Berita

Publika

Situs Arkeologi: Riset Terpadu Untuk Mitigasi Bencana Masa Kini

SELASA, 25 DESEMBER 2018 | 16:39 WIB

BANYAK situs arkeologi di Indonesia yang menjadi saksi bencana masa lalu. Namun riset terpadu intensif belum banyak dilakukan. Salah satu riset terpadu yang penulis lakukan adalah di Situs Gunung Padang, sehingga contoh akan lebih banyak diberikan terkait situs tersebut.
 
Tulisan ini mendesak untuk dibuat karena bencana kini disadari menjadi lembar keseharian hidup bangsa Indonesia. Sebenarnya nenek moyang kita telah mengalami lembaran-lembaran serupa. Maukah kita membuka lembaran masa lalu untuk meningkatkan kesiapsiagaan masa kini dan menjadi acuan perencanaan masa depan?

Situs Gunung Padang menjadi saksi karena terletak di sesar Cimandiri yang dapat menyebabkan gempa bumi. Untuk situs prasejarah ini penulis secara khusus telah menulisnya dalam buku-buku yang berjudul "Situs Gunung Padang: Misteri dan Arkeologi" (2013) dan "Situs Gunung Padang: Menuju Warisan Budaya Dunia" (2018). Dalam buku yang pertama terutama disampaikan mengenai kearifan nenek moyang untuk membuat bangunan monumental yang tahan gempa sehingga mampu bertahan selama ribuan tahun.


Dalam tulisan ini perkenankan penulis mengambil contoh Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) yang mulai melakukan riset tahun 2012. Penulis ada di dalam tim itu sehingga kiranya dapat menjelaskan dengan cukup baik.
 
Sampai saat ini masih banyak yang bertanya mengapa penulis bersedia bergabung dalam TTRM. Inisiator tim adalah Andi Arief. Kini dikenal sebagai politisi militan dan sebelumnya adalah aktivis mahasiswa pada eranya. Penulis turut terlibat sebagai aktivis mahasiswa Reformasi 1998.

Apakah karena sama-sama sebagai aktivis mahasiswa? Sebenarnya periode kami berbeda dan tidak saling mengenal. Andi Arief pada tahun 2012 adalah Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana. Ia menghubungi penulis karena penulis merupakan arkeolog profesional yang juga sering dihubungi oleh para menteri dan sejumlah kepala daerah.
 
Penulis memandang Andi Arief bukan dalam kapasitasnya sebagai aktivis, tetapi sebagai pejabat negara yang turut mengurusi bantuan sosial, misalnya untuk korban bencana. Andi Arief sampai pada kesadaran bahwa diperlukan pengetahuan mitigasi atau kesiapan prabencana yang disusun berdasarkan hasil riset. Bukan hanya jika terjadi bencana, lalu mengirim bantuan kepada para korban.

Penulis setuju bergabung karena yang mengundang adalah institusi berupa lembaga negara. Selain itu, riset mengenai situs arkeologi dari perspektif kebencanaan masa lalu khususnya untuk meminimalisir dampak bencana masa kini merupakan sesuatu yang langka, namun manfaatnya sangat penting.

Patut disampaikan mengenai perspektif atau sudut pandang atau teori yang lazim dikenal dalam arkeologi, misalnya evolusi, religi, manfaat ekonomi, identitas atau jati diri, dan pariwisata yakni menciptakan destinasi. Penulis mempunyai prinsip bahwa janganlah perbedaan kepartaian membuat pertikaian kebangsaan. Peneliti dan ilmuwan mesti terus maju menyuarakan kebenaran berdasarkan hasil penelitian.

Demi Mitigasi Bencana

Sebagai pembaca dan peneliti kitab suci, khususnya Al-Qur'an, penulis tidak asing dengan uraian kepunahan umat terdahulu. Misalnya karena tenggelam di dalam air laut, terbenam di dalam tanah, atau terkena hujan batu, dan terdampak gempa bumi.

Penulis juga pernah meneliti beberapa situs arkeologi khususnya di sekitar Jawa Tengah dan Yogyakarta yang kini terkubur oleh tanah akibat letusan gunung berapi. Oleh karena itu, penulis tidak asing dengan konsep atau perspektif tersebut dan justru mendapat penguatan dari para ahli ilmu lain yang tergabung dalam TTRM.

