TEMA yang disediakan KPU untuk penyampaian visi-misi pasangan capres dalam sesi debat perdana 17 Januari 2019 adalah Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme. Waktu yang disediakan KPU sangat terbatas. Publik penasaran dengan poin-poin visi-misi yang disampaikan kedua paslon capres tersebut. Publik belum menangkap dan memahami secara jelas dan konkrit apa yang telah disampaikan.
Publik ingin tahu, untuk lima tahun ke depan, apa yang akan dikakukan sebagai tindak lanjut dari visi-misi jika salah satu dari paslon diamanahkan mengelola negara ini.
Kurangnya waktu yang tersedia untuk para paslon capres-cawapres menyampaikan pemaparan visi-misi di bidang hukum, HAM, korupsi, dan terorisme, menimbulkan kekecewaan dari sebagian kalangan. Salah satu yang kecewa adalah Wakil Ketua KPK La Ode M Syarif. Apa saja formula dan strategi dari kedua paslon dalam hal penegakan hukum korupsi belum jelas dielaborasi
Publik tentu ingin mengetahui arah dan formula yang akan dilakukan secara tepat di bidang Hukum, HAM, Korupsi, dan Teroris. Sebab permasalahan penegakan hukum, hak asasi manusia, pemberantasan korupsi dan masalah teroris, masih menjadi problem mendasar negeri ini.
Sebut saja dalam beberapa kejadian terakhir ini, publik dibuat terkejut dengan rencana pembebasan terpidana teroris Ustaz Abubakar Ba’asyir (UAB) dengan dalih kemanusiaan. Belakangan pembebasan tersebut menuai kontroversi banyak pihak. Meskipun dibatalkan, banyak yang menyesalkan alasan dibalik pembebasan terpidana teroris tersebut lebih pada motif politik pencitraan semata Presiden Jokowi.
Demikian juga dalam konteks penegakan huhukum korupsi. Pada saat publik dihebohkan dengan pembebasan UAB, publik dibuat kaget, karena beberapa hari sebelumnya, pemerintah membebaskan terpidana koruptor Bank Century Robert Tantular. Padahal masa tahanan Robert Tantular belum berakhir.
Terhadap dua kejadian ini, tentu membuat masyarakat bertanya-tanya soal visi misi yang disampaikan kedua paslon capres. Apalagi capres Pak Jokowi yang terlihat sangat berapi-api dalam menjawab dan menyampaikan visi misinya di bidang hukum, HAM, korupsi dan terorisme.
Sementara pada waktu yang bersamaan, apa yang disampaikan Pak Jokowi berbanding terbalik dengan kebijakannya, terutama dalam membebaskan kedua terpidana tersebut. Wajar bila publik meragukan visi-misi yang disampaikan oleh Pak Jokowi. Apakah kelak Visi-Misi tersebut bisa untuk direalisasikan?
Sementara itu, visi dan misi dari paslon capres Prabowo di bidang hukum, HAM, korupsi dan terorisme, tentu belum saatnya untuk kita menguji, apakah visi-misi tersebut bisa direalisasikan. Sebab paslon capres nomor 02 ini belum pernah menjabat. Namun dari apa yang disampaikan, dapat kita pahami bahwa visi-misi dari paslon 02 mampu menyentuh permasalahan mendasar dari penegakan hukum saat ini.
Paslon Prabowo-Sandi dalam visi-misinya mengatakan "kepastian penegakan hukum adalah penguatan terhadap institusi-institusi penegak hukum, seperti hakim, jaksa, dan polisi sebagai prasyarat bagi suatu negara yang berhasil. Untuk itu, apabila kami menerima mandat dari rakyat, maka hal inilah yang akan kami perkuat. Hal ini yang akan kami perbaiki".
Cuplikan singkat dari visi misi paslon 02 tersebut, dapat disimpulkan bahwa Prabowo-Sandi sangat paham betul permasalahan mendasar dalam penegakan hukum saat ini. Prabowo sangat mengerti bahwa, langkah awal penegakan hukum itu dimulai dengan memberikan penguatan dan kepastian hukum kepada lembaga-lembaga penegak hukum.
Kajian hukum terhadap kelembagaan hukum, biasanya ditempatkan pada potret hukum dari perspektif legal structure. Jika kita menggunakan pendekatan teori Loren Frieden tentang Ligal System yang memetakkan persoalan hukum dari tiga aspek. Pertama, tentang legal structure. Kedua, tentang legal substance, dan Ketiga, tentang legal culture.
Untuk legal structure, tentu saja penataan kelembagaan hukum menjadi hal sangat penting dan mendasar. Permasalahan hukum ketatanegaraan kita saat ini cukup banyak. Yang paling mendasar misalnya posisi dan kedudukan kelembagaan legislatif, MPR, DPR dan DPD. Posisi dan kewenangan lembaga-lembaga ini belum jelas, bahkan masih kabur.
MPR kita saat ini fungsinya apa? MPR hanya ada sebagai salah satu lembaga tinggi negara. Namun fungsinya sekedar melantik presiden sekali dalam lima tahun. Selain itu tidak ada. Sekarang MPR ada tugas tambahan, menaosialisasi dan memasyarakatkan Empat Pilar Bangsa.
Begitu juga juga dengan kelembagaan DPD. Hadir dan keberadaannya sebagai perwakilan dari daerah-daerah. Nanun fungsinya tidak begitu penting di Parlemen.
Apa sesungguhnya fungsi dari DPD hari ini? Juga tidak jelas. Apakah eksistensinya hanya sekedar pelengkap kelembagaan di legislatif? Pada akhirnya kelembagaan DPD hanya menambah beban anggaran negara?
