Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan jawaban atas permohonan Praperadilan Mantan Walikota Pemerintah Kota Kendari, Asrun.
Sebelumnya Asrun mengajukan sidang praperadilan kepada termohon yakni pihak KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam gugatan praperadilannya Asrun menyampaikan tiga pokok gugatan, yakni tindakan termohon (KPK) membawa pemohon (Asrun) sebagai tindakan melanggar hukum dan HAM, penetapan tersangka yang tidak sah karena belum ditemukannya dua alat bukti yang sah, dan penahanan terhadap tersangka tidak sah karena penetapan sebagai tersangka tidak sah.
Jurubicara KPK, Febri Diansyah pun mengungkapkan jawaban atas gugatan praperadilan Asrun pada wartawan. Untuk gugatan membawa Asrun sebagai tindakan hukum dan HAM, KPK menilai hal tersebut merupakan tindakan yang sah karena pihak KPK telah melakukan tangkap tangan yang didasari Surat Perintah Penyelidikan (Sprinlid) tanggal 24 Novenber 2017.
Dan dalam proses penyelidikan pihak KPK telah mendapatkan fakta-fakta indikasi penerimaan hadiah atau janji oleh pemohon.
"Tindakan termohon membawa pemohon merupakan tindakan sah dan berdasar atas hukum. Hal ini terkait dengan pasal 1 angka 19 KUHAP tentang definisi tertangkap tangan, dan bahwa sesuai pasal 18 ayat (2) KUHAP dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah penangkapan," ujarnya kepada wartawan, Selasa (17/4)
Sementara untuk gugatan penetapan tersangka yang tidak sah karena belum ditemukannya dua alat bukti yang sah, Febri mengatakan bahwa dalil yang disampaikan Asrun salah dan tidak beralasan.
"Dalil yang disampaikan pemohon bahwa penetapan tersangka terhadap pemohon berdasarkan proses penyidikan dan bukan penyelidikan adalah keliru dan tidak beralasan. Sesuai Pasal 6 UU KPK bahwa KPK mempunyai tugas melakukn penyelidikan, penyidikan, penuntutan. Yang lebih lanjut diatur dalam pasal 39 ayat (1) UU KPK," ujarnya.
"Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK, menyatakan bahwa penyelidikan tidak hanya bertujuan untuk menemukan peristiwa pidana tetapi lebih jauh dari itu, penyelidikan sudah bertujuan untuk menemukan bukti permulaan yang sekurang-kurangnya dua alat bukti,†lanjutnya.
Sementara mengenai gugatan penetapan sebagai tersangka yang dinilai tidak sah, Febri mengatakan bahwa penahanan terhadap Asrun adalah tindakan sah dan berdasar hukum.
Ia menjelaskan bahwa penahanan merupakan salah satu kewenangan pro justicia sejak penyidikan sampai persidangan terhadao tersangka atau terdakwa yang dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim.
Asrun terbukti tertangkap tangan bersama-sama pihak lainnya. Selanjutnya, setelah dilakukan penangkapan terhadap Asrun secara tertangkap tangan, KPK segera melakukan permintaan keterangan atau pemeriksaan dalam tahap penyelidikan, kemudian KPK pun meningkatkan pemeriksaan ke tahap penyidikan dan melakukan penahanan terhadap Asrun.
"Sesuai pasal 21 KUHAP, penyidik telah melakukan penahanan terhadap pemohon dengan telah memenuhi syarat penahanan subyektif terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup," tukasnya.
Asrun merupakan calon gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), ia bersama dengan anaknya yang merupakan Walikota Kendari, Adriatama Dwi Putra diduga menerima suap.
Dugaan penerimaan uang sejumlah Rp 2,8 miliar tersebut terdiri dari transaksi pada tanggal 26 Februari 2018 sejumlah Rp 1,5 miliar yang ditarik dari Bank Mega di Kendari oleh staf PT SBN dan Rp 1,3 miliar dari uang kas yang kemudian akan diberikan pada Walikota Kendari Adriatama Dwi Putra.
Diduga uang tersebut akan dipergunakan untuk kepentingan biaya politik untuk pencalonan gubernur ayahnya yakni Asrun.
Keduanya dijerat pasal 12 (a) atau (b) atau pasal 11 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 junto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
[ian]