Berita

Perdana Menteri Britania Raya, Boris Johnson/BBC

Dahlan Iskan

Boris Brexit

RABU, 31 JULI 2019 | 05:15 WIB | OLEH: DAHLAN ISKAN

Do or die.
 
Orang Surabaya akan pilih 'or'.
 

Tapi Boris Johnson orang Inggris. Kelahiran New York. Ayah kakeknya orang Turki. Ibunya Amerika. Kakek ibunya Rusia. Siapa laginya gitu orang Yahudi.
 
Islam, Kristen, Komunis, dan Yahudi menurunkan darahnya ke perdana menteri baru Inggris ini.
 
Mantan wartawan eksentrik ini akan bikin halloween sendiri --tanggal 31 Oktober nanti: yang tidak hanya menakutkan anak-anak.

Do or die.
 
Anggota kabinet barunya sudah dibaiat: tidak akan ada yang beda pendapat.

Di hari halloween itu nanti Inggris sudah harus keluar dari Uni Eropa. Dengan atau tanpa 'kesepakatan bagaimana cara pisahnya'. Termasuk siap membayar denda triliunan rupiah. Sebagai konsekuensi meninggalkan persatuan. Tanpa kesepakatan.
 
Pokoknya pisah.
 
Itulah pelaksanaan hasil referendum dua tahun lalu. Meski menangnya hanya kurang satu persen.
 
Jayakah Inggris setelah itu? Ataukah sebaliknya?
 
Boris Johnson terus menebar optimisme. Sambil mengejek pihak yang pesimistis. "Inggris akan menjadi negara yang terkuat di dunia," katanya.

Ia memang ada sedikit nge-Trump-nya.
 
"Inggris akan segera memasuki era emas," katanya. "Bersih, hijau, makmur, bersatu, percaya diri, dan penuh ambisi," tambahnya.
 
Orang senang mendengar retorikanya. Yang ada nada jenakanya. Setidaknya punya nilai hiburan.
 
Tapi orang Skotlandia tidak suka Johnson. Sebagian rakyatnya justru ingin memisahkan diri dari Inggris. Dua kali referendum. Tinggal kalah tipis.
 
Tapi dengan tampilnya Johnson bisa lain lagi. Misalkan ada referendum lagi bisa pisah beneran. Saat referendum Brexit Skotlandia tetap ingin bersama UE.
 
Dua hari lalu Johnson ke Skotlandia. Ia diteriaki masyarakat. Diejek-ejek. Sampai harus pulang lewat pintu belakang.
 
Johnson masih akan ke Wales dan Irlandia Utara. Untuk meyakinkan langkahnya. Dan untuk menggalang persatuan Inggris Raya.
 
Hasilnya negatif.
 
Kemarin mata uang Inggris jatuh. Terdalam. Selama 2,5 tahun terakhir. Satu poundsterling menjadi nyaris sama dengan satu euro.
 
Tiga bulan lagi Inggris pemilu. Kalau sampai Johnson kalah  selesailah. Johnson akan dikenang sebagai perdana menteri dengan masa jabatan terpendek.
 
Banyak pesimistis. Mereka meramal ekonomi Inggris akan turun 8 persen. Selama 15 tahun ke depan. "Sekarang ini 80 persen bahan makanan datang dari Uni Eropa. Yang ada di supermarket itu," tulis Financial Times Senin lalu.
 
Tapi menakutkan betul ya tidak. Beda dengan menjelang referendum dulu.
 
Saat itu ada yang meramalkan begini: begitu pro-Brexit menang ekonomi Inggris akan langsung krisis. Lebih berat dari krisis tahun 2008.
 
Nyatanya baik-baik saja. Dua tahun terakhir ekonomi Inggris tetap tumbuh. Bahkan lebih tinggi dibanding pertumbuhan rata-rata anggota UE.
 
Jelasnya kita lihat seminggu lagi.
 
Inggris pernah menyadari perlunya menyatu dengan Eropa. Sejak zaman Churchill dulu. Dalam menghadapi Hitler dulu.
 
Churchill pernah mengusahakan sungguh-sungguh: agar Prancis dan Inggris menjadi satu negara. Bahkan sebaiknya seluruh Eropa jadi satu negara. Ide dasarnya: agar setara dengan Amerika Serikat dan Uni Soviet.
 
