Berita

Romadhon Hapsa Nurrohman/Net

Dahlan Iskan

Nasi Cumlaude

MINGGU, 09 JUNI 2019 | 03:39 WIB | OLEH: DAHLAN ISKAN

HARI itu saya sahur nasi porang. Habis sahur saya baca WA dari nomor tanpa nama. Bunyinya begini:

Alhamdulillah Ananda Hapsa yang dulu Abah bantu sebagai perwalian untuk student loan, kini telah lulus dari jurusan Entrepreneurship Surya University dengan predikat Cum Laude (IPK 3.55).

Berikut terlampir CV Ananda, barangkali dapat membantu pihak yang mencari SDM yang komunikasinya bahasa Inggris, Arab (Jerman: Pasif).



Salam Hormat Ananda
Romadhon Hapsa Nurrohman.

***

Agak lama saya mengingat siapa ia. Soal perwalian? Perwalian seperti apa?

Tapi saya merasa tidak sopan. Kalau saya mengaku tidak ingat  siapa ia. Tapi saya juga penasaran: kok hebat banget anak ini. Cum laude. Dengan IPK 3,55. Sungguh ingin tahu siapa ia. Dari daerah mana.

Saya carilah ia lewat pertanyaan yang umum dulu. Saya balas WA itu dengan satu pertanyaan pendek: Sekarang Hapsa tinggal di mana?

Jawaban pertanyaan itu mungkin akan bisa membantu saya mengenal siapa ia.

Tapi jawabannya terlalu singkat. "Di Duren Sawit, Jaktim, Abah".

Duren Sawit? Rasanya saya tidak punya jejak apa-apa di Duren Sawit. Kecuali ada kantor PLN di sana. Yang dulu sering saya datangi.

Saya harus pancing lagi dengan pertanyaan berikutnya: “Di Duren Sawit bersama orang tua?”

Itu untuk mengetahui apakah ia anak jalanan dulunya. Memang beberapa anak jalanan saya temukan di Monas dulu. Saat saya masih tiap hari senam di sana. Beberapa berhasil sekolah. Beberapa kabur lagi dari sekolah.

Tapi kalau jawabnya 'bersama orang tua' barulah saya bingung. Hapsa itu yang mana ya? Yang orang tuanya kena PHK itu?

Dan jawab Hapsa ternyata yang kedua itu.

Hanya saja ada tambahan keterangan yang lebih mengaburkan ingatan saya. “Adik saya kuliah di informatika ITS. Kos di Gebang Kidul.”

Tambahan info itu mungkin ia anggap relevan karena saya orang Surabaya. Tapi justru bikin ingatan saya lebih kabur.

Saya belum mau mengaku 'lupa semuanya'. Saya pancing dengan satu pertanyaan lagi.

Yang seperti itu sering saya lakukan pada siapa pun yang kirimWA. Yang tidak menyebut jati diri. Yang namanya di HP saya mungkin terhapus. Akibat saya ganti HP.

Begitu banyak mantan anak buah di PLN atau di BUMN yang kirim WA. Mereka tentu mengira saya masih menyimpan nama dan nomor HP mereka. Saya juga merasa tidak sopan kalau langsung bertanya: siapa ya Anda?

Untuk mengetahui jejak mereka biasanya WA itu saya jawab dengan pertanyaan pancingan: sekarang sibuk apa? Atau sekarang lagi di mana?

Rupanya Hapsa pun bisa menebak kalau saya lagi cari-cari identitasnya.

Hapsa pun bercerita:

“Waktu itu Ananda siswa SMAN 12 Jakarta. Ananda ketemu Abah di lapangan Monas sedang senam. Ananda minta pengajuan perwalian di Surya University. Sebentar Ananda kirim fotonya bersama Abah.”

Nah, ini baru ingat. Sedikit.

Zaman itu kalau saya lagi senam selalu saja ada yang menunggui. Di kejauhan. Tapi dari body language mereka saya tahu: menunggu saya selesai senam. Biasanya ada  seribu urusan yang mereka ajukan.

Di antara mereka itu ada juga yang remaja. Saya lupa nama-nama mereka. Sering ada remaja seperti itu.

Yang Hapsa itu minta dibantu. Ia memenuhi syarat masuk Universitas Surya. Tapi tidak punya uang. Orang tuanya sudah lama bangkrut. Kontraktor bangunan. Ludes.

Semua rumahnya sudah dijual. Demikian juga tanah-tanahnya.  Habis. Tinggal di rumah kontrakan.

Hapsa tidak minta uang.

Ia 'hanya' minta saya sebagai penjamin. Ada pinjaman mahasiswa. Disebut Kredit  Tanpa Agunan (KTA). Yang tidak perlu mengembalikan. Asal: nilainya tinggi terus. Tidak pernah menurun.

Saya tandatangani saja pernyataan penjaminan itu.

Beres. Tidak pernah ada kontak lagi. Saya pun sudah lupa. Tertindih ribuan persoalan yang silih berganti.

Suatu saat bagian keuangan saya, Rina, ditelepon Bank Mandiri. Menagih pelunasan KTA. Rina bingung. Ini pasti penipuan. Tidak mungkin bosnya punya kredit KTA. Untuk apa? Anak-anaknya sudah berumah tangga. Tidak mungkin juga ada anak yang abu-abu.

Waktu ditanya Rina, saya juga sangat tegas: tidak pernah punya pinjaman bank seperti itu. Rina pun ngotot ke bank. Tidak mau bayar.

Bank akhirnya berhasil menemukan dokumen. Yang ada tanda tangan saya. Bahwa saya menjamin KTA seseorang.

Rina kalah bukti. Nilai mahasiswa itu menurun. Sesuai dengan akad kredit, penjamin harus bayar kreditnya.

Ya... bayar saja, kata saya pada Rina.

Meski jumlahnya membuat Rina mencak-mencak.

Saya pikir persoalan selesai. Maksud saya anak, itu akhirnya selesai - - dikeluarkan dari universitas.

Habis itu lupa lagi.

Apalagi begitu banyak 'masalah' yang kemudian harus saya urus siang-malam.

Kalau saja Hapsa tidak kirim  WA habis sahur kemarin saya tidak akan pernah ingat lagi semua itu.

Tentu saya bersyukur Hapsa  ternyata tidak dikeluarkan dari universitas. Bahkan bisa lulus dengan cum laude. Dengan IPK 3,55.

Tapi saat saya sudah hampir selesai menulis naskah ini, muncul penasaran saya: mengapa waktu itu nilainya turun? Sehingga penjamin harus melunasi kreditnya?

Saya pun menghentikan tulisan ini. Untuk mengirim WA ke Hapsa berikut ini:

“Waktu kuliah dulu nilai Anda sempat turun. Kenapa ya?”

Jawabnya:

“Iya Abah, waktu itu manajemen waktu Ananda mungkin kurang baik antara kegiatan akademik, non akademik, dan kegiatan di masjid. Namun dari situ jadi pelajaran dan alhamdulillah setelah itu bisa dijaga kembali nilainya.”

Saya tidak bertanya lebih lanjut. Saya juga tidak menjelaskan konsekwensi atas penurunan nilai itu. Rupanya ia tidak tahu konsekwensi tersebut.

Tapi saya diberi tahu: selama kuliah itu ia memang tinggal di masjid. Untuk menghemat. Ayahnya kian sulit: terkena stroke. Jarak masjid itu 10 menit naik motor dari kampus. Ia masak sendiri di masjid itu. Dengan beras sumbangan dari jamaah masjid.

Selama di masjid itu ia berhasil menghafal 15 juz (separo) Al Quran. Padahal waktu tamat SD Al Azhar 13 Rawamangun dulu baru hafal 1 juz.

Kini Hapsa kembali jualan nasi kotak. Yang dimasak oleh ibunya. Yang resepnya dari neneknya. Sejak ayahnya bangkrut ibunya memang jualan nasi. Itu terjadi saat Hapsa masih kelas 2 SMA. "Sambil sekolah saya jualan nasi yang saya bawa dari rumah," kata Hapsa.

Setelah tamat jurusan kewirausahaan dengan nilai cumlaude ini Hapsah kembali jualan nasi. Tapi caranya sudah ia permodern. Sudah punya aplikasi internet: makanmentes.com.

Jualan nasi tentu satu jalur dengan mata kuliahnya.

Meski begitu banyak juga orang sukses di luar ilmu yang dipelajarinya.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Aliran Bantuan ke Aceh

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:08

Korban Bencana di Jabar Lebih Butuh Perhatian Dedi Mulyadi

Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:44

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

UPDATE

UNJ Gelar Diskusi dan Galang Donasi Kemanusiaan untuk Sumatera

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:10

Skandal Sertifikasi K3: KPK Panggil Irjen Kemnaker, Total Aliran Dana Rp81 Miliar

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:04

KPU Raih Lembaga Terinformatif dari Komisi Informasi

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:41

Dipimpin Ferry Juliantono, Kemenkop Masuk 10 Besar Badan Publik Informatif

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:13

KPK Janji Usut Anggota Komisi XI DPR Lain dalam Kasus Dana CSR BI-OJK

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:12

Harga Minyak Turun Dipicu Melemahnya Data Ekonomi China

Selasa, 16 Desember 2025 | 11:03

Kritik “Wisata Bencana”, Prabowo Tak Ingin Menteri Kabinet Cuma Gemar Bersolek

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:56

Din Syamsuddin Dorong UMJ jadi Universitas Kelas Dunia di Usia 70 Tahun

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:54

Tentang Natal Bersama, Wamenag Ingatkan Itu Perayaan Umat Kristiani Kemenag Bukan Lintas Agama

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:46

Dolar AS Melemah di Tengah Pekan Krusial Bank Sentral

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:33

Selengkapnya