Berita

Ilustrasi/Net

Publika

Rusuh Di Markas Brimob: Perut, Kekerasan, Dan Jalan Tengah

KAMIS, 10 MEI 2018 | 21:53 WIB

KERUSUHAN (atau penyanderaan/terorisme) yang terjadi di Rutan Salemba cabang Kelapa Dua Depok (Kompleks Mako Brimob) menewaskan 5 anggota polisi dan 1 napi teroris (napiter).

Kronologi yang beredar di media menyebut bahwa rusuh tersebut disebabkan karena adanya cekcok antara napiter dengan aparat soal makanan yang berasal dari keluarga napiter.

Makanan yang datang dari luar harus diperiksa dulu agar tidak membahayakan penghuni lapas, begitu info yang beredar. Tapi entah kenapa, cekcok itu kemudian membawa pada kerusuhan, penyanderaan, dan pertumpahan darah.


Perut dan Kekerasan

Urusan perut bukan urusan yang main-main. Orang yang lapar bisa meledakkan kerusuhan, bahkan revolusi jika tidak ditangani. Umumnya, jika perut orang sudah kenyang, dia akan lebih rileks, dan kompromi. Itulah kenapa ada yang menyebut bahwa 'makan bareng' (launch atau dinner) adalah bagian dari strategi diplomasi lunak (soft diplomacy) untuk menaklukkan orang lain.

Tapi, apa sesederhana itu terjadinya kerusuhan bahkan kematian 6 orang di markas Brimob? Bisa jadi, soal cekcok itu bagian dari pelecut dari bangunan kebencian kepada aparat keamanan. Kita tahu, bahwa para napiter memiliki kebencian yang mendalam kepada Densus 88 karena mereka merasa tidak diperlakukan secara adil, atau bahkan, mereka menganggap bahwa aparat--TNI/POLRI--sudah kafir karena tidak berhukum pada hukum Allah.

Bukan cuma itu sebenarnya, dalam beberapa tulisan Aman Abdurrahman, ideolog pengikut ISIS di Indonesia, siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, maka dia kafir, dan olehnya itu darahnya halal untuk ditumpahkan. Fakta-faktanya dapat dilihat dari berbagai teror kepada aparat keamanan baik yang dilakukan di kantor polisi maupun kepada personal polisi dalam bentuk serangan satu orang (lone wolf).

Perut yang lapar bisa jadi pelecut terjadinya kekerasan. Dan, jika kronologi ini terkonfirmasi--tidak hanya dari perspektif aparat tapi juga dari napiter--maka mungkin soal makanan itu memang sangat berharga bagi napiter yang bersangkutan (bisa jadi dari istrinya, atau itu makanan spesial yang dia sukai).

Sampai sekarang, media-media memang belum menulis siapa sebenarnya napiter yang dikirim makanan dari keluarganya itu, dan mewawancarai dia terkait asal-mula sampai urusan perut mengakibatkan darah tertumpah.

Radikalisasi di Penjara

Kata Wapres Jusuf Kalla, napiter itu kalau digabung mereka bisa bikin universitas, tapi kalau dipisah mereka bisa jadi virus. Apa yang tampak dari kerusuhan Mako Brimob ini adalah bisa jadi bagian dari 'kurikulum' universitas tersebut: "Universitas Terorisme" alias Terrorism University. Bahaya. Tapi, perkataan Pak JK itu tidak begitu saja keluar, pasti ada logika di balik itu.

Di Mako Brimob saat ini mendekam juga Aman Abdurrahman, seorang tokoh pro-ISIS yang paling kuat di Indonesia. Sejak lepas dari Nusakambangan, Aman kembali masuk hotel prodeo karena terlibat dalam bom Thamrin (Sarinah) yang dilakukan oleh anak buahnya, yaitu Afiff alias Sunakim.

Dari dalam penjara, tulisan-tulisan Aman terus mengalir keluar, bahkan dikutip di berbagai laman/media sosial milik pengikutnya. Secara umum, Aman menafsirkan bahwa hukum Indonesia adalah hukum kafir karena tidak mendahulukan hukum Allah. Bumi ini milik Allah, maka seharusnya hukum Allah yang diutamakan, bukan hukum buatan manusia, kata dia.

