Berita

Nadiem Makarim/Net

Dahlan Iskan

Adem Please

SABTU, 26 OKTOBER 2019 | 05:07 WIB | OLEH: DAHLAN ISKAN

SUDAH terbukti sejak zaman Romawi. Sampai Dinasti Tang. Pun sampai kekhalifahan Abbasyiah. Dan Orde Baru. Dan banyak contoh lagi.
 
"Kemajuan ekonomi dan kemakmuran rakyat hanya bisa terwujud di masa ketenangan dan kedamaian yang panjang".
 
Usrek yang terjadi lima tahun terakhir membuat momentum untuk maju hilang.
 

 
Terbentuknya kabinet baru, dengan komposisi seperti itu, saya tafsirkan secara khusus: Presiden Jokowi ingin kerukunan. Kedamaian. Agar tidak usrek terus. Selama lima tahun ke depan.
 
Semua dirangkul, yang bisa dirangkul. Secara kualitas perorangan banyak yang bukan terbaik. Tapi tidak masalah. Asal kompak. Lalu  masyarakatnya rukun dan damai.
 
Sudah terbukti pula: terlalu banyak bintang di satu tim justru tidak bisa kerja. Hanya lebih banyak perang bintang, di dalam tim itu sendiri.
 
So, apa saja sumber yang kira-kira membuat ketidaktenangan ke depan?
 
Saya hanya bisa menilai dari jauh. 10 hari terakhir saya keliling Xinjiang, provinsi Islam di Tiongkok. Lalu ke Hangzhou: mengantar Icha, cucu tersayang. Itulah cucu pertama. Yang ingin masuk SMA di Hangzhou. Atas keinginan sendiri. Setelah SD dan SMP-nya di Al Azhar International Surabaya.
 
Hari ini saya tiba di Hongkong. Akan beberapa hari di sini. Ketemu beberapa pihak.
 
Dalam perjalanan itu saya merenungkan: di mana saja kekisruhan akan terjadi. Yang akan bisa membuat heboh-heboh lagi.
 
Nomor urut satu adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Yang menterinya dijabat millennial kondang: Nadiem Makarim.
 
Siswa didik mungkin sangat bangga mendengar nama itu. Bisa sekalian jadi idola mereka. Inspirasi anak muda. Bisa jadi gantungan masa depan yang lebih cerah.
 
Di mana letak potensi keusrekannya?
 
Saya melakukan apa yang biasa dilakukan sebuah tim manajemen: analisa persoalan potensial.
 
Gunanya untuk mengetahui persoalan masa depan. Sejak masih dalam bentuk potensi.
 
Potensi persoalan itu bukan soal istrinya yang Katolik taat. Sampai anak-anaknya ikut agama ibunya.
 
Bukan juga soal bahwa Nadiem adalah berdarah Arab. Anak dari Nono Anwar Makarim. Salah satu mentor saya di awal karir menjadi wartawan. Nono ikut menyiapkan masa depan saya.
 
Persoalan itu akan datang dari tuntutan yang berlebihan. Dari keinginan yang terlalu cepat. Untuk melakukan perombakan yang drastis. Di bidang pendidikan.
 
Ketika muda dulu saya juga selalu jengkel dengan perubahan yang lambat. Saya rombak apa pun dengan cepat: hasilnya luar biasa. Korbannya juga banyak.
 
Tapi perahu yang saya kemudikan saat itu perahu kecil. Ibarat mobil kelas Hyundai Elantra. Mudah diajak belok-belok. Kadang harus mendadak balik arah. Kesalahan pun segera bisa diketahui. Untuk dibuat keputusan baru --yang berlawanan arah sekali pun.
 
Tapi Kemendikbud adalah perahu yang amat besar. Barangkali terbesar dalam birokrasi Indonesia. Ia adalah kelas Titanic. Yang kalau dibelokkan mendadak bisa oleng. Penumpangnya bisa mabuk semua.
 
Mengemudikan kapal raksasa seperti itu kepintaran saja tidak cukup. Populer saja belum bisa. Ia perlu kebijakan. Perlu kematangan.
 
Tukang gebrak saja juga tidak bisa. Kurang gebrak apa Ahok. Sampai saya terkagum-kagum. Sampai saya mengakui kalah berani.
 
Tapi perahu yang dikemudikannya tidak bisa dibelokkan dengan gebrakan kemudi. Itulah realitas masyarakat kita.
 
Karena itu baiknya kita memberi waktu padanya. Jangan terlalu cepat memberikan tuntutan.
 
“Kita” yang saya maksud adalah kelompok-kelompok masyarakat.
 
Saya ikuti di medsos. Banyak tuntutan yang berlebihan. Bahkan bernada ekstrem.
 
Itu bisa membuatnya tertekan. Bisa merangsangnya membuat putusan yang potensial oleng.
 
Misalnya: ada tuntutan agar Nadiem berani menghapus masjid-masjid di lingkungan sekolah negeri.
 
Mungkin maunya tuntutan itu seperti di Amerika. Atau negara maju lainnya. Agama dan simbol agama tidak boleh masuk lembaga negara.
 
Tuntutan seperti itu bagus saja. Tapi berlebihan. Punya potensi usrek yang tidak habis-habisnya.
 
Terlalu cepat: minggu pertama kerja Nadiem sudah menghadapi dua tuntutan yang serba ekstrem.
 
Tapi Nadiem pasti tahu bagaimana harus bersikap. Ia sudah sangat matang. Sudah biasa mendapat tekanan besar, dalam menjadikan perusahaan baru menjadi yang terbesar di Indonesia.
 
Tapi Indonesia bukan sebuah perusahaan. Kita perlu tenang, untuk bisa berdagang, untuk bisa membangun.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

RUU Koperasi Diusulkan Jadi UU Sistem Perkoperasian Nasional

Rabu, 17 Desember 2025 | 18:08

Rosan Update Pembangunan Kampung Haji ke Prabowo

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:54

Tak Perlu Reaktif Soal Surat Gubernur Aceh ke PBB

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:45

Taubat Ekologis Jalan Keluar Benahi Kerusakan Lingkungan

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:34

Adimas Resbob Resmi Tersangka, Terancam 10 Tahun Penjara

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:25

Bos Maktour Travel dan Gus Alex Siap-siap Diperiksa KPK Lagi

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:24

Satgas Kemanusiaan Unhan Kirim Dokter ke Daerah Bencana

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:08

Pimpinan MPR Berharap Ada Solusi Tenteramkan Warga Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:49

Kolaborasi UNSIA-LLDikti Tingkatkan Partisipasi Universitas dalam WURI

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:45

Kapolri Pimpin Penutupan Pendidikan Sespim Polri Tahun Ajaran 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:42

Selengkapnya