Berita

Zainal Bintang/Net

Politik

Cegah Rakyat Melawan Rakyat

SABTU, 17 NOVEMBER 2018 | 13:16 WIB | OLEH: ZAINAL BINTANG

PEMILU serentak yang akan berlangsung pada 17 April 2019, adalah pemilu aneh, berat dan membingungkan. Setidaknya perasaan itulah yang dirasakan kebanyakan rakyat di akar rumput.

Bayangkan: hanya dua kandidat paslon; masa kampanye yang panjang; rakyat harus memilih wakil rakyat bersamaan harus memilih capres. Caleg kader parpol harus berkampanye paralel untuk dirinya dan untuk kandidat capres dukungan koalisinya.

Konflik politik horisontal yang terkadang tajam di akar rumput menjadi rutinitas sehari-hari. Membentangkan jarak yang membuka luka permusuhan. Mencipta jurang lebar sesama kerabat yang tadinya rukun dan akrab.

Masyarakat terbelah untuk memihak salah satu dari hanya dua kandidat yang tersedia sebagai hasil negosiasi proses politik yang panjang di parlemen yang melahirkan undang-undang sebagai koridornya.

Setidaknya ada dua fenomena yang menarik. Pertama, terbukanya lapangan kerja yang seluas-luasnya. Membuka ruang munculnya gerbong tim sukses, ormas relawan dan konsultan politik dadakan merangkap lembaga survei yang sekaligus juru bicara kandidat.

Kedua, menambah durasi waktu kesibukan kepolisian akibat mencuatnya kegiatan saling melapor diantara kubu kontestan. Hampir semua salah ucap dengan mudah disambar dan diberi label pencemaran dan digotong ke kantor polisi oleh sejumlah pengacara muda yang bersuka cita mendapat peluang promosi  gratis di media televisi.

Yang mungkin rada aneh, adalah terjadinya kontestasi dan persaingan terbuka antara kedua kandidat. Anehnya karena, kinerja kandidat petahana dipublikasikan secara masif kepada masyarakat dan diperhadapkan dengan program kandidat penentang yang baru akan melaksanakan programnya apabila sudah terpilih: Jelas cara ini tidak sama dan sebangun alias tidak fair. Tapi demikanlah aturan main, demikianlah perintah undang-undang.

Model adu kandidat secara apple to apple itu memaksa masing-masing kubu kandidat mudah terjebak ke dalam adu mulut yang tidak sehat. Apapun yang dilakukan kandidat penentang pastilah tidak akan dapat menyamai jejak kinerja kandidat petahana yang sudah bekerja dan bergerak selama empat tahun.

Kinerja petahana itu mendapat dukungan instrumen negara sepenuhnya yang terintegrasi ke dalam sebuah sistem yang disebut birokrasi pemerintah. Belalai birokrasi itu sangat mampu merambah ke semua wilayah di luar pemerintahan dan menyedotnya masuk ke dalam mesin besar kampanye petahana. Sungguh sangat mustahil bagi kubu penentang untuk bisa mengimbangi. Karena basis pijakan keduanya yang berbeda.

Terkait dengan berlangsungnya sebuah kontestasi yang tidak seimbang bahkan tidak sehat seperti itu, dipandang perlu dipertimbangkan untuk menata ulang model kontestasi: supaya lebih sehat, adil dan mengedukasi masyarakat maupun kedua kontestan itu sendiri.

Yang membahayakan, karena fabrikasi isu dan materi debat tim sukses di televisi telah terperangkap menjadi ajang saling memaki, merendahkan, menafikan bahkan saling mengkafirkan. Materi debat yang kasar dan vulgar diduga keras adalah hasil kreasi tim sukses penyedia materi debat tanpa meminta pertimbangan kandidatnya lebih dulu. Yang terkaget-kaget adalah publik yang menjadi sasaran dan pengonsumsi acara-acara gratis itu di layar kaca.

Memberatnya beban perjalanan kontestasi kedua kandidat tersebut diperkirakan karena di dalam dirinya melekat torehan konflik dan luka lama yang terbangun pada waktu terjadinya Pemilu 2014, digantungi oleh jejak awal proses yang menyimpan potensi persaingan keras, kemarahan, kegeraman dan gumpalan kebencian.

Kemanapun kita pergi dan bertemu dengan siapapun juga hari ini, mayoritas keluhan yang kita jumpai adalah adanya kecemasan dan kekecewaan atas  sajian debat tim sukses di televisi yang merisaukan, memprihatinkan dan memalukan.