Konsekuensi dari berhukum pada hukum selain hukum Allah maka keimanan seseorang bisa jadi batal, dan itulah yang menjelaskan kepada pengikut Aman melakukan tindakan penyerangan kepada aparat keamanan yang dianggap penolong thagut (anshar thagut). Thagutnya adalah Pancasila, sebuah konstitusi yang mereka mereka tidak berasal dari hukum Allah.

Kabarnya, salah satu tuntutan dari 'negosiasi' antara aparat dan napiter kemarin adalah tuntutan untuk dipertemukan dengan Aman. Entah sudah bertemu atau tidak, dan apa yang dibicarakan dari pertemuan itu, akan tetapi bisa jadi--jika pertemuan itu ada--para napiter sekedar meminta fatwa dari Aman terkait hal tersebut.

Saat ini, para napiter telah dibawa ke LP Nusakambangan. Di sana pengawasannya lebih ketat alias super maximum security. Nyaris belum ada orang yang bisa lari dari Nusakambangan, saking ketatnya (dulu saya pernah dengar katanya ada, tapi entah juga kebenarannya bagaimana).

Tapi, dimana pun napiter ditempatkan, yang cukup penting dilakukan adalah mengembalikan pemikiran mereka dari yang takfiri (mengkafirkan orang Islam) kepada wasathiyah (pemikiran jalan tengah, wasath) yang tetap islami akan tetapi bisa berkoeksistensi dengan realitas yang ada.

Jalan Tengah Berislam

Tugas kita sebagai warga masyarakat saat ini adalah menyebarkan pemahaman yang wasathiyah (menengah, bolehlah disebut "moderat") di masyarakat. Artinya, menjadi muslim bukan berarti seseorang harus sangat keras, anti kepada sistem, bahkan mengajarkan kekerasan. Menjadi muslim berarti menjadi pribadi yang taat kepada ajaran Islam dengan berfokus pada ajaran kedamaian ketimbang kekerasan.

Setidaknya, saat ini ada dua kecenderungan umat Islam dalam mengamalkan agamanya. Pertama, jalan kanan yang pro kepada teror dan kekerasan, dan kedua, jalan kiri yang cenderung liberal. Jalan pertama dipilih oleh orang kelompok perlawanan seperti Al-Qaeda, ISIS, dan pengikutnya. Kemudian, jalan kedua dipilih oleh kelompok yang mengusung liberalisme. Antara kedua jalan--kiri dan kanan ini--paling tidak bisa bertemu, dan saling berseteru.

Jalan yang dibutuhkan saat ini adalah jalan tengah, yaitu Islam yang tidak condong pada tindakan terorisme/ekstremisme, dan juga tidak terjebak dalam liberalisme, hedonisme, dan permissifisme. Islam jalan tengah ini sebenarnya telah dilakukan oleh organisasi mainstream seperti NU dan Muhammadiyah, dan gerakan/ormas/komunitas Islam yang anti-kekerasan.

Dan, sifat jalan tengah ini rasanya penting untuk menjadi pegangan kita untuk disebarkan kepada orang lain, bahwa Islam itu tidak sekeras kalangan teroris dan tidak seliberal kalangan liberalis. [***]

Yanuardi Syukur
(Peneliti Radikalisme sekaligus Mahasiswa Program Doktor Antropologi FISIP UI)

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

RUU Koperasi Diusulkan Jadi UU Sistem Perkoperasian Nasional

Rabu, 17 Desember 2025 | 18:08

Rosan Update Pembangunan Kampung Haji ke Prabowo

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:54

Tak Perlu Reaktif Soal Surat Gubernur Aceh ke PBB

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:45

Taubat Ekologis Jalan Keluar Benahi Kerusakan Lingkungan

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:34

Adimas Resbob Resmi Tersangka, Terancam 10 Tahun Penjara

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:25

Bos Maktour Travel dan Gus Alex Siap-siap Diperiksa KPK Lagi

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:24

Satgas Kemanusiaan Unhan Kirim Dokter ke Daerah Bencana

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:08

Pimpinan MPR Berharap Ada Solusi Tenteramkan Warga Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:49

Kolaborasi UNSIA-LLDikti Tingkatkan Partisipasi Universitas dalam WURI

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:45

Kapolri Pimpin Penutupan Pendidikan Sespim Polri Tahun Ajaran 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:42

Selengkapnya