BEBERAPA minggu belakangan ini media kembali memberikan sorotan kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sorotan media pertama terkait dengan gugatan perceraian Pak Ahok dengan Ibu Veronica Tan yang usia pernikahannya sudah sampai 20 tahun itu.
Belum selesai hiruk pikuk pemberitaan tersebut beberapa minggu lalu Ahok kembali menjadi pusat pemberitaan setelah melalui kuasa hukumnya secara resmi mendaftarkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) atas Putusan Pengadilan Nomor 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr., yang mana dalam putusan tersebut menjatuhkan hukuman pidana kepada Ahok selama 2 tahun penjara.
Pututsan Majelis hakim ini disikapi dengan berbeda-beda oleh masyarakat Jakarta saat itu. Ada pihak yang menyambut positif putusan hakim ini ada juga yang tidak setuju dengan putusan hakim dimaksud.
Pihak yang tidak setuju dengan putusan ini kemudian melakukan beberapa aksi di jalan untuk melakukan protes terhadap putusan hakim.
Atas putusan hakim ini juga menjadi pertimbangan pada waktu itu untuk melakukan upaya hukum banding akan tetapi dengan berbagai pertimbangan saat itu diputuskan untuk tidak mengajukan upaya hukum banding dengan demikian putusan Majelis Hakim yang menjatuhkan hukuman pidana 2 tahun penjara kepada Ahok saat itu dapat ditetima.
​Perkara hukum Ahok ini sangat menyita perhatian baik di tingkat nasional maupun di tingkat internasional ada beberapa media terkenal di luar negeri seperti The Wall Street Joural yang juga turut membahas permasalahan hukum ini.
Permasalahan hukum yang menimpa Ahok cukup sulit untuk tidak dipisahkan atau dikaitkan dengan kepentingan politik saat itu mengingat perkara hukum ini mencuat dan diproses di tengah hiruk-pikuk Pilkada DKI Jakarta yang salah satu kontestannya adalah Ahok sendiri.
Hal ini lah yang menjadi cukup menarik bagi banyak media asing internasional yang mengangkat kasus ini karena dianggap sebagai ujian bagi kedewasaan demokrasi bangsa Indonesia.
Terlebih lagi isu yang diangkat terkait dengan isu agama (mayoritas dan minoritas) hal ini lah yang semakin menjadikan kasus hukum Ahok ini menjadi isu yang sangat sentral.
Terlepas dari isu-isu politik terkait perkara hukum Ahok ada beberapa pihak yang mencoba melihat dari segi substansi hukumnya banyak yang mempertanyakan terkait dengan vonis hakim yang melebihi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang hanya menuntut Ahok dengan tuntutan 1 tahun penjara dengan 2 tahun masa percbaan.
Apakah suatu kewajaran vonis hakum melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum? Atas pertanyaan ini memang tidak terlalu banyak ditemukan vonis/putusan hakim melebih dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum akan tetapi hal ini bukan pertama kali terjadi sudah ada beberapa putusan hakim yang demikian.
Secara hukum, khususnya dalam hukum pidana hakim diperbolehkan untuk melakukan ultra petita (memutus melebihi apa yang dituntut Jaksa Penuntut Umum) sehingga secara hukum putusan hakim tersebut sah-sah saja.
Berbeda jika dalam hukum perdata maka hakim dilarang melakukan ultra petita karena dalam hukum perdata lebih menitikberatkan pada aspek formil sedangkan hukum pidana lebih menitikberatkan pada aspek kebenaran materiil.
Pengajuan Peninjauan Kembali​Beberapa minggu lalu Ahok melalui kuasa hukumnya secara resmi telah mendafatarkan permohonan peninjauan kembali atas putusan Putusan Pengadilan Nomor 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr.
Atas pendafatran permohonan peninjauan kembali ini kembali muncul isu-isu politik yang menyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pak Ahok agar Ahok dapat mencalonkan dalam pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2019.
Isu ini kembali bergulir dan pihak-pihak yang tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan Ahok selama menjadi Gubernur DKI Jakarta kembali melakukan aksi demonstrasi pada saat permohonan peninjauan kembali Ahok disidangkan.
Kebebasan berekspresi termasuk melakukan demonstrasi adalah hak setiap warga negara akan tetapi hak tersebut jangan sampai mengganggu proses hukum yang berlangsung karena tegaknya hukum dapat tercapai jika hukum independen tidak diintervensi oleh pihak manapun termasuk intervensi people power.
Hans Kelsen seorang Ahli hukum dari Austria pernah mengungkapkan teori hukumnya yang ia sebut sebagai Teori Hukum Murni dalam teori hukumnya ia mengatakan bahwa hukum dapat tegak apabila hukum itu terbebas dari anasir-anasir lain selain dari anasir hukum.
Teori Hans kelsen ini sangat relevan dalam kasus Ahok bahwa apapun yang terkait dengan hukum sebaiknya dapat diselesaikan murni akan kepentingan hukum tanpa agenda-agenda lain selain itu.
