Berita

Publika

Kepalsuan Demokrasi

KAMIS, 27 JUNI 2019 | 12:25 WIB

PEMILU curang sebenarnya bukan barang baru. Di masa Romawi Kuno, Julis Caesar menoreh sejarah melakukan kecurangan pemilu untuk menduduki posisi kepala administrasi pemerintah pada 60 Sebelum Masehi.

Konstitusi Republik Romawi pada era itu memang cukup kompleks. Penguasa tidak bisa semena-mena memainkan kekuasaan karena sistem politik menjamin adanya check and balance sehingga penguasa tidak bisa main-main apalagi berkuasa selama-lamanya.

Untuk mendapatkan posisit itu, Caesar menghitung dengan cerdik bagaimana mengalahkan Marcus Bibilus - lawannya-  dengan cara yang tampak konstitusional.

Mengakali hal ini  Caesar bersekutu secara diam-diam dengan Pompey, politisi dan jenderal militer muda yang mempunyai network cukup  luas serta berasal dari keluarga politisi kaya-raya dari propinsi Italia. Persekutuan mereka semakin kokoh ketika Caesar menggandeng Marcus Crassus, pengusaha tuan tanah kaya yang dijadikan mesin uang Caesar untuk membiayai kampanye Caesar.

Persekongkolan mereka kemudian dikenal dengan nama the First Triumvirate. Tak langgeng memang, tapi persekutuan  ini  nyaris sempurna, yakni gabungan politisi yang haus kekuasaan, militer dan pengusaha tuan tanah yang kaya. Mereka menggunakan segala rupa strategi, manipulasi dan suap untuk mengalahkan Marcus Bibilus sehingga  mampu mengantarkan Julis Caesar menduduki posisi tertinggi di Republik Romawi.

Cerita soal kecuranggan pemilu memang gurih dan ternyata tak pernah berhenti. Praktek ini tak juga mereda di era modern.  Pemilu di Kongo December 2018, termasuk berwarna. Meskipun bukti kecurangan cukup kuat diajukan ke pengadilan, hasilnya bisa ditebak, rakyat harus  menelan kepahitan menerima Felix Tshisekedi sebagai presiden.

Meskipun ragu dengan hasil pemilu, Amerika dan Uni Eropa serta negara-negara lainpun antri berlomba mengucapkan selamat menyatakan Felix sebagai 'pemersatu' rakyat Kongo yang akan menghadirkan 'kestabilan'. Prioritas negara-negara maju itu tampaknya bukan pada apa yang menjadi keinginan rakyat di bilik suara, tapi lebih pada 'kestabilan' kawasan sehingga kepentingan mereka terjaga.

Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa tak mau ketinggalan, menyerukan rakyat Kongo untuk menerima hasil pengadilan agar konsolidasi demokrasi dapat dilakukan. Konsolidasi? Bagaimana rakyat Kongo bisa terlibat dalam konsolidasi demokrasi ketika pemilu dilaksanakan dengan penuh kecurangan? Pertanyaannya adalah masih adakah demokrasi bagi rakyat Kongo untuk melakukan konsolidasi?

Lantas masih perlukan pemilu dilaksanakan bila hasilnya demikian? Mari kita lihat hasil the World Values Survey periode 2010-2014. Kurang dari separo responden (41,5%) menyatakan setuju pemilu penting bagi sistem demokrasi. Hasil ini menurun 7% dari putaran sebelumnya.

Survey yang dilakukan dalam putaran 2005-2009 mencatat hasil yang lebih baik yakni 52,3%.

Sheema Syah, pemerhati pemilu dunia, menilai pemilu tampaknya mulai kedodoran hilang sinarnya. Kenapa? Padahal sudah jelas, pemilu adalah satu-satunya platform paling demokrasi untuk memilih pemimpin dimana rakyat biasa-biasa tiba-tiba mempunyai 'power' di bilik suara? Tapi benarkah 'power' itu dimiliki rakyat?

Syah tidak terlalu kaget dengan hasil survey tersebut sebab menurut analisanya pemilu di seluruh dunia kini sudah mulai kehilangan makna. Seiring dengan perjalanan waktu, elit menggunakan posisi dan kekuasaaanya secara perlahan menjauhkan rakyat dengan proses pemilu itu sendiri. Walhasil pemilu tak lebih dari uang dan strategi elit untuk menentukan siapa yang terpilih.

Persis strategi yang dimainkan oleh Julis Cesar dalam meraih kekuasaan. Menelikung prinsip demokrasi di Republik Romawi, dan rakyatpun tak lagi punya 'power' dalam bilik suara.

Dalam konteks di Indonesia, irama pemilu curang dan hasilnya tak jauh beda dengan apa yang terjadi di Republik Kongo. Narasi rekonsiliasi ditebar para elit kubu sebelah untuk mengedapankan persatuan, akan tetapi mengecilkan persoalan riil yang melukai rakyat Indonesia yakni kecurangan TSM.

Lantas masih adakah demokrasi yang tersisa? Bila pemilu kemudian hanya menjadi ajang kontestasi elit untuk meraih kekuasaan dan sumber daya. Kehadiran rakyat dibutuhkan untuk mengisi perolehan suara mendapatkan kursi. Maka memang pemilu tak lebih hanya sebuah kepalsuan demokrasi.

Dian Islamiati Fatwa
Wartawan senior

Populer

KPK Ancam Pidana Dokter RSUD Sidoarjo Barat kalau Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

Jumat, 19 April 2024 | 19:58

Ini Kronologi Perkelahian Anggota Brimob Vs TNI AL di Sorong

Minggu, 14 April 2024 | 21:59

Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Resmi Tersangka KPK

Selasa, 16 April 2024 | 07:08

Tim Kecil Dibentuk, Partai Negoro Bersiap Unjuk Gigi

Senin, 15 April 2024 | 18:59

Megawati Bermanuver Menipu Rakyat soal Amicus Curiae

Kamis, 18 April 2024 | 05:35

Diungkap Pj Gubernur, Persoalan di Masjid Al Jabbar Bukan cuma Pungli

Jumat, 19 April 2024 | 05:01

Mau Perang Tapi Kere, Bagaimana?

Senin, 15 April 2024 | 12:34

UPDATE

Kejagung Jangan Goyang Usut Kasus Timah

Rabu, 24 April 2024 | 14:05

Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas KPK

Rabu, 24 April 2024 | 13:58

Nathan Diizinkan Kembali Membela Garuda Muda, Erick Thohir Berterima Kasih kepada Suporter

Rabu, 24 April 2024 | 13:54

Perindo Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran

Rabu, 24 April 2024 | 13:53

Senat AS Loloskan Paket Bantuan Rp1.535 Triliun untuk Ukraina, Israel, dan Taiwan

Rabu, 24 April 2024 | 13:51

Prabowo: Saya Manusia dan Pernah Bikin Salah, Saya Minta Maaf

Rabu, 24 April 2024 | 13:46

Prabowo: Terima Kasih Pak Jokowi

Rabu, 24 April 2024 | 13:46

Anies Respons Sindiran Prabowo soal Senyuman Berat: Biasa Saja

Rabu, 24 April 2024 | 13:45

Ratu Adil Ajak Seluruh Elemen Bangsa Lakukan Rekonsiliasi Nasional

Rabu, 24 April 2024 | 13:29

Pemerintah Australia Resmikan Fase Baru Program Investing in Women di Jakarta

Rabu, 24 April 2024 | 13:26

Selengkapnya