Politisi tingkat nasional yang menjadi aktor kampanye telah memperagakan perilaku yang kekanak-kanakan: berteriak-teriak dan saling tunjuk dengan wajah memerah menyimpan amarah. Sebuah tontonan yang jauh dari janji adu gagasan dan adu ide  yang berwajah sejuk.

Yang pasti yang akan menderita oleh cara-cara yang mirip-mirip budaya spartan ini adalah rakyat. Rakyat negeri ini akan menderita bertahun-tahun ke depan memikul efek samping dari pertarungan adu amarah para spartan tersebut yang bergerak seperti robot yang tidak punya hati. Bergerak gemuruh anti  makna. Ibarat musik yang anti ritme. Di dalam mana hatinurani peradaban telah dipreteli dan diganti dengan peragaan yang  kaya  gaya  tapi miskin peradaban siang malam di layar kaca.

Kontestasi semacam ini harus dihentikan. Suara rakyat itu, saatnya sekarang diperdengarkan ke atas permukaan untuk menolak hadirnya gelombang baru politisi genderuwo pemburu kekuasaan. Gerakan rakyat harus bisa menghentikan perilaku politisi tanpa kompetensi yang terus mengaduk-aduk keluhuran budi bangsa ini dengan  mencederai keharmonisan luhur warisan leluhur.

Rakyat harus keukeuh menolak harga dirinya dibayar dari hasil korupsi. Mereka harus tegar menolak praktek jual beli suara rakyat senilai lima liter beras tapi menderita selama lima tahun. Harus dicegah meluasnya pertumbuhan ancaman yang mendorong rakyat melawan rakyat. Terbayang wajah Nikita Khrushchev mantan Perdana Menteri Uni Soviet ketika  mengatakan, "politisi itu sama saja di mana-mana. Mereka berjanji membangun jembatan bahkan di tempat yang tidak ada sungai". [***]

Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati sosial budaya.

Populer

Rocky Gerung Ucapkan Terima Kasih kepada Jokowi

Minggu, 19 Mei 2024 | 03:46

Pengamat: Jangan Semua Putusan MK Dikaitkan Unsur Politis

Senin, 20 Mei 2024 | 22:19

Dulu Berjaya Kini Terancam Bangkrut, Saham Taxi Hanya Rp2 Perak

Sabtu, 18 Mei 2024 | 08:05

Bikin Resah Nasabah BTN, Komnas Indonesia Minta Polisi Tangkap Dicky Yohanes

Selasa, 14 Mei 2024 | 01:35

Massa Geruduk Kantor Sri Mulyani Tuntut Pencopotan Askolani

Kamis, 16 Mei 2024 | 02:54

Ratusan Tawon Serang Pasukan Israel di Gaza Selatan

Sabtu, 11 Mei 2024 | 18:05

Aroma PPP Lolos Senayan Lewat Sengketa Hasil Pileg di MK Makin Kuat

Kamis, 16 Mei 2024 | 14:29

UPDATE

Sekjen AMPG Anggap Qodari Sedang Melawak

Rabu, 22 Mei 2024 | 01:56

PK Ditolak MA, Alex Noerdin Tetap Jalani Vonis 9 Tahun Penjara

Rabu, 22 Mei 2024 | 01:36

Pemilik Pesawat Latih yang Jatuh di BSD Bakal Diperiksa Polisi

Rabu, 22 Mei 2024 | 01:11

Tingkatkan Realisasi KPR Nonsubsidi, BTN Resmikan Sales Center Baru di 3 Kota Besar

Rabu, 22 Mei 2024 | 00:51

Tani Merdeka Bangun 7.200 Posko Pemenangan Sudaryono

Rabu, 22 Mei 2024 | 00:28

WWF ke-10 Aman dan Kondusif, Menteri PUPR Apresiasi Pengamanan TNI-Polri

Rabu, 22 Mei 2024 | 00:06

Mangkir dari Panggilan Kejaksaan, Anggota DPRD Madiun Dianggap Lecehkan Hukum

Selasa, 21 Mei 2024 | 23:49

Supian Suri Dilaporkan ke KASN dan BKN Jelang Pilkada 2024

Selasa, 21 Mei 2024 | 23:42

Nyaru jadi Bengkel, Industri Rumahan Narkotika Ini Mampu Memproduksi Jutaan Tablet

Selasa, 21 Mei 2024 | 23:20

KLHK Lanjutkan Safari Sosialisasi FOLU Net Sink 2030 di Yogyakarta

Selasa, 21 Mei 2024 | 23:16

Selengkapnya