PROPAGANDA ala RUSIA! Kini seolah menjadi istilah yang trend, dikaitkan dengan hangatnya suasana tahun politik.
Diksi tersebut tidak terlepas dari apa yang sebelumnya terjadi pada Pemilu Amerika 2016 dengan keterpilihan Trump sebagai Presiden. Disinyalir melalui kekuatan teknologi Rusia-lah, yang membantu pemenangan Trump nyaris tidak terprediksi melalui berbagai survei politik saat itu.
Perdebatan tentang hal tersebut masih menjadi polemik di negeri Paman Sam, dan terus bergulir.
Salah satu yang disebut-sebut sebagai strategi dalam pencapaian Trump dan skema propaganda Rusia adalah
Firehouse of Falsehood, yang dimaknai sebagai semburan kebohongan, secara masif dan terus menerus.
Teknik ini sesungguhnya remake metode ala Goebbels menteri Propaganda Nazi, dengan menggunakan efek manipulasinya. Kebohongan yang diproduksi secara berulang, pada akhirnya menjadi sebuah realitas kebenaran baru.
Pasca Trump, sebutan
Post Truth juga mulai mengemuka, terkait dengan sebuah era yang melepaskan realitas di dalam kubangan kebohongan, khususnya pada ruang virtual dunia maya. Sejatinya jagad online menjadi ruang publik, yang memiliki kemampuan melalui jejaring internet, sehingga dapat meringkas jarak, ruang dan waktu, serta membangkitkan interaktivitas.
Di sini pula letak persoalannya, ruang digital masih mengadopsi sifat anonymous, sehingga ada ruang gelap identitas yang mudah ditunggangi kepentingan tidak bertanggung jawab, berhadapan dengan potensi persebaran dan perluasan informasi yang sistematik dalam viralitas.
Tentu, dalam kajian yang sangat mendasar, situasi kali ini adalah konsekuensi logis dari dampak kehadiran teknologi informasi dalam kehidupan publik.
Perkembangan aplikasi komputasi dengan menggunakan algoritma yang disesuaikan pada cara berpikir manusia sebagai end user, adalah bentuk dari kemajuan perusahaan teknologi dalam mencoba memahami manusia dalam kumpulan big data perilaku online kita melalui keterhubungan internet.
Lalu apa hal terpenting dari persoalan propaganda ala Rusia tersebut? Tentu selain harus dibuktikan, agar tidak menyebabkan
hoax baru, maka hal ini dapat dipahami dalam konteks, bahwa: (a) internet adalah medium bebas nilai, sementara (b) politik merupakan sarana menuju kepentingan kekuasaan.
Dengan demikian, komunikasi pada ranah politik di dunia maya, menjadi sarat kepentingan dan tidak bebas nilai, merupakan bentuk persuasi baik dalam bentuk halus hingga vulgar.
Tanggung Jawab BersamaMasalah hoaks dan termasuk ujaran kebencian -hatespeech cenderung kompleks, maka menjadi teramat penting untuk menganalisis peran stakeholder bangsa ini, terkait mekanisme dalam perangkat kerja hoaks.
Secara jujur perlu kita akui, dan terkonfirmasi melalui
Deception Theory bahwa sekurangnya seluruh manusia di muka bumi ini pernah berbohong, baik dalam jenis dan tingkatan kebohongan yang berbeda-beda, tentu dengan beragam motif penyertanya.
Apalagi di lapangan perpolitikan, janji yang ditebar belumlah tentu hasil yang diperoleh, termasuk dalam kriteria kebohongan lainnya, tidak terkecuali.
Terlebih, imaji dan citra kerap di framing secara hiperbolik, membuat terselubungnya karakter kekuasaan dalam diri polisi dan para elit negeri. Sehingga menjadi penting mengetahui duduk dan peran kita, dalam mencegah perluasan patologi sosial, yang kemudian mulai permisif dalam menoleransi kebohongan, sebagai sebuah cara dan metode guna memperoleh kemenangan.