​Terlepas dari apapun tujuan Ahok melakukan permohonan peninjauan kembali atas kasus penodaan agama yang menjeratnya itu permohonan peninjauan kembali merupakan hak hukum dari Ahok yang dilindungi dalam UUD 1945 bahwa setiap orang berhak diperlakukan sama dihadapan hukum dan pemerintahan.
Begitu pun dalam proses peninjauan kembali yang dimohonkan oleh Ahok harus dilakukan dengan penuh rasa keadilan dan menjunung tiggi hukum.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 263 membolehkan bagi setiap orang, ahli warisnya, atau kuasanya untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan hukum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Dalam pengajuan permohonan peninjauan kembali KUHAP membatasi dengan beberapa syarat agar permohonan peninjaun kembali memiliki dasar hukum yakni: pertama apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; kedua apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; ketiga apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruanyang nyata.
Dalam melakukan pemeriksanaan atas permohonan penijauan kembali ada kemungkinan putusan hakim yang dapat dijatuhkan oleh pemohon peninjauan kembali yakni: putusan tidak dapat diterima, putusan menolak permintaan peninjauan kembali atau putusan yang membenarkan alasan pemohon. Dalam menjatuhkan putusan peninjuan kembali hakim sangat bergantung kepada tiga alasan tersebut di atas.
Oleh karena itu pihak yang mengajukan permohonan peninjauan kembali harus betul-betul meyakini bahwa permohonan yang diajukan memenuhi syarat dari 3 syarat dilakukannya permohonan peninjauan kembali karena jika tidak terpenuhi maka Hakim kemungkinan besar akan menjatuhkan putusan peninjauan kembali tidak dapat diterima atau menolak permohonan peninjauan kembali.
Dapatkah Peninjauan Kembali Diterima?​Permohonan peninjauan kembali khususnya perkara pidana harus berfokus kepada tiga dasar diajukannya peninjauan kembali sebagaimana dijelaskan diatas (Pasal 263 ayat 2 KUHAP). Ketiga hal ini harus dijelaskan dalam argumentasi hukum yang kuatsehingga dapat memberikan keyakinan kepada hakim untuk bisa menerima permohonan peninjauan kembali.
Dalam permohonan peninjauan kembali Ahok kali ini saya tidak menjadi kuasa hukum Ahok karenanya saya tidak juga ikut menyusun permohonan peninjauan kembali yang telah didaftarkan tersebut.
Tetapi sebagai akademisi yang sekaligus juga sebagai praktisi hukum saya mengikuti perkembangan hukum saat ini termasuk permohonan peninjauan kembali yang diajukan Ahok melalui kuasa hukumnya. Di beberapa media Kuasa Hukum Ahok menjelaskan bahwa pengajuan permohonan peninjauan kembali Ahok didasarkan atas dua hal yaitu adanya kekhilafan atau kekeliruan nyata oleh Hakim dan adanya putusan terkait Buni Yani.
Melihat dari kedua alasan yang diajukan oleh kuasa hukum Ahok perlu kita cermati kaitannya dengan tiga dasar pengajuan penijauan kembali yang jika disingkat tiga dasar itu yakni: Novum, kekhilafan hakim dan putusan yang saling bertentangan.
Kedua alasan yang diajukan kuasa hukum Ahok khususnya yang terkait dengan Putusan Buni Yani apakah masuk dalam pengertian novum atau tidak? Dalam beberapa pendapat ada yang memaknai bahwa novum (bukti baru) itu harus sudah ada terlebih dahulu tetapi tidak ditemukan untuk diungkapkan pada saat dilakukan upaya hukum, tetapi ada yang berpendapat bahwa novum itu bisa muncul berikutnya bukan bukti/keadaan yang sudah ada sebelumnya akan tetapi bukti/keadaan yang kemudian ada.
Pendapat ini keduanya benar tetapi pendapat pertama mutlak harus demikian dalam kasus perdata sedangkan yang kedua dapat diterapkan dakam kasus pidana. Artinya jika putusan Buni Yani yang dijadikan sebagai novum apakah hal tersebut bisa?
Seharusnya bisa saja putusan Buni Yani dijadikan Novum akan tetapi yang menjadi persoalan putusan Buni Yani tersebut belum berkekuatan hukum tetap sehingga tidak memiliki legitimasi hukum yang baik.
Terkait dengan adanya kekhilafan hakim yang menjadi dasar pengajuan peninjauan kembali, perlu dicermati yang mana menjadi tolak ukur kekhilfan atau kekeliruan hakim jika tolak ukurnya adalah dengan adanya putusan Buni Yani yang dijatuhkan hukuman pidana maka ini juga menjadi tidak memiliki legitimasi yang kuat karena sekali lagi putusan hukum Buni Yani belum memiliki kekuatan hukum tetap.
Dalam kasus Ahok sebenarnya pengajuan penunjauan kembali adalah opsi yang baik tetapi perlu diperhitungkan terkait dengan tempus (waktu) pengajuannya.
Karena waktu pengajuan sangat berpengaruh terhadap bukti-bukti hukum yang akan diajukan begitu pun bukti-bukti yang diajukan akan sangat berpengaruh terhadap putusan hakim. [***]
Penulis adalah akademisi dan prakrtisi hukum