Berita

Publika

Bola Pilpres, Pentingnya Pemain Tandem

RABU, 02 JANUARI 2019 | 13:07 WIB

SELURUH jagat raya mengakui kalau Lionel Messi itu pemain terbaik dunia. Kehebatannya di atas rata-rata pemain. Kalau tidak super hebat, mustahil organisasi bola dunia FIFA menobatkan sebagai pemain terbaik dunia lima kali. Tahun 2009 (FIFA World Player of the Year), 2010, 2011, 2012, dan 2015 (FIFA Ballon d'Or).

Tetapi kehebatan Messi saat main  Barcelona berbeda dengan saat main di tim nasional Argentina. Ibaratnya kalau main di Barcelona pamornya seperti matahari tetapi kalau di Argentina cukup seperti bulan.

Di Barcelona dia memiliki tandem atau pemain penopang yang hebat. Pernah tandem dengan Iniesta. Pernah pula dengan Neymar dan Luis Soarez. Para pelatih tahu persis, seorang pemain super bintang harus memiliki tandem yang kemampuannya tidak jauh. Tanpa itu, akan mudah dijerembabkan.


Contohnya, Gareth Balle. Dia adalah pemain super hebat. Jika tidak, mustahil Real Madrid berani merogoh kocek transfer 94 juta euro, sekaligus menjadi pemegang rekor transfer termahal tahun 2013. Di Real Madrid bintangnya sangat terang karena memiliki tandem hebat seperti Ronaldo, Karem Benzema.

Tetapi begitu main bersama tim negaranya, Wales, sinar Balle redup layaknya poklam yang voltase listriknya drop. Karena, dia tidak memiliki tandem yang nyaris sepadan.

Untuk mengatasi krisis pemain tandem, Maradona, Pelatih Argentina di Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan merekrut pemain gaek Sebastian Veron. Maksudnya, Veron bisa menjadi tandem sang maestro Messi. Karena pemain yang ada seperti Tavez, Aguero, Higuain tidak bisa padu karena salah satu syarat tandem itu harus padu dengan sang maestro.

Ternyata, pilihan Maradona meleset. Veron memang hebat pada masa emasnya, tetapi Veron tidak bisa melawan umur yang sudah memasuki 35 tahun. Fisiknya payah. Ball feelingnya juga sudah menurun. Ternyata juga ada masalah "konflik generasional" dengan Messi dan pemain muda lainnya seperti Di Maria, yaitu persepsi, pola pikir, style. Tim Argentina rapuh dan harus mikul koper setelah dibekuk Jerman 0-4 di babak seperempat final.

Beda dengan Pelatih tim nasional Jerman, Joachim Loew. Dia sadar betul bahwa  Klose pada usia 32 tahun cukup berat untuk bermain konsisten di Piala Dunia 2014.  Alasan usia tua pula Loew tidak memanggil Mario Gomez. Sudah menjadi sunatullah, semakin tua itu semakin rapuh. Ibarat daun, setelah hijau muda, berproses menjadi hijau tua, kemudian menguning.
Daun yang menguning biasanya akan duluan gugur manakala ada guncangan. Lantaran tidak ada striker muda yang lebih hebat, akhirnya tetap memainkan Klose dengan catatan memberikan tandem pemain yang sudah matang,  Mesut Ozil. Komposisi ini membuat permainan Jerman jadi impresif sekali. Seluruh lini hidup.
Maradona

Jika menggunakan metafora bola, Capres Prabowo Subianto itu seperti Klose. Dia memang pemain hebat tetapi belum pernah menjadi  pemain terbaik FIFA. Di Pilpres ini dia mendapat pemain tandem Sandiaga Uno layaknya Klose ditandemkan dengan Ozil.

Saya tidak bermaksud mau mengatakan pasangan Prabowo-Sandi akan bernasib seperti Jerman di Piala Dunia 2014, tetapi duet ini cukup solid dan harus sangat dicermati oleh lawan. Manajer TKN Eric Thohir yang dalam metafora ini sebagai pelatih, harus mencermati dan segera merespon dengan strategi permainan.

Eric tak boleh seperti Pelatih Maradona di Piala Dunia 2010 yang terlambat mereposisi Veron yang menjadi titik lemah tim. Eric memang memiliki Jokowi yang boleh dianalogkan dengan super bintang Messi.  Tetapi jika tandemnya justru jadi titik lemah seperti Veron, harus secepatnya dilakukan perubahan strategi karena tidak mungkin menarik keluar lapangan dan memasukkan pemain pengganti.

Nah, Veron di tim Eric itu justru Ma'ruf Amin. Ibarat dalam bola, Ma'ruf Amin sampai sekitar 45 menit pertandingan ini masih belum menunjukkan performance terbaiknya meski dia juga termasuk pemain hebat. Beberapa kali dia membuat blunder seperti soal mobil Esemka akan dilaunching Oktober, mengatakan Jokowi santri Pondok Pesantren Salafiyah Syafiíyah Situbondo, menyinggung kalangan difabel. Sehingga sering dia dilihat justru menjadi beban Jokowi.

Mestinya Eric mengubah strategi dan taktik permainan seperti Pelatih Carlos Bilardo di Piala Dunia Mexico 1986. Bilardo sudah menduga Pelatih Jerman Franz Beckenbauer akan menugaskan Lothar Matthaeus untuk mematikan Maradona. Maka Maradona ditarik sedikit mundur dengan banyak melakukan pergerakan horizontal, dan mengoperasikan  pemain senior Burruchaga di sayap agak masuk ke dalam.

Jerman jelas tim yang tak bisa diremehkan. Di samping ada pelatih Sang Kaisar yang genius, juga ada sederet pemain bintang seperti kiper Schumacher, Mattheus, Rudi Voller, Karl-Heinz Rummenige. Namun Argentina bisa mengalahkannya  karena faktor  utama  adalah kehebatan Sang Super Bintang Maradona dan strategi jitu Carlos Bilardo.

Eric bisa ibarat Bilardo. Jika Eric memiliki Jokowi, Bilardo memiliki Maradona. Sekarang tantangan bagi Eric adalah bagaimana meramu strategi dan taktik pada separoh waktu pertandingan. Bukan hanya didasarkan perhitungan matematis, otak-atik angka versi lembaga survei, tapi feeling juga harus main.

Nah, mainkan Ma'ruf Amin seperti Burruchaga. Mainkan dia sebagai kiai yang mencerminkan dirinya adalah Ketua Umum MUI, mantan Rais Aam PBNU, dan Mustasyar PBNU.  Memainkan dia sebagai politisi meskipun ini arena pertandingan politik, masih perlu diuji kesahihannya.

Sebagai pelatih Eric memang memiliki otoritas tak terbantahkan dalam menentukan strategi, taktis, komposisi dan lain-lain. Tapi Eric harus belajar kepelatihan ke Beckenbauer, pelatih Brasil Mario Zaggalo. Kedua pelatih ini mengutamakan ketermasing-masingan pemainnya dalam melakukan hubungan interpersonal.

Bagi Zagallo, setiap pemain membutuhkan cara pendekatan yang berbeda. Bebeto hatinya lembut. Dia tidak bisa diperintah dengan keras. Berbeda dengan Roberto Carlos yang keras.

Eric mesti menggunakan pendekatan khusus kepada Ma'ruf Amin. Bagaimanapun Ma'ruf Amin bukan berangkat dari parpol. Dia sudah sepuh. Dia menyandang predikat kiai haji, predikat yang memiliki nilai spiritual tinggi. Ibaratnya  membaca buku yang sudah tua dan lama tersimpan di rak pasti berbeda dengan membaca  bacaan digital model milenial.
Kurang tepatlah jika untuk mengatasi sisi krisis tim itu justru Eric turun merangkap menjadi pemain dengan blusukan ke pasar secara terbuka. Boleh turun ke pasar, ke warung dalam rangka mencari info, menelaah keadaan.

Dalam dunia bola, hampir tidak ada pelatih merangkap pemain. Didier Descham kurang hebat apa waktu jadi pemain timnas Perancis, tetapi dia tidak mau gila merangkap pelatih jadi pemain. Demikian juga pemain dan pelatih jago seperti Beckenbauer, Zidane, Pep Guardiola, Van Gaal.

Mungkin hanya Mario Kempes yang berani menjadi pelatih merangkap pemain pada waktu di Pelita Jaya. Tapi saya yakin, Kempes yang merupakan bintang yang membawa Argentina juara  Piala Dunia 1978 melakukan itu dengan terpaksa untuk jualan nama besar dalam rangka menarik penonton.

Kempes pasti mafhum tugas dan fungsi pemain dengan pelatih itu tidak bisa dirangkap-rangkap. Tugas pelatih itu menganalisis kekuatan dan kelemahan lawan, menyusun strategi, mengoperasikan taktik dan manuver, menyusun komposisi, melakukan antisipasi sekaligus melakukan reaksi cepat.

Sementara pemain itu bagaimana menjalankan instruksi pelatih dengan baik, melakukan improvisasi di lapangan. Hasilnya, Kempes tidak berhasil baik menjadi pelatih maupun pemain.
Anwar Hudijono
Pemerhati Bola

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

Wakil Wali Kota Bandung Erwin Ajukan Praperadilan

Kamis, 18 Desember 2025 | 04:05

Prabowo Diminta Ambil Alih Perpol 10/2025

Kamis, 18 Desember 2025 | 04:00

BNPB Kebut Penanganan Bencana di Pedalaman Aceh

Kamis, 18 Desember 2025 | 03:32

Tren Mantan Pejabat Digugat Cerai

Kamis, 18 Desember 2025 | 03:09

KPID DKI Dituntut Kontrol Mental dan Akhlak Penonton Televisi

Kamis, 18 Desember 2025 | 03:01

Periksa Pohon Rawan Tumbang

Kamis, 18 Desember 2025 | 02:40

Dua Oknum Polisi Pengeroyok Mata Elang Dipecat, Empat Demosi

Kamis, 18 Desember 2025 | 02:13

Andi Azwan Cs Diusir dalam Gelar Perkara Khusus Ijazah Jokowi

Kamis, 18 Desember 2025 | 02:01

Walikota Jakbar Iin Mutmainnah Pernah Jadi SPG

Kamis, 18 Desember 2025 | 01:31

Ini Tanggapan Direktur PT SRM soal 15 WN China Serang Prajurit TNI

Kamis, 18 Desember 2025 | 01:09

Selengkapnya