Berita

Publika

Amblasnya Jalan Gubeng Ketentuan Pidana Sebagai Ultimatum Remedium

SENIN, 24 DESEMBER 2018 | 06:14 WIB

AMBLESNYA Jalan Gubeng, Surabaya pada Selasa malam (18/12) lalu, di mana pada saat yang sama sedang berlangsung pembangunan area parkir basement Rumah Sakit Siloam telah menimbulkan banyak pertanyaan siapa yang dapat diminta pertanggungjawaban untuk peristiwa ini.

Untuk mengetahui pihak pihak yang semestinya bertanggung jawab maka diperlukan penelusuran fakta fakta lapangan dengan  menurunkan para team ahli agar lebih objektif dan profesional dan pendekatan hukum dibantu dengan menggunakan metode pisau analisis yuridis dengan menerapkan unsur-unsur dalam undang undang terkait dan undang undang khusus guna ditelaah dan mencari kausalitas dari kejadian amblasnya jalan tersebut serta menemukan siapa pelaku yang paling bertanggung jawab.

Jika diperhatikan posisi kasus pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang dikerjakan oleh PT NKE  maka tidak heran sejak awal PT NKE lebih dulu mengatakan akan bertanggung jawab atas peristiwa ini.
 

 
Kondisi Jalan Gubeng yang sudah lebih ada terlebih dahulu yang kini sedang masa tenggang pemeliharaan. Di sisi lain oleh rumah sakit Siloam menugaskan dan menunjuk salah satu kontraktor  PT NKE untuk dibangun sarana parkir rumah sakit yang juga mengeruk tanah yang cukup dalam di mana area pengerukan tanah untuk lokasi parkiran rumah sakit tersebut tidak jauh dari lokasi amblesnya Jalan Gubeng ini.

Maka penyelidikan polisi diperlukan sebagai langkah awal yang tepat dan cepat yang tentunya akan semakin mendapatkan hasil  lebih baik, bila  ditopang dengan tenaga ahli bidang konstruksi untuk mempetakan penyebab amblasnya jalan tersebut.

Dalam UU Konstruksi dikenal istilah kegagalan bangunan. Kegagalan bangunan ini akan ditentukan oleh penilai ahli yang dibentuk menteri. Tim penilai ahli inilah yang akan menelusuri sebab-sebab terjadinya kegagalan bangunan atau jalan serta merekomendasi kepada menteri, pihak-pihak yang akan bertanggung jawab dalam kegagalan konstruksi in case jalan raya Gubeg Surabaya.

Jika hasil temuan penyelidikan polisi disinergiskan dengan hasil investigasi tim penilai ahli ini dipadukan hasil kerjanya tentunya akan lebih maksimal dan komprehensif guna menemukan faktor penyebab dan menemukan pihak yang paling bertanggung jawab jika ada pihak-pihak yang  tidak melaksanakan pekerjaan konstruksi secara tidak standar.

Meskipun setelah perpaduan hasil penyelidikan  polisi plus tenaga ahli penilai kementerian menemukan kesimpulannya, maka yang lebih penting adalah penentuan pertanggungjawaban pada para pihak .

Jika secara hukum kontrak perdata mengacu pada kewajiban, hak dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam perjanjian kontrak konstruksi tidak dijalankan sebagaimana mestinya dan para pihak tidak dapat menyelelesaikan secara sukarela  atas kerugian atau kepentingan hukum pemerintahan kota  Surabaya dan  warga yang tergangggu.

Katakanlah masing-masing pihak saling bertahan untuk tidak mau bertanggung jawab maka ketentuan klausul hukum pidana dapat dijadikan payung hukum untukdijadikan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) agar penerima kerja  dapat bertanggung jawab segera dan dikenakan hukuman penjara plus ganti rugi berupa denda.

Karena untuk diketahui saat ini pasca tahun 2017, politik hukum UU Konstruksi meminimalkan ketentuan pidana bagi pelaku usaha atau penerima kerja.

Pengenaan sanksi pidana ini sekali lagi hanya sebagai upaya terakhir karena pada dasarnya tidak ada satu pelaku usaha atau penerima kerjapun yang ingin pekerjaannya terjadi musibah atau amblas seperti dalam kejadian amblesnya Jalan Gubeng Surabaya ini.

Artinya yang lebih penting dilakukan semua pihak yang disebut dan tercantum dalam undang undamg konstruksi lebih mendorong upaya dan komitmen pemulihan segera yang saat ini sudah dilakukan secara optimal dan multisektor serta maksimal sesuai dengan standard agar terlayani kepentingan masyarakat untuk mendapatkan akses jalan seperti semula kembali. [***]


Dr. Azmi Syahputra SH MH.

Dosen Hukum Pidana Universitas Bung Karno

 

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

RUU Koperasi Diusulkan Jadi UU Sistem Perkoperasian Nasional

Rabu, 17 Desember 2025 | 18:08

Rosan Update Pembangunan Kampung Haji ke Prabowo

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:54

Tak Perlu Reaktif Soal Surat Gubernur Aceh ke PBB

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:45

Taubat Ekologis Jalan Keluar Benahi Kerusakan Lingkungan

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:34

Adimas Resbob Resmi Tersangka, Terancam 10 Tahun Penjara

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:25

Bos Maktour Travel dan Gus Alex Siap-siap Diperiksa KPK Lagi

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:24

Satgas Kemanusiaan Unhan Kirim Dokter ke Daerah Bencana

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:08

Pimpinan MPR Berharap Ada Solusi Tenteramkan Warga Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:49

Kolaborasi UNSIA-LLDikti Tingkatkan Partisipasi Universitas dalam WURI

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:45

Kapolri Pimpin Penutupan Pendidikan Sespim Polri Tahun Ajaran 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:42

Selengkapnya