Perum Jasa Tirta (PJT) II berharap banyak dengan kerja-kerja Satgas Penertiban Keramba Jaring Apung (KJA). Sebanyak 2.500 lebih KJA di Waduk Jatiluhur sudah ditertibkan Satgas dari pertengahan April 2017 hingga Oktober 2018.
"Tapi ini masih kurang banyak. Kami harapkan intensitas penertiban bisa ditingkatkan lagi," kata Dirut PJT II Djoko Saputro usai menerima kunjungan rombongan Ikatan Alumni Lemhanas (IKAL) Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XXI di Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Senin (22/10).
Satgas terdiri dari Pemkab Purwakarta, Dandim, Kapolres, Kajari, dan PJT II. Sebelum dilakukan penertiban ada 30 ribu lebih KJA di Waduk Jatiluhur. Jumlah ini, kata Djoko Saputro, di atas kemampuan danau untuk menerima pencemaran akibat sisa pakan yang tidak termakan ikan. Bahkan di musim kemarau, katanya, tingkat kontaminasi air bertambah tinggi seiring menyusutnya tinggi muka air danau.
"Pencemaran membuat air bersifat sangat asam. Sudah kami teliti karena sangat asam, tingkat korosifitas yang dihasilkan juga sangat tinggi. Itu dari sisa-sisa pakan yang tidak termakan ikan yang jumlahnya ratusan ton yang masuk ke danau setiap harinya," jelas dia.
Djoko Saputro menegaskan KJA tidak ramah lingkungan. Untuk awal pelaksanaan sangat memberikan manfaat namun lama kelamaan air menjadi tercemar. Dan saat ini, menurutnya, pencemaran yang terjadi di Waduk Jatiluhur akibat kegiatan KJA menimbulkan kerusakan cukup tinggi.
"Udara di area PLTA sangat pekat, bau asamnya tinggi sekali. Kesehatan para operator terancam. Hampir setiap hari (peralatan PLTA) disiram air bersih biar tidak korosi. Biaya operasional jadi bertambah," katanya.
"Dan perlu diingat bahwa air di Waduk Jatiluhur memasok 80 persen kebutuhan air baku Jakarta. Bisa dibayangkan jika pasokan ke Jakarta terganggu dan kualitas airnya sangat buruk. Tentu biaya operasional membersihkan air di Jakarta akan sangat mahal," sambung dia.
Terkait unjuk rasa menolak penertiban yang dilakukan sejumlah pihak, Djoko Saputro mengimbau untuk melihat persoalan secara jernih dan holistik. Disinyalir reaksi negatif dari upaya mengembalikan kualitas air Jatiluhur menjadi lebih baik dan jauh lebih sehat datang dari oknum pengusaha pakan dan benih.
"Kalau hari ini kita menghadapi penolakan, kita lihat mana yang lebih memberikan manfaat untuk negeri ini. Sekarang perlu dilihat kondisi lingkungan dan perekonomian masyarakat lokal yang harus ditingkatkan," tegasnya.
Djoko Saputro menjelaskan pihaknya berkomitmen meningkatkan perekonomian masyarakat sekaligus menjaga lingkungan dan kualitas air Waduk Jatiluhur. Diantaranya melalui program Culture Based Fisheries (CBF), program pengelolaan sumber daya ikan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
"Kami mengintroduce program CBF. Kami perkenalkan kepada masyarakat lokal agar mereka benar-benar mendapat penghidupan, bukan sekedar menjadi buruh. Program ini kita harapkan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan di lain sisi masyarakat merasa memiliki lingkungan," tukasnya.
[dem]