Berita

Reuni 212/Dok

Publika

Reuni 212 Dalam Perspektif Demokrasi

SABTU, 01 DESEMBER 2018 | 17:40 WIB

DISKURSUS tentang Reuni 212 menyita perhatian media massa, baik cetak, radio, TV, maupun online. Yang lebih seru lagi tentu di media sosial, mengingat media ini tidak memiliki filter maupun kontrol memadai. Karena itu, tidak mengherankan jika perdebatan di media sosial menimbulkan berbagai bentuk insiden dan korban.

Bagi ilmuwan politik, yang lebih menarik untuk dicermati adalah bagaimana perdebatan menyongsong Pilpres kali ini jauh lebih seru dan  lebih keras dibanding pilpres-pilpres sebelumnya. Bahkan sampai mengakibatkan adanya nyawa yang melayani, sesuatu yang tidak pernah kita dengar selama ini.

Perdebatan masalah pilpres terjadi hampir di semua tempat dan semua waktu. Dari warung kopi di pinggir jalan sampai di kafe-kafe di mal atau  hotel berbintang. Dan yang paling seru tentu di berbagai grup media sosial, karena ia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, dan berlangsung sepanjang hari tanpa jeda.


Walaupun fenomena ini secara teoritis telah dijelaskan dan difahami oleh para ilmuwan politik sebagai fenomena populisme yang dipicu dan dipacu oleh munculnya teknologi internet yang kemudian melahirkan berbagai platform media sosial yang murah, mudah, dan cepat sehingga digunakan oleh semua lapisan masyarakat secara masif.

Fenomena ini menjadi masalah ketika diisi atau ditumpanginya oleh diksi dan narasi yang berbau primordial yang di Indonesia dikenal dengan akronim SARA. Apalagi tim sukses kemudian memproduksi berbagai artikel, meme, sampai mengkapitalisasi berbagai peristiwa yang terjadi sesuai dengan persepsi subjektifnya, ditambah narasi yang menguntungkan jagonya atau merugikan lawannya.

Dalam situasi seperti inilah Reuni 212 dilaksanakan. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai Reuni Akbar, karena inilah reuni terakhir yang bisa dilaksanakan sebelum Pilpres. Keadaan semakin serius disebabkan narasi yang dimainkan adalah "agama" yang merupakan sisi paling sensitif di antara unsur SARA.

Dalam masalah agama seringkali orang kehilangan rasionalitas maupun objektifitas dalam menilai maupun mengambil keputusan, sehingga seringkali para cendekiawan atau professional tidak beda dengan pengangguran yang tidak sempat mengenyam pendidikan memadai. Akibatnya terjadi pembelahan yang tajam dari seluruh lapisan masyarakat, dari atas sampai yang paling bawah.

Bagi para pemegang kekuasaan dan tokoh panutan masyarakat, sejatinya kini sedang diuji kecintaan dan ketulusannya dalam mengabdi pada negri tercinta ini. Apakah lebih berpihak pada kepentingan pribadi dan golongan yang bersifat jangka pendek, atau pada kepentingan bersama yang bersifat jangka panjang.

Dalam kontek demokrasi mestinya ritual lima tahunan pemilu tidak boleh mengorbankan kepentingan bersama, khususnya kepentingan jangka panjang. Masalah Reuni 212 tidak perlu lagi diperdebatkan atau didiskusikan apakah ini kegiatan keagamaan atau kegiatan politik. Karena bukan di situ masalahnya.

Dari perspektif ilmuwan politik, fenomena ini dipandang sebagai bentuk aspirasi politik dari kelompok tertentu dalam masyarakat yang merasa kurang diuntungkan atau bahkan dirugikan oleh berbagai bentuk kebijakan yang diambil. Karena itu, Reuni 212 tidak lebih dari unjuk rasa yang lazim dilakukan di negara-negara demokratis.

Dengan cara pandang seperti ini, maka bagimana menghadapi kelompok ini menjadi ringan dan mudah. Kini dituntut kreatifitas penanganan jangka pendek dalam bentuk pengamanan di lapangan, setelah itu respon jangka panjang dalam bentuk berbagai kebijakan yang lebih adil, kalau perlu dalam bentuk affirmative policies.

Sementara ini berbagai bentuk penanganan di lapangan cukup sukses, misalnya dengan tidak menggunakan pendekatan represif, ditambah dengan polisi yang berkopiah haji atau polwan yang berjilbab. Bila pendekatan seperti ini dilakukan, saya yakin tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Akan tetapi, hal ini harus diikuti dengan berbagai kebijakan jangka panjang yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat kecil yang jumlahnya sangat besar di lapisan terbawah. [***]

Dr. Muhammad Najib
Direktur Eksekutif CDCC (Center for Dialogue and Cooperation among Civilization)

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

RUU Koperasi Diusulkan Jadi UU Sistem Perkoperasian Nasional

Rabu, 17 Desember 2025 | 18:08

Rosan Update Pembangunan Kampung Haji ke Prabowo

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:54

Tak Perlu Reaktif Soal Surat Gubernur Aceh ke PBB

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:45

Taubat Ekologis Jalan Keluar Benahi Kerusakan Lingkungan

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:34

Adimas Resbob Resmi Tersangka, Terancam 10 Tahun Penjara

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:25

Bos Maktour Travel dan Gus Alex Siap-siap Diperiksa KPK Lagi

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:24

Satgas Kemanusiaan Unhan Kirim Dokter ke Daerah Bencana

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:08

Pimpinan MPR Berharap Ada Solusi Tenteramkan Warga Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:49

Kolaborasi UNSIA-LLDikti Tingkatkan Partisipasi Universitas dalam WURI

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:45

Kapolri Pimpin Penutupan Pendidikan Sespim Polri Tahun Ajaran 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:42

Selengkapnya