuat, padahal defisit neraca dagang (kumulatif) lumayan besar dan deindustrialisasi semakin cepat, serta tax ratio mentok di 9 persen.

Dengan teknik Doping, suatu negara tidak perlu memperkuat ekonomi industri dan perdagangan agar ekspor surplus tinggi (cadangan devisa tinggi), tapi cukup dengan mencetak utang di pasar surat utang sebanyak mungkin, maka kurs mata uang negara tersebut menjadi kuat. Ini sebuah teknik ekonomi yang buruk, sangat tidak produktif dan berpotensi bermasalah di masa depan.

Tidak produktif, karena sampai kapanpun para pelaku kebijakan tidak akan berusaha keras untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan, yang sangat berhubungan dengan kesehatan sektor industri dan perdagangan. Sehingga kita akan terus puas dengan growth di kisaran 5 persen, sehingga tidak kunjung menjadi negara maju (berdasarkan pendapatan perkapita) hingga 2045.

Bermasalah di masa depan, karena akumulasi dari tingginya bunga surat utang kita (tertinggi di Asia Timur) akan terus semakin besar dari tahun ke tahun. Alokasi untuk pembayaran bunga utang akan semakin mengorbankan alokasi anggaran untuk sektor-sektor lain di APBN. Umumnya, alokasi untuk rakyat banyak yang akhirnya dikorbankan pemerintah.

Apalagi bila pertumbuhan penerimaan negara tidak kunjung membaik, dan pemerintah kita tidak kreatif - hanya paham teori pengetatan (austerity), maka korbannya dalah rakyat: Tercekik dengan dicabutnya berbagai subsidi seperti di bidang energi (TDL 900KVA), kesehatan (iuran BPJS), dan penaikan pajak di cukai rokok dan jalan tol.

Sedikit tentang tingginya bunga surat utang kita, sebagai penutup. Saat ini besaran bunga/kupon yang ditawarkan pemerintah Indonesia untuk surat utang bertenor 3 bulan, adalah di 7,5 persen hingga 8,3 persen.

Besaran bunga ini terlalu tinggi, sangat keterlaluan. Bandingkan dengan Vietnam yang surat utang bertenor 1 tahun-nya saja, tingkat kupon di kisaran 1,8 persen. Filipina di kisaran 3,4 persen untuk jenis yang sama. Malaysia di 3 persen. Dan Thailand di 1,45 persen. Padahal rating surat utang Indonesia masih lebih tinggi dari Filipina maupun Vietnam.

Sungguh tidak masuk akal, Indonesia harus selalu membayar bunga dua sampai empat kali lipat besarnya dari negara-negara tetangga di kawasan.

Penulis adalah Koordinator Pergerakan Kedaulatan Rakyat.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya