Berita

Ilustrasi/Net

Politik

Nasionalisme Kita

Catatan Akhir Tahun
RABU, 26 DESEMBER 2018 | 13:51 WIB | OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN

RIZAL Ramli dan Soekarno sama-sama anak ITB yang menghuni penjara Sukamiskin ketika mudanya. Keduanya sama-sama memperjuangkan nasib bangsa kita agar “berdiri sama tinggi, duduk sama rendah” di hadapan bangsa-bangsa lain.

Ini adalah perjuangan dengan isu Nasionalisme, yang orang-orang kebanyakan kurang memahaminya.

Saat ini RR mempersoalkan isu Freeport: Kenapa kita beli? Kan itu punya kita sendiri setelah berakhir kontrak dua tahun lagi?

Lalu orang-orang yang tidak suka pikiran Rizal atau merasa profesor pintar atau merasa Rizal oposisi yang iri sama Jokowi, mengolok-olok Rizal sebagai goblok atau pengkhianat atau iri dan dengki atau tidak faham, dan lain sebagainya.

Soekarno juga dulu mengalami hal yang sama. Kebanyakan elit-elit terpelajar kita pada saat itu puas dengan pemerintah Belanda (Nederlandsch-indie)

Namun bagi Soekarno kepuasaan bersifat relatif. Elit-elit Jawa Boedi Oetomo puas dengan kebebasan mereka berekspresi, berorganisasi dan melakukan kegiatan budaya dan seni.

Pemerintah resmi Belanda waktu itu membuat kebijakan “politik balas budi”, dengan memberi kesempatan kemajuan pribumi melalui pendidikan. Orang-orang pada senang. Sangat baik Belanda ini.

Belanda resmi karena secara legal (hukum) dia resmi. Mereka memerintah karena “Kontrak Karya”.  Bahkan, selama 200 tahun Indonesia menggunakan mata uang Gulden, sama seperti di Amsterdam.

Tapi Soekarno tidak puas. Soekarno mempersoalkan Nasionalisme. Nasionalisme ini tentu mencakup patriotisme, freedom of the people dan kedaulatan.

“Enough is not good enough”. Enough buat Boedi Otomo, more than enough bagi elit-elit dan demang-demang pro Belanda, tapi “not good enough” buat Bung Karno.

Perbedaan Soekarno dengan kebanyakan elit bangsa kala itu adalah soal konsep. Konsep Indonesia menurut Sukarno bukan “Nederlandse-indie” yang berpusat di Den Haag dengan pimpinannya Ratu Jualiana, tapi Indonesia yang dipimpin bangsa sendiri.

Konsep ini kenapa bisa muncul setelah ratusan tahun dijajah?

Entahlah. Bahasan lain.

Sejarah itu memang unik. Sejarah mungkin memihak orang-orang yang dipercayainya. Rakyat itu “makhluk hidup”, mereka “punya mata”.

Kembali ke Rizal Ramli. Dia ini memang makhluk unik juga.

Kenapa RR tidak berunding aja dengan Freeport ketika jadi Menko Perekonomian di era Gus Dur? Atau saat jadi Menko Maritim di pemerintahan Jokowi? Ya, cincai lah, kata orang China. Atau 86, kata preman.

Ketika dia menjabat sebagai Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan jaman Gus Dur, saya ingan membawa Nirwan Bakrie, Latief dan Bambang Rachmadi untuk ketemu dia. Nirwan mau urusan ambil Arutmin, sebagai satu-satunya jalan buat Bakrie hidup lagi.

Latief urusan restructuring utang. Sedangkan Bambang mau mengambil aset-aset BPPN. Untuk Nirwan, OK katanya, mau dibantu Tapi gak usah ketemuan.

Ingat ya, “karena pengusaha pribumi, gak usah pake uang-uang segala.”

Latief? Rizal gak bersedia, dia anggap melakukan korupsi Jamsostek. Bambang Rachmadi, OK. No question. Jadi Rizal memang gak doyan duit.

Ketika saya tanya kenapa dia bisa punya kekayaan sebesar Rp 11 miliar menurut laporan resmi ke KPK (KPKPN) saat menjabat Menko Perekonomoian? Dia bilang itu resmi penghasilan suami dan istri (Alm. Bu Hera).

Menteri gak doyan duit adalah modal utama melawan “kejahatan” korporasi asing. Kejahatan maksudnya karena memang mereka pikir orang-orang kulit sawo mateng seperti kita ini gampang diakali. Tentunya dengan kecanggihan mereka dalam ilmu hukum dan “financial engineering”.

Namun, lebih utama dari tidak doyan duit adalah soal Nasionalisme. Buat pejuang seperti Rizal, tentu mengutamakan kepentingan bangsa berbeda dengan Ginanjar Kartasasmita (andaipun GK gak doyan duit?).

Dalam kasus Kontrak Karya Freeport, GK meminta tolong saya mempertemukan dirinya dengan Beathor Suryadi dan Budiman Sudjatmiko. Ketika kedua yang terakhir menyerang GK soal Freeport tahun 2006 atau sekitar tahun itu.

Budiman tidak ada. GK disaksikan saya dan Jumhur di Summitmas Tower II, menjelaskan bahwa konsesi emas yang dia perjuangkan sudah cukup baik pada KK II. Kalau mau kita ubah, tunggu saja KK tersebut berakhir 2021. Toh sudah punya kita.

Rizal Ramli juga berbeda dengan Luhut B. Pandjaitan, tangan kanan Jokowi.
Sejalan dengan GK, Luhut B Pandjaitan dalam video yang viral di medsos, mengatakan bahwa KK II akan berakhir 2021. Berarti kita bisa aja langsung mengambil Freeport, seperti Blok Mahakam. Tapi ya kita harus menjaga hubungan dengan Amerika.

Rizal tidak berkompromi dengan urusan harga diri bangsa. Dari segi penghasilan negara, penerimaan dari Freeport sebenarnya sangat kecil, 756 juta dolar AS, tidak sampai 10 persen dari cukai rokok (Rp 147 triliun) tahun 2017.

Tapi soal Freeport adalah soal siapa yang atur kekayaan bangsa kita. Disinilah sikap “bahaya” Rizal kepada bangsa asing, khususnya korporasi asing.

Dalam catatan Rizal, bahkan pemilik Freeport (dulu), Jim Moffett mengakui telah menyogok Ginanjar Kartasasmita dan bersedia mengembalikan kompensasi sebesar 5 miliar dolar AS (jauh lebih besar dari utang kita untuk beli Freeport saat ini).

Apakah Rizal Ramli bodoh dan dungu? Dari segi pendidikan, Rizal dan Budi Sadikin (Bos Inalum yang mengambil alih Freeport) sama-sama anak fisika ITB, pengagum teori relativitas Einstein.

Rizal bukan lah orang bodoh. Bukan pula orang doyan duit. Ini hanya sebuah perbedaan konsep, yakni tentang Nasionalisme (dalam artian luas mencakup patriotisme dan freedom serta sovereignty sebuah bangsa).

Ke depan, di era mulai hancurnya globalisme, di era pemimpin-pemimpin nasionalistik seperti Trump, Putin, Xi Jinping, Erdogan, Evo Morales dan lain-lain, sebuah bangsa besar hanya akan muncul dari orang-orang yang berpikir bangsanya nomor satu, lalu urusan “international agreement” nomor dua.

Ini sebuah era baru. Ayo bangkit. [***]


Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Datangi Bareskrim, Petrus Selestinus Minta Kliennya Segera Dibebaskan

Jumat, 24 Januari 2025 | 16:21

Masyarakat Baru Sadar Jokowi Wariskan Kerusakan Bangsa

Senin, 27 Januari 2025 | 14:00

KSST Yakin KPK Tindaklanjuti Laporan Dugaan Korupsi Libatkan Jampidsus

Jumat, 24 Januari 2025 | 13:47

UPDATE

HUT Ke-17 Partai Gerindra, Hergun: Momentum Refleksi dan Meneguhkan Semangat Berjuang Tiada Akhir

Senin, 03 Februari 2025 | 11:35

Rupiah hingga Mata Uang Asing Kompak ke Zona Merah, Trump Effect?

Senin, 03 Februari 2025 | 11:16

Kuba Kecam Langkah AS Perketat Blokade Ekonomi

Senin, 03 Februari 2025 | 11:07

Patwal Pejabat Bikin Gerah, Publik Desak Regulasi Diubah

Senin, 03 Februari 2025 | 10:58

Kebijakan Bahlil Larang Pengecer Jual Gas Melon Susahkan Konsumen dan Matikan UKM

Senin, 03 Februari 2025 | 10:44

Tentang Virus HMPV, Apa yang Disembunyikan Tiongkok dari WHO

Senin, 03 Februari 2025 | 10:42

Putus Rantai Penyebaran PMK, Seluruh Pasar Hewan di Rembang Ditutup Sementara

Senin, 03 Februari 2025 | 10:33

Harga Emas Antam Merosot, Satu Gram Jadi Segini

Senin, 03 Februari 2025 | 09:58

Santorini Yunani Diguncang 200 Gempa, Penduduk Diminta Jauhi Perairan

Senin, 03 Februari 2025 | 09:41

Kapolrestabes Semarang Bakal Proses Hukum Seorang Warga dan Dua Anggota Bila Terbukti Memeras

Senin, 03 Februari 2025 | 09:39

Selengkapnya