Di tingkat publik, maka literasi adalah kunci. Melek informasi, melakukan verifikasi, memastikan keberlimpahan data dan informasi di dunia maya tersortir melalui
filter self screening, harus menjadi tata laku.
Pilih dan pilah konten yang memberi pencerahan serta manfaat, terutama bagi diri sendiri serta untuk kepentingan publik bila di posting sebagai update status di sosial media.
Pada tataran media mainstream maupun media online, perlu kembali ke fundamental persoalan kode etik.
Sesuai khittah, fungsi media adalah mendorong pencerdasan kehidupan bermasyarakat, bila kemudian media justru memperkeruh, mengail keuntungan dari kesempitan sosial yang terjadi, sebagai akibat dari polarisasi politik, maka menang jadi arang kalah jadi abu.
Peran pemerintah alias kekuasaan, tentu terbilang besar dengan kemampuan regulasinya. Harus terdapat upaya mengatasi “ruang gema†di dunia digital, karena dalam formula pantulan aspirasi palsu tersebut mudah di distribusi dan di amplifikasi melalui sosial media, tentu regulasi tidak dilaksanakan dengan membatasi kebebasan, tetapi melakukan pengaturan kebijakan terkait.
Prinsipnya adalah keberimbangan dan persamaan secara legal, sehingga hukum menjadi tegak dan bersifat adil, bukan dengan tujuan untuk menggulung kelompok yang berseberangan secara sepihak.
Di banyak kajian media, kurang terdapat tuntutan terhadap perusahaan platform digital media sosial untuk memiliki tanggung jawab sosial. Perusahaan teknologi besar ini, tidak boleh berpikir dalam logika kapital dan komersial, di balik kisruh sosial akibat persebaran hoaks melalui aplikasi tersebut.
Algoritma media sosial, menstimulasi ketertarikan dan mendorong engagement pengguna dengan sensasi kebohongan, serupa dengan barter nominal profit dengan angkara murka. Di titik itu, mereka patut bertindak, bersikap dan turut melakukan upaya secara aktif mencegah kerusakan.
Mati Ketawa Ala RusiaSebelum sampai pada bagaimana tulisan ini terbingkai melalui buku yang pernah dipopulerkan Gus Dur pada 1986 itu, maka ada aspek general yang perlu menjadi panduan utama, yakni etika, sebuah aturan tidak tertulis mengikat nilai, norma dan moralitas sebagai konsensus kebaikan dalam kehidupan bersama, kita perlu kembali merujuk pada etika dalam berbangsa dan berwarga negara.
Pada tingkat yang paling sederhana, ketegangan politik di tahun politik seharusnya tidak menghilangkan kebahagiaan, karena politik memiliki cita-cita ideal dalam mewujudkan kesejahteraan.
Bagaimana rasionalisasi, bila kemakmuran datang bersamaan dengan kesuraman? Bukankah pesta politik harus riang gembira, penuh kebahagiaan? Maha sungguh kita telah kehilangan
sense of humor periode kali ini, secara satire kita telah direcehkan oleh sosial media dan hoaks, kita lantas menjadi budak syahwat kekuasaan, yang diperebutkan serta dipertahankan dengan menggunakan berbagai cara.
Bila tidak segera disadari, maka cepat atau lambat kita akan kehilangan kesejatian kemanusiaan dalam kehidupan bersama, maka populasi hanya dikalkulasi sebagai angka keterpilihan tanpa jiwa.
Untuk itu, sesungguhnya humor mampu mengendorkan sekaligus merelaksasi, memudarkan kebohongan. Pertanyaan terakhirnya, lantas siapa yang kini berbohong? Hati-hati dengan telunjuk mu, karena satu jari menunjuk lawan, justru seluruh jari lainnya menunjuk pada diri sendiri. Waspadalah!
[***]
Yudhi HertantoProgram Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid