Berita

Pasukan ISIS/Net

Publika

Radikalisme Atau Deislamisasi?

SENIN, 28 OKTOBER 2019 | 14:12 WIB

TERORISME sebagai ideologi global adalah "mainan" Amerika untuk membuat berantakan dunia Islam. Dengan modal tragedi 9/11, semua lawan diruntuhkan dengan bahasa "teroris".

Negara termasuk Kepala Negara di dunia Islam dikendalikan dengan skim kerjasama memerangi terorisme. Musuh dalam bentuk organisasi mesti dibuat agar ada kaitan.

Munculah Al Qaida dan kemudian ISIS. Diskenariokan model kekekerasan yang dilakukan organisasi ini. Klaim atas peristiwa bom bunuh diri, peledakan atau aksi kekerasan lain dilakukan Al Qaida atau penerusnya jejaknya, ISIS. Kerusuhan pun dianggap susupan. Dunia Islam lumpuh di bawah kendali dan hegemoni Amerika.

Indonesia mungkin menjadi bagian dari "permainan" tersebut. Muncul nama-nama seperti Azhari, Nurdin M Top, Imam Samudera, hingga Abu Bakar Baasyir pun dikaitkan. Butuh figur untuk menakut nakuti. Berbagai aksi terjadi dari mulai Bom Bali hingga Bom Panci.

Namanya juga terorisme dan lembaga pun dibentuk dari Densus 88 hingga BNPT. Untuk pencegahan dan penindakan. Tentu besar biaya global yang mesti dibayar. Umat Islam adalah sasaran pelumpuhan karenanya semua berkaitan dengan identitas kemusliman. Doktrin Jihad, "pengantin surga", celana cingkrang, janggut, ataupun hijab.

Kita kini memasuki era modifikasi. Terorisme tak harus dengan ledak-ledakan. Yang lebih murah yaitu dengan ledekan atau celotehan.

Radikalisme adalah ideologi baru yang dipasarkan gencar. Di kampus, Menteri Dikti mengingatkan akan terpaparnya dosen dan mahasiswa oleh radikalisme. Santri dan anak madrasah harus disterilkan sehingga kurikulum yang mengandung sejarah perang dalam Islam harus dihapus.

Birokrasi juga mesti dibersihkan dari anasir anasir radikal. Menteri Agama diberi tugas khusus untuk melawan radikalisme. Radikalisme menjadi "senjata" untuk menaklukan siapa saja. Umat dan agama Islam harus diwaspadai. Ditakut takuti.

Sementara di sisi lain bahaya komunisme dianggap "out of date", liberalisme dan kapitalisme dianggap hanya fenomena ekonomi. Kristen, Buddha, atau Hindu adalah ajaran baik-baik saja yang tidak tergores radikalisme. Hanya Islam yang berbahaya.

Untuk ini dinyatakan bahwa radikalisme lebih bahaya dari komunisme. Sejarah "radikalisme" yang berakar pada gerakan liberalisme progresif di Inggris disimpangkan arah kepada (umat) Islam.

Gerakan pemojokkan Islam dengan isu radikalisme hakikatnya adalah gerakan anti-Islam. Ketakutan yang sangat berlebihan terhadap agama Islam. Islamophobia.

Tentu pendukung sekularisme, kapitalisne, dan komunisme sangat bahagia dengan program ini. Karena sangat menguntungkan misi mereka di Indonesia.

Kuda troya sedang bersiap untuk kelak mengeluarkan pasukan anti-Islam yang menyebar di semua ruang. Deradikalisasi menjadi deislamisasi. Rezim yang seperti ini adalah rezim zalim yang tak berkeadilan dan berkeadaban. Agama dianggap perusuh, candu, atau penghambat kemajuan. Cara pandang klasik yang jahat.

Umat Islam tentu tak setuju pada terorisme dan radikalisme dalam makna destruktif. Merusak lingkungan kehidupan. Islam adalah agama keshalehan dan akhlak yang mulia. Berbuat baik untuk sesama manusia merupakan keyakinan dasar agama.

Tetapi jika dakwah mencegah kemungkaran dianggap radikal, rajin ke Masjid dan menghabiskan waktu untuk memahami Al Quran dianggap radikal, atau berjihad menegakkan Agama dan hukum Allah pun dianggap radikal, maka biarlah umat Islam rela disebut kaum yang radikal.

Tapi jangan salahkan jika umat dengan pemahaman seperti itu diganggu dan dilarang-larang, maka umat Islam akan melawan hingga titik darah penghabisan.

Penguasa zalim adalah musuh abadi umat. Pilihan hanya dua, Anda wahai penguasa zalim yang hancur atau umat yang akan berguguran syahid membela keyakinan agamanya.

Dan Allah lah yang menjadi penolong, bukan para penjilat dunia.

M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik dan Keagamaan

Populer

Seluruh Fraksi di DPR Kompak Serang Kejagung soal Tom Lembong

Rabu, 13 November 2024 | 18:01

Kapolri Mutasi 55 Pati dan Pamen, Ada 3 Kapolda Baru

Selasa, 12 November 2024 | 23:52

Berkinerja Buruk, Kadis Parekraf Layak Diganti

Rabu, 13 November 2024 | 00:20

"Geng Judol" di Komdigi Jadi Gunjingan sejak Bapak itu Jabat Menteri

Rabu, 06 November 2024 | 07:53

Dedi Prasetyo Dapat Bintang Tiga jadi Irwasum, Ahmad Dofiri Wakapolri

Selasa, 12 November 2024 | 22:50

Tak Terima Dikabarkan Meninggal, Joncik Laporkan Akun Facebook "Lintang Empat Lawang" ke Polisi

Kamis, 07 November 2024 | 06:07

Musa Rajekshah Dorong Pemetaan Potensi dan Keunggulan Desa

Kamis, 07 November 2024 | 21:43

UPDATE

Pria Gagal Nyaleg Sampai Nekat Bunuh Diri Depan MA Brasil

Jumat, 15 November 2024 | 14:03

Ijazah Pesantren Harus Diakui Negara Tanpa Syarat

Jumat, 15 November 2024 | 13:55

Rumah Tokoh Asal Riau Dilelang Bank Gara-gara Debiturnya Ngemplang Kedit

Jumat, 15 November 2024 | 13:54

Indonesia Dorong Pengoptimalan Pemanfaatan IK-CEPA untuk Tingkatkan Kinerja Perdagangan

Jumat, 15 November 2024 | 13:45

Pemprov DKI Pastikan Program Bansos Tak Berkaitan dengan Dukungan Pilkada

Jumat, 15 November 2024 | 13:36

Dipimpin Puan, Rapat Persiapan Uji Kelayakan Capim KPK Tertutup

Jumat, 15 November 2024 | 13:36

Dialog Kebangsaan Hari Pahlawan: Jejak Sejarah Lagu Indonesia Raya dan Inspirasi Membangun Nasionalisme

Jumat, 15 November 2024 | 13:31

Regulasi IPS Biang Kerok Kemurkaan Peternak Sapi Perah

Jumat, 15 November 2024 | 13:19

Permintaan Baterai Naik, Komatsu Jepang Tingkatkan Investasi di AS

Jumat, 15 November 2024 | 13:01

Citra Kejaksaan Bisa Terpuruk Jika Tidak Koreksi Diri

Jumat, 15 November 2024 | 12:59

Selengkapnya