Berita

Din Syamsuddin/Net

Publika

Din Syamsudin dan Moralitas Kaum Cendekiawan

SELASA, 02 JULI 2019 | 14:37 WIB | OLEH: SYAHGANDA NAINGGOLAN

DIN Syamsudin, mantan ketua umum Muhammadiyah dua periode, mulai diolok-olok dan dihujat alumni ITB, yang meminta dia turun dari posisinya sebagai anggota Majelis Wali Amanah ITB.

Hujatan ini berlangsung setelah Din mengungkapkan pikiran dan perasaannya atas putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa Pilpres lalu. Poin kritis dia adalah jika rakyat meyakini ada pengabaian nilai moral, bahwa para hakim MK itu patut diduga membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, seperti membenarkan kecurangan, maka rakyat mempunyai hak dan kewajiban melakukan koreksi moral. Lalu, Din mengatakan kesamaan perasaannya pada perasaan rakyat.

Din meminta rakyat menghormati keputusan MK, mencatat adanya kebangkrutan moral bangsa, dan sekaligus meminta kaum intelektual mengeksaminasi keputusan MK tersebut.

Sebagai cendekiawan (muslim), Din telah menempatkan dirinya seperti yang dimaksud Julien Benda (The Betrayel of Intellectuals, 1927), bahwa seorang cendekiawan adalah pengikut kaum filosof dari jaman Aristotles, Plato dlsb, yang tidak menggadaikan diri untuk sekadar mencari keuntungan diri sendiri dengan menipu hatinya. Yakni suara hati harus bebas dari kepentingan sesaat, apalagi material/kekuasaan.

Sebaliknya, kebanyakan intelektual berubah menjadi pencari kenikmatan material, kekuasaan bahkan sebagai provokator kebencian (the intellectual organization of political hatreds).

Sebagai cendekiawan, Din memang terkenal dengan tiga pendekatan politik moralnya yang kuat. Pertama, membangun Islam dengan jalan tanpa kekerasan. Hal ini membuat Din berbeda dengan gerakan-gerakan massa Islam selama ini.

Din mengintrepertasikan yang dibutuhkan umat Islam adalah infrastruktur kebudayaan, seperti pendidikan, perbankan Islami, kewirausahaan, rumah sakit, televisi dan media massa, dan lain lain.

Selama 10 tahun di Muhammadiyah sebagai ketua umum, infrastruktur ini yang digenjot Din. Meski selama 10 tahun dia beroposisi dengan SBY.

Kedua, Din mengembangkan perlawanan terhadap oligarki ekonomi/bisnis dalam menguasai sumberdaya alam. Beberapa kali Muhammadiyah di bawah Din mengajukan amandemen UU, seperti UU Migas dan UU Sumberdaya Air ke Mahkamah Konstitusi, karena perolehan manfaat atas UU itu menguntungkan asing dan komparador lokalnya.

Ketiga, Din membangun kelompok lintas agama baik pada tingkat lokal maupun internasional. Pada tingkat lokal dia pernah terkenal berduet dengan almarhum Hasyim Muzadi sebagai jangkarnya. Sedang dalam skala internasional, membuat Din diminta Jokowi menjadi pejabat setingkat menteri untuk menyelesaikan konflik di Afghanistan dan dunia Islam lainnya.

Terakhir, Din membangun kelompok netral lintas agama, selama Pilpres 2019 berlangsung.

Pendekatan politik moral Din di atas, menjadikannya bapak bangsa yang dihormati.

Dalam konteks ke ITB-an, di mana Din sebagai anggota Majelis Wali Amanah saat ini, dia sebenarnya mirip seperti mantan Rektor ITB, Prof. Iskandar Alisyahbana, ketika tahun 1978 mengutarakan perasaan hatinya berpihak pada aksi mahasiswa ITB melawan Suharto. Padahal resiko yang dihadapinya lebih kuat, yakni rumahnya ditembaki peluru tajam kala itu.

Saat ini, Din juga mengalami tekanan dari sindikasi "pengkhianat intelektual" yang mendorongnya hengkang dari MWA ITB. Bisa jadi terkait juga pemilihan rektor yang sudah dekat.

Namun, sindikasi kejahatan intelektual adalah sebuah bagian dari gerakan totalitarian rezim, yang akan mematikan perbedaan pendapat. Kematian kebebasan dan demokrasi.

Saya meyakini tugas Din Syamsudin lebih besar dari mengurus Institut Teknologi Bandung itu. Sebagai penjaga moral bangsa, yang kita harap dari Din adalah menjaga moral kaum cendikiawan, bukan menjaga kepentingan institusi ITB yang saat ini biasa biasa aja.

Penulis Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Populer

Fenomena Seragam Militer di Ormas

Minggu, 16 Februari 2025 | 04:50

Asian Paints Hengkang dari Indonesia dengan Kerugian Rp158 Miliar

Sabtu, 15 Februari 2025 | 09:54

Bos Sinarmas Indra Widjaja Mangkir

Kamis, 13 Februari 2025 | 07:44

PT Lumbung Kencana Sakti Diduga Tunggangi Demo Warga Kapuk Muara

Selasa, 18 Februari 2025 | 03:39

Temuan Gemah: Pengembang PIK 2 Beli Tanah Warga Jauh di Atas NJOP

Jumat, 14 Februari 2025 | 21:40

Pengiriman 13 Tabung Raksasa dari Semarang ke Banjarnegara Bikin Heboh Pengendara

Senin, 17 Februari 2025 | 06:32

Dugaan Tunggangi Aksi Warga Kapuk Muara, Mabes Polri Diminta Periksa PT Lumbung Kencana Sakti

Selasa, 18 Februari 2025 | 17:59

UPDATE

Kepala Daerah Tidak Ikut Retret: Petugas Partai atau Petugas Rakyat, Jangan Ada Negara Dalam Negara

Minggu, 23 Februari 2025 | 01:27

Ketua DPRA Tuding SK Plt Sekda Permainan Wagub dan Bendahara Gerindra Aceh

Minggu, 23 Februari 2025 | 01:01

Tumbang di Kandang, Arsenal Gagal Dekati Liverpool

Minggu, 23 Februari 2025 | 00:43

KPK Harus Proses Kasus Dugaan Korupsi Jokowi dan Keluarga, Jangan Dipetieskan

Minggu, 23 Februari 2025 | 00:23

Iwakum: Pelaku Doxing terhadap Wartawan Bisa Dijerat Pidana

Sabtu, 22 Februari 2025 | 23:59

Langkah Bupati Brebes Ikut Retret ke Magelang Tuai Apresiasi

Sabtu, 22 Februari 2025 | 23:54

Tak Hanya Langka, Isi Gas LPG 3 Kg di Pagar Alam Diduga Dikurangi

Sabtu, 22 Februari 2025 | 23:42

Dari #KaburAjaDulu hingga #IndonesiaGelap: Belajar dari Bangladesh

Sabtu, 22 Februari 2025 | 23:21

Wartawan Jaksel Pererat Solidaritas Lewat Olahraga

Sabtu, 22 Februari 2025 | 22:58

PLN dan Wuling Siapkan Layanan Home Charging Praktis dan Cepat, Hanya 7 Hari

Sabtu, 22 Februari 2025 | 22:34

Selengkapnya