Para peneliti yang tergabung dalam TTRM dan sebagian sudah penulis sampaikan dalam buku pertama, misalnya Dr. Andang Bachtiar. Mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) ini terutama ahli stratigrafi dan berdasarkan pemahamannya terhadap lapisan-lapisan tanah. Ia mempunyai pandangan mengenai Katastropik Purba, yakni bencana-bencana masa lalu yang dapat memusnahkan peradaban.

Dr. Danny Hilman Natawijaya dari LIPI merupakan ahli gempa bumi ternama yang kepakarannya tidak diragukan lagi. Termasuk pengetahuannya mengenai Sesar Cimandiri dan Sesar Lembang.

Ir. Pon S. Purajatnika merupakan mantan Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jawa Barat yang semakin terkenal karena sketsa imaginernya mengenai Situs Gunung Padang dipakai oleh kalangan luas. Saat ini ia sedang sibuk merancang dan membuat bangunan tahan gempa dengan menggunakan material bambu untuk korban gempa di Pulau Lombok.

Dr. Bagus Endar dari ITB melakukan seismik tomografi di Situs Gunung Padang. Pengetahuannya kini juga diterapkan untuk mencari air bersih dari dalam tanah untuk para korban bencana di Lombok NTB.  Ahli-ahli tersebut kemampuan dan metodologinya telah penulis sampaikan di buku "Situs Gunung Padang: Misteri dan Arkeologi".

Para ahli TTRM yang lain juga masih banyak. Tiga lagi dapat ditambahkan karena belum banyak diulas dalam buku di atas, misalnya Dr. Taqyudin, ahli geografi UI. Taqyudin saat meneliti di Situs Gunung Padang masih mengikuti program doktoral, namun memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai toponimi atau asal usul nama lokasi. Antara lain penggunaan nama lokasi disebabkan oleh suatu peristiwa yang terjadi di masa lalu atau ciri-ciri alam tertentu di lokasi tersebut.
 
Dr. Budianto Ontowiryo ahli dari BPPT yang menghitung perkiraan jumlah batuan yang digunakan untuk menyusun Situs Gunung Padang. Ternyata tahun 2012 bersama koleganya telah mempublikasikan artikel ilmiah mengenai potensi tsunami yang disebabkan oleh letusan Gunung Anak Krakatau.

Dr. Mudrik R. Daryono saat riset di Situs Gunung Padang masih menjadi mahasiswa program doktor dan terlibat banyak dalam menggunakan alat geofisika untuk mendeteksi kondisi di bawah permukaan tanah. Salah satu risetnya sejak tahun 2011 adalah di patahan Palu Koro di Sulawesi Tengah. Patahan Palu Koro telah menyebabkan rentetan gempa besar selama ratusan tahun terakhir ini.

Tanggal 28 September 2018 terjadi gempa besar yang menyebabkan tsunami sehingga banyak menelan korban jiwa untuk daerah Palu dan sekitarnya. Peristiwa likuifaksi atau pencairan tanah yang menyebabkan tanah amblas dan menelan banyak korban jiwa juga memperparah bencana di lokasi ini.

Nenek moyang di wilayah ini sebenarnya telah menyampaikannya dalam bentuk tradisi lisan dengan istilah Nalodo atau lumpur yang menghisap. Lokasi yang rawan Nalodo berada di sekitar sesar Palu Koro yang aktif. Nenek moyang tidak memilih lokasi tersebut sebagai tempat bermukim.

Patut ditambahkan satu nama lagi, Dr. Gegar Prasetya, kini Ketua Ahli Tsunami Indonesia. Pada tahun 2012-2013 dalam rapat penelitian TTRM, ia memperlihatkan simulasi tsunami dengan teknik komputasi kepada penulis.

Potensi tsunami di Selat Sunda, misalnya dapat dibuat simulasi ketinggian gelombang dan pada menit keberapa tsunami tersebut mencapai daerah tertentu.

Dengan seksama penulis mengamati pergerakan air dan dalam hati mengaitkannya dengan Pulau Panaitan yang terdapat arca Ganesha. Anyer yang pernah ditemukan situs prasejarah berupa kerangka-kerangka manusia, dan simulasi menunjukkan gelombang seperti berbelok dan mencapai Kota Serang yang dahulu terdapat Kerajaan Banten kemudian air terus menyebar mencapai Kabupaten Karawang di mana terdapat Situs Percandian Batujaya.

Pemerintah Harus Peduli

Simulasi ini membawa kesadaran kepada penulis untuk tidak mengabaikan faktor tsunami di pesisir timur dan utara Pulau Jawa yang mungkin pada masa lalu menyebabkan bencana di lokasi-lokasi pemukiman atau kerajaan yang kini disebut sebagai situs-situs arkeologi.

Tentu saja itu merupakan simulasi yang belum tentu terjadi. Pembuktiannya mesti dilakukan secara ilmiah. Namun simulasi bencana, seperti halnya simulasi kebakaran dapat digunakan untuk membuat pelatihan kesiapsiagaan, meningkatkan kewaspadaan, dan juga pemasangan perangkat sistem peringatan dini (early warning system) di beberapa lokasi yang memiliki potensi bencana.

Gempa bumi tidak dapat diprediksi kapan datangnya. Demikian pula halnya dengan tanah longsor, banjir, gunung meletus, tsunami, dan beragam bencana lainnya. Namun dengan mempelajari lokasi atau situs arkeologi yang pernah terdampak, rentang terjadinya yang mungkin berulang, dan intensitas kerusakannya. Maka dapat dibuat peta rawan bencana, persiapan mitigasi, budaya termasuk perilaku menyikapi bencana, kemudian perencanaan apa yang boleh dikembangkan dan tidak boleh dikembangkan di lokasi tersebut.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, perlu khusus menambahkan dan menguatkan aspek budaya (AMDAL Budaya). Budaya yang dimaksud, selain budaya benda atau kebudayaan material (material culture) seperti artefak dan situs, juga mencakup budaya takbenda atau kebudayaan mental (mental culture) seperti tradisi lisan, upacara adat, tarian, permainan, musik tradisional yang mengandung nilai atau pesan arif dan luhur, termasuk juga filosofi menyikapi bencana.

Situs arkeologi yang lain sangat banyak dan penulis berharap dapat diteliti oleh pihak lain, sehingga hasilnya bisa segera diperoleh untuk seluruh wilayah Indonesia. Penelitian atau riset yang dilakukan mestilah riset intensif, terpadu, antar instansi, antar disiplin ilmu, melibatkan masyarakat, dan disosialisasikan kepada media massa untuk edukasi kepada publik. Tidak perlu egosektoral, egokeilmuan, dan ego-ego lainnya yang membuat semangat kemanusiaan dan kebangsaan menjadi redup.

Semoga dapat terbentuk Tim Terpadu yang melakukan riset multidisiplin, interdisiplin, transdisiplin yang hendaknya didukung dan diinisiasi pemerintah. Tim ini minimal terdiri atas ahli kebudayaan dan ahli kebumian. Ahli lain seperti ahli sosial dan ahli perencanaan akan lebih baik lagi jika dilibatkan.

Semakin banyak ahli dengan konsep terpadu akan semakin lebih baik. Bayangkan jika di semua daerah terbentuk tim semacam ini. Maka potensi bencana lebih cepat dipetakan, rencana penanggulangan bencana atau mitigasi dapat segera dilakukan, dan perencanaan ke depan dapat lebih sesuai dengan kondisi lingkungan alam dan kearifan lokal atau pengetahuan masyarakat setempat.

Apakah pemerintah punya kepedulian terhadap itu? Harus. Pemerintah bertugas melindungi segenap bangsa Indonesia. Ilmuwan dan peneliti mesti melakukan riset segera karena menyangkut jiwa. Baik jiwa peneliti maupun jiwa sesama manusia. Jika belum mendapat dukungan, maka ilmuwan dan peneliti mesti terus meneliti secara mandiri. Bukan hanya demi pengetahuan, tetapi juga demi kemanusiaan. [***]

DR. Ali Akbar
Arkeolog dari Universitas Indonesia

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

RUU Koperasi Diusulkan Jadi UU Sistem Perkoperasian Nasional

Rabu, 17 Desember 2025 | 18:08

Rosan Update Pembangunan Kampung Haji ke Prabowo

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:54

Tak Perlu Reaktif Soal Surat Gubernur Aceh ke PBB

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:45

Taubat Ekologis Jalan Keluar Benahi Kerusakan Lingkungan

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:34

Adimas Resbob Resmi Tersangka, Terancam 10 Tahun Penjara

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:25

Bos Maktour Travel dan Gus Alex Siap-siap Diperiksa KPK Lagi

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:24

Satgas Kemanusiaan Unhan Kirim Dokter ke Daerah Bencana

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:08

Pimpinan MPR Berharap Ada Solusi Tenteramkan Warga Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:49

Kolaborasi UNSIA-LLDikti Tingkatkan Partisipasi Universitas dalam WURI

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:45

Kapolri Pimpin Penutupan Pendidikan Sespim Polri Tahun Ajaran 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:42

Selengkapnya