Rizal Ramli usai diminta penjelasan sebagai ahli oleh KPK terkait kasus BLBI, 3 Mei 2017/Net
Ekonom senior DR Rizal Ramli mengirim hak jawab dan hak koreksi kepada harian Media Indonesia (MI). Dalam hak jawabnya Rizal menyatakan editorial MI menuduhnya tanpa fakta.
"Editorial MI edisi Rabu, 30 Januari 2019 secara eksplisit telah asal menuduh tanpa fakta-fakta dan argumen yang memadai," kata Rizal dalam hak jawab yang dikirim ke redaksi MI sore tadi, Kamis (30/1).
Editorial MI yang dimaksud Rizal berjudul "Suluh Cendikiawan". Editorial secara khusus menyoroti cuitan Rizal tentang penerbitan obligasi Pemerintah sebesar US$2 miliar.
Editorial media merupakan sikap resmi media atas satu isu. Menurut Rizal lewat editorial tersebut koran milik Surya Paloh itu menyerang dirinya secara sembarangan sebagai cendekiawan yang menyebar hoax.
Tulisan yang dipersoalkan Rizal antara lain: "Apa yang ditunjukkan Rizal Ramli saat mengkritik Menteri Keuangan terkait dengan utang luar negeri Indonesia ialah contoh bagaimana semangat keilmuan dengan amat gampang direduksi dan dikerdilkan demi menyerang individu, kelompok, dan golongan tertentu. Dalam kasus ini, yang menjadi sasaran ialah pemerintah. Rizal dengan semena-mena menggunakan data lama ketika menuding pemerintah Indonesia akan berutang lagi sejumlah U$$2 miliar dengan imbal hasil sangat tinggi, sebesar 11,625%."
Kemudian pada tulisan: "Belakangan dia memang telah mengakui 'kengawurannya' tersebut karena sebetulnya tidak ada utang baru dengan nilai dan imbal hasil sebesar itu. Akan tetapi, itu tetap tidak bisa menghapus persepsi publik bahwa ternyata seorang pakar juga bisa menjadi penebar hoaks karena memakai basis data yang keliru. Jika terus terjadi, hal seperti itu tentu akan mendegradasi kaum cendekiawan."
Rizal merasa dirugikan oleh editorial asal-asalan yang ditulis MI. Di dalam hak jawabnya, Menko Perekonomian era pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Menko Maritim era pemerintahan Joko Widodo itu menyatakan bahwa dirinya sudah mengakui telah keliru mengutip data tentang utang. Permohonan maaf kepada publik atas kekeliruan tersebut sudah disampaikan Rizal pada kesempatan pertama.
"Tidak ada istilah data lama atau data baru, data tetap data. Tetapi memang ada surat utang sebesar $2 milyar dengan yield 11,6% yang belum semuanya jatuh tempo yang diterbitkan oleh Menkeu Sri Mulyani tahun 2009. Seperti berulang kali kami katakan surat utang Indonesia berbunga sangat mahal, bahwa bunga surat utang Indonesia adalah yang tertinggi di Asia Tenggara dan tertinggi ke-3 di Asia Pasifik setelah Pakistan dan Sri Lanka," tulis Rizal.
Soal tingginya bunga surat utang Indonesia, Rizal mengingatkan, hal itu sudah dikonfirmasi Menko Perekonomian Darmin Nasution. Pernyataan Darmin ini ditulis banyak media.
Adalah fakta, lanjut Rizal dalam hak jawabnya, bahwa yield surat utang sebesar 11,6% yang diterbitkan periode Maret tahun 2009 dan jatuh tempo Maret 2019 dikeluarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani yang doyan menerbitkan obligasi dengan yield sangat tinggi.
"Bahwa selama dua kali Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan (periode Presiden SBY dan saat ini), surat utang yang diterbitkannya selalu terbilang tinggi, bahkan tertinggi di kawasan ASEAN, mengalahkan Vietnam dan Filipina yang rating surat utangnya berada di bawah Indonesia," tulis Rizal lagi.
Rizal pun menyinggung soal perlunya penegakan hukum atas kebijakan tersebut karena berpotensi merugikan negara dan rakyat Indonesia sebagaimana diatur Pasal 2 (1) UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal itu menyebutkan bahwa "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
"Pesan yang ingin saya sampaikan adalah, sudah saatnya ada upaya sungguh-sungguh untuk mencegah pejabat negara membuat kebijakan yang dapat merugikan perekonomian negara. Pada saat yang sama, sudah saatnya pula Pasal 2 UU Nomor 31/1999 ditegakkan dengan cara menyeret pejabat yang bersangkutan ke ranah hukum," demikian kata Rizal dalam hak jawabnya.
[dem]