Tidak berbeda juga dengan kelembagaan DPR. Saat ini DPR seakan tidak berdaya menjalankan fungsi kontrol terhadap kebijakan dan kinerja eksekutif. Beberapa kali bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL) dinaikkan pemerintah. Namun tidak pernah melalui persetujuan DPR. Entah kemana DPR sembunyi?
Begitu juga dengan berbagai kebijakan luar negeri. Penambahan utang luar negeri yang begitu masif. Perjanjian kerjasama luar negeri begitu banyak. Namun tanpa ada kontrol dari DPR. Entah kemana juga DPR bersembunyi.
Pertanyaannya, mengapa DPR sampai tidak maksimal menjalankan fungsi kontrol? Apakah karena DPR kita disandra dengan berbagai kasus hukum ? Nyatanya DPR kita tidak maksimal melaksanakan fungsi kontrolnya. Akibatnya dominasi kekuasaan hanya terpusat pada eksekutif.
Permasalahan lain yang terkait struktur hukum muncul ketika ada lembaga baru atau komisi baru. Lembaga atau komisi yang baru dibentuk untuk menjalankan tugas dan kewenangan yang sama dengan lembaga parmanen yang telah ada. Misalnya, kewenangan penyidikan dan penuntutan penegakan hukum korupsi.
Kewenangan ini dishare antara Polisi, Jaksa dan KPK. Harapannya dengan pembagian kewenangan penyidikan dan penuntutan ini penegakan hukum kepada koruptor bisa berjalan dengan efektif. Namun sayangnya tidak bisa efektif, karena yang terjadi adalah konflik kewenangan antar lembaga.
Kenyataan seperti ini berakibat penegakan hukum tidak efeltif. Sering terjadi konflik kewenangan jika melibatkan kepentingan kelembagaan. Beberapa contok kasus, pernah kita mengenal istilah Cicak vs Buaya jilid I dan jilid II. Yang terakhir adalah kasus "Buku Merah" yang pada akhirnya disita Polri dari tangan KPK. Belum lagi sejumlah konflik yang terjadi di intenal KPK sendiri dengan tenaga penyidik yang belum tuntas.
Selama kewenangan penyidikan dan penuntutan dalam penegakan hukum korupsi tidak dipertegas, maka selama itu pasti muncul konflik kewenangan antar lembaga. Pada kondisi seperti inilah para koruptor, terutama koruptor kakap yang belum tersentuh oleh hukum tentu sangat senang. Penyebabnya, lembaga yang ditugasi melakukan tindakan penegakan hukum korupsi sibuk mengurus konflik kewenangan.
Masalah lain yang sangat jelas dari penjelasan visi misi Pak Prabowo-Sandi adalah tingkat kesejahteraan aparat penegak hukum. Polisi, Jaksa dan Hakim harus ditingkatkan pendapatan mereka. Gaji mereka harus dinaikkan lagi.
Hakim Bukan PNS Terkait dengan hakim, patut untuk diketahui bahwa permasalahan ini tidak hanya sebatas bagaimana menaikkan tingkat kesejahteraan hakim. Misalnya menaikkan gaji atau tunjangan hakim. Namun lebih dari itu adalah, bagaimana mendudukkan san status hakim sebagai pejabat negara. Hakim bukan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) seperti PNS pada umumnya.
Tugas hakim adalah menjalankan fungsi yudikatif secara bebas dan mandiri. Hakim adalah rumah besarnya lembaga Yudikatif. Sama dengan Legislatif yaitu MPR, DPR dan DPD. Sedangkan rumah besarnya lembaga Eksekutif adalah Presiden dengan para pembantunya.
Pemerintah sekarang seperti kurang perhatian terhadap status dan kedudukan jabatan hakim. Terbukti sampai hari ini RUU Jabatan kakim tidak kunjung disahkan oleh DPR. Padahal pengesahan RUU Jabatan Hakim penting untuk memastikan status jabatan hakim yang ideal.
Apakah ke depan status hakim tetap sebagai pejabat negara? atau pejabat negara tertentu yang berstatus sebagai PNS? Sebab kepastian ini berpengaruh terhadap kesejahteraan dan jaminan perlindungan kepada para hakim secara proporsional.
Profesi Hakim dipandang sebagai officum nobile (manusia yang berprofesi terhormat atau profesi luhur). Makanya di setiap persidangan, hakim disebut dengan sebutan "Yang Mulia". Untuk menjadi seorang hakim, dibutuhkan keahlian khusus dan tanggung jawab besar.
Hakim juga disebut sebagai "Wakil Tuhan" di muka bumi. Karena di tangan dan pundak hakimlah nasib seseorang atau kelompok orang ditentukan. Nasib orang hanya ditentukan melalui ketukan palunya atas nama negara.
Namun, untuk melakoni profesi hakim, tidak jarang penuh godaan bersifat materi. Ancaman dan intervensi hukum juga sering datang dari para pihak yang berkepentingan. Intervensi kekuasaan lain terhadap hakim juga sangat sulit untuk bisa dihindari.
Dengan demikian, Visi-Misi Prabowo-Sandi untuk memperbaiki, meningkatkan serta memperkuat kelembagaan dan institusi penegakan hukum adalah gagasan yang sangat brilian dan realistis. Dari sini tampak bahwa Prabowo-Sandi sangat memahami akar dan dasar permasalahan penegakan hukum kita ke depan.
[***]Dr. Ismail RumadanDekan Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta.