Berita

Menkeu Sri Mulyani/Net

Publika

Sri Mulyani Ternyata Ekonom Kolonial

SENIN, 22 JULI 2019 | 10:16 WIB | OLEH: ARIEF GUNAWAN

INTELEKTUAL Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan marah besar waktu ada ekonom kolonial mengatakan rakyat cukup hidup dengan biaya sebenggol sehari.

Sebenggol sama dengan 2,5 sen gulden sehari. Sangat jauh dari kelayakan hidup saat itu. Apabila digambarkan dengan kesulitan hidup rakyat di lapisan bawah saat ini, sama tertekannya.

Tertekan oleh harga-harga kebutuhan seperti tarif listrik, kontrak rumah, uang bensin, ongkos angkutan umum, biaya pendidikan, dan sembako untuk makan sehari-hari.

Faktanya, saat ini  banyak rakyat di lapisan bawah yang tiga kali sehari hanya mampu makan mie instan sebagai pengisi perut anak-istri.
Hatta, Soekarno, dan lain-lain waktu itu marah sekali. Mereka protes. Soekarno misalnya menulis sebuah artikel berjudul:
“Orang Indonesia Cukup Nafkahnya Sebenggol Sehari?... ”

Menteri Keuangan Sri Mulyani yang merupakan ekonom neoliberal pada dasarnya mewarisi ciri ekonom kolonial. Ekonom yang tidak punya empati dan tidak punya terobosan dalam usaha mengangkat kesejahteraan mayoritas rakyat negeri ini.

Sebagai seorang intelek, Sri dianggap sudah tidak tahu malu meski bertubi-tubi dikritik atas kegagalan sejumlah kebijakannya. Sampai-sampai Profesor Anwar Nasution menyebut Sri sebagai 'Menteri Batok Kelapa', karena 'piawai' dalam urusan mengutang ke pihak asing.

Di zaman Malaise, batok kelapa merupakan atribut tukang minta-minta. Yaitu orang yang lebih suka mengemis karena kemalasan dan tiadanya kehendak menggunakan akal pikiran secara mandiri.

Ada pun Ketua DPR Bambang Soesatyo menyebut Sri Mulyani sebagai 'Sales Promotion Girl IMF & Bank Dunia'. Istilah lain untuknya: High Cost Borrowing Operator, karena untungkan investor surat utang dan selalu kasih bunga utang tinggi kepada para kreditor. Untuk ini Sri mendapatkan pujian dari asing dan aseng.

Sedangkan kepada rakyat kecil Sri Mulyani pungut pajak yang menginjak ala kolonial. Mulai dari pajak pecel lele, pajak lipstik, pajak tasbih, dan pajak produk-produk kecil lainnya.

Van Den Bosch juga ekonom kolonial. Datang ke sini karena Belanda tekor akibat Perang Jawa (1825-1830) dan dibebani utang yang menumpuk.

Rakyat pribumi dipaksa tanam komoditi pangan ekspor. Gula, kopi, teh, dan sebagainya. Petani dipungut pajak, sehingga makin melarat. Tidak ubahnya hari ini.

Van Den Bosch dipuji Ratu. Sementara para bupati komparador pendukung tanam paksa dikasih hadiah dan naik pangkat. Saking girang dan biasa menjilat mereka menyebut Gubernur Jenderal Van Den Bosch dengan sebutan Eyang Romo.

Sri Mulyani juga senang dipuji asing. Padahal rakyat tidak pernah tahu apa prestasi dan keberpihakannya. Apa pengaruhnya terhadap kesejahteraan mayoritas rakyat, dan peningkatan ekonomi nasional selama sekian tahun dia hilir-mudik di kabinet.

Menteri Keuangan dengan ciri ekonom kolonial kalau terus diawetkan bakal mempercepat kebangkrutan Indonesia. Kebijakannya sampai kiamat akan terus meniru Van Den Bosch atau Romusha, yang dalam versi sekarang IMF & World Bank.

Negeri dan bangsa ini butuh tokoh kognitariat (pekerja otak) dengan ciri kemampuan problem solver, patriot, dan berani membela kepentingan mayoritas rakyat. Sebab soal-soal ekonomi ini masalah fatal yang segera menyeret ke dalam kehancuran.

Perekonomian nasional yang makin rusak tak bisa diselesaikan dengan mindset kolonial, IMF & Bank Dunia, sehingga diperlukan terobosan.

Apalagi berlangsung di antara konflik geoekonomi global, di mana mulut sang naga merah siap mencaplok di belakang kita.

Arief Gunawan, Wartawan Senior.

Populer

KPK Ancam Pidana Dokter RSUD Sidoarjo Barat kalau Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

Jumat, 19 April 2024 | 19:58

Pendapatan Telkom Rp9 T dari "Telepon Tidur" Patut Dicurigai

Rabu, 24 April 2024 | 02:12

Sekda Jabar akan Tindak Pelaku Pungli di Masjid Raya Al Jabbar

Rabu, 17 April 2024 | 03:41

Megawati Bermanuver Menipu Rakyat soal Amicus Curiae

Kamis, 18 April 2024 | 05:35

Diungkap Pj Gubernur, Persoalan di Masjid Al Jabbar Bukan cuma Pungli

Jumat, 19 April 2024 | 05:01

Bey Machmudin: Prioritas Penjabat Adalah Kepentingan Rakyat

Sabtu, 20 April 2024 | 19:53

Pj Gubernur Ingin Sumedang Kembali jadi Paradijs van Java

Selasa, 23 April 2024 | 12:42

UPDATE

Tidak Balas Dendam, Maroko Sambut Hangat Tim USM Alger di Oujda

Sabtu, 27 April 2024 | 21:50

Move On Pilpres, PDIP Siap Hadapi Pilkada 2024

Sabtu, 27 April 2024 | 21:50

Absen di Acara Halal Bihalal PKS, Pengamat: Sinyal Prabowo Menolak

Sabtu, 27 April 2024 | 21:20

22 Pesawat Tempur dan Drone China Kepung Taiwan Selama Tiga Jam

Sabtu, 27 April 2024 | 21:14

Rusia Kembali Hantam Fasilitas Energi Ukraina

Sabtu, 27 April 2024 | 21:08

TETO Kecam China Usai Ubah Perubahan Rute Penerbangan Sepihak

Sabtu, 27 April 2024 | 20:24

EV Journey Experience Jakarta-Mandalika Melaju Tanpa Hambatan

Sabtu, 27 April 2024 | 20:18

Hubungan PKS dan Prabowo-Gibran, Ini Kata Surya Paloh

Sabtu, 27 April 2024 | 20:18

Gebyar Budaya Bolone Mase Tegal Raya, Wujud Syukur Kemenangan Prabowo-Gibran

Sabtu, 27 April 2024 | 19:28

Menuju Pilkada 2024, Sekjen PDIP Minta Kader Waspadai Pengkhianat

Sabtu, 27 April 2024 | 19:11

Selengkapnya