Waktu itu belum tampak tanda-tanda Tiongkok bisa keluar dari kemiskinan akutnya.
 
Ide itu menjadi kenyataan. Hampir 50 tahun lalu. Inggris dan seluruh Eropa bersatu dalam Uni Eropa. Tanpa visa. Tanpa tarif. Tanpa batas. Orang Inggris tidak ditanya akan ke mana. Untuk berapa lama. Di seluruh Uni Eropa.
 
Tahun lalu 55 juta kali keberangkatan orang Inggris ke Eropa. Dengan bebasnya. Yang mulai Halloween depan harus menggunakan prosedur baru. Yang belum juga jelas seperti apa prosedur itu.
 
Belum banyak reaksi dari para pemimpin Eropa. Sebagian masih cuek-bebek. Masih beranggapan koar-koar Boris Johnson itu hanya untuk konsumsi dalam negeri. Untuk memperkuat posisi politiknya.
 
Tapi siapa tahu beneran: do or die. Akan terlaksana.
 
Dulu kan juga begitu. Ketika Trump galak di masa kampanye. Banyak yang mengira Trump akan realistis --setelah terpilih. Nyatanya tetap nge-Trump.
 
Apalagi luasan wilayahnya. Kecil sekali. Lebih-lebih kalau Skotlandia keluar dari Inggris Raya. Yang jelas menjadikan Inggris kembali yang terkuat di dunia berlebihan. Ekonomi Inggris hanya 22 persen ekonomi UE. Hanya 20 persen ekonomi USA. Hanya separuh ekonomi Tiongkok.
 
Belum lagi sumber dayanya. Minim sekali.
 
Inggris memang pernah menjadi yang terkuat di dunia: 300 tahun lalu. Tepatnya saya tidak tahu --saya belum lahir saat itu.

Populer

Polemik Jam Buka Toko Kelontong Madura di Bali

Sabtu, 27 April 2024 | 17:17

Kaki Kanan Aktor Senior Dorman Borisman Dikubur di Halaman Rumah

Kamis, 02 Mei 2024 | 13:53

Bey Pastikan Kesiapan Pelaksanaan Haji Jawa Barat

Rabu, 01 Mei 2024 | 08:43

Pj Gubernur Jabar Ingin Persiapan Penyelenggaraan Ibadah Haji Sempurna

Kamis, 02 Mei 2024 | 03:58

Kantongi Sertifikasi NBTC, Poco F6 Segera Diluncurkan

Sabtu, 04 Mei 2024 | 08:24

Bocah Open BO Jadi Eksperimen

Sabtu, 27 April 2024 | 14:54

Ketua Alumni Akpol 91 Lepas Purna Bhakti 13 Anggota

Minggu, 05 Mei 2024 | 17:52

UPDATE

Menag Cek Persiapan Akhir Layanan Jemaah Haji di Arab Saudi

Selasa, 07 Mei 2024 | 02:05

Baru Kantongi 100 Ribu KTP, Noer Fajriensyah Ngebet Maju Pilgub Jakarta

Selasa, 07 Mei 2024 | 02:02

Politikus Perempuan di DPR Diprediksi Bertambah 10 Orang

Selasa, 07 Mei 2024 | 01:29

PDIP Tancap Gas Godok Nama-Nama Calon di Pilkada 2024

Selasa, 07 Mei 2024 | 01:26

Pemprov DKI Tak Serius Sediakan TPU di Kepulauan Seribu

Selasa, 07 Mei 2024 | 01:00

Subholding Pelindo Siap Kelola Area Pengembangan I Bali Maritime Tourism Hub

Selasa, 07 Mei 2024 | 00:40

Ridwan Kamil-Bima Arya Berpeluang Dipromosikan 3 Parpol Besar di Pilgub Jakarta

Selasa, 07 Mei 2024 | 00:32

DPRD DKI Terus Dorong Program Sekolah Gratis Direalisasikan

Selasa, 07 Mei 2024 | 00:24

Buku "Peta Jalan Petani Cerdas" Panduan Petani Sukses Dunia Akhirat

Senin, 06 Mei 2024 | 23:59

Popularitas Jokowi dan Gibran Tetap Tinggi Tanpa PDIP

Senin, 06 Mei 2024 | 23:11

Selengkapnya