Berita

Arief Hidayat/Net

Publika

Ketua MK Dan Tanggungjawab Etik

MINGGU, 11 FEBRUARI 2018 | 04:31 WIB

DESAKAN agar Arief Hidayat mundur dari jabatannya sebagai Ketua dan Hakim Mahkamah  Konstitusi (MK) terus disuarakan dari berbagai pihak. Selama menjabat sebagai Ketua MK, Arief Hidayat telah dua kali terbukti melakukan pelanggaran kode etik.

Pada 2016, Arief Hidayat pernah mendapatkan sanksi etik berupa teguran lisan dari Dewan Etik MK. Pemberian sanksi itu karena Arief Hidayat dianggap melanggar etika dengan membuat surat titipan atau katebelece kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono untuk "membina" seorang kerabatnya. Dalam katebelece yang dibuat Arief Hidayat itu, terdapat pesan kepada Widyo Pramono agar menempatkan salah seorang kerabatnya dengan bunyi pesan, "Mohon titip dan dibina, dijadikan anak Bapak". Kerabat Arief Hidayat yang "dititipkan" itu saat ini bertugas di Kejaksaan Negeri Trenggalek, Jawa Timur, dengan pangkat Jaksa Pratama/Penata Muda IIIC.

Kedua kalinya, Dewan Etik MK menyatakan Arief Hidayat terbukti melakukan pelanggaran ringan. Melakukan pelanggaran kode etik sebelum proses uji kelayakan dan kepatutan terkait pencalonannya kembali sebagai hakim konstitusi di DPR, Rabu (6/12/2017). Atas putusan tersebut, Dewan Etik MK menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan kepada Arief Hidayat. Dalam pemeriksaan oleh Dewan Etik, Arief Hidayat terbukti melanggar kode etik karena bertemu dengan sejumlah Pimpinan Komisi III DPR tanpa surat undangan resmi, hanya melalui telepon di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta.


Seperti yang diketahui bersama, Peneliti Muda di Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara MK, Abdul Ghoffar Husnan melaporkan Ketua MK Arief Hidayat ke Dewan Etik. Pelaporan tersebut dilakukan Ghoffar setelah Arief Hidayat mengeluarkan sejumlah tudingan di sebuah media online kepadanya dan Arief Hidayat juga setelah diminta mundur pasca-sanksi etik kedua dari Dewan Etik.

Dan yang terbaru, sebanyak 54 profesor serta guru besar dari lembaga dan perguruan tinggi Indonesia meminta Arief Hidayat tidak lagi menahkhodai MK.

Ketua MK Arief Hidayat sepatutnya mencontoh mantan hakim konstitusi, Arsyad Sanusi. Ketika menghadapi problem etik, meski tidak terkait langsung, Arsyad Sanusi segera mengundurkan diri. Tradisi ini yang perlu dipertahankan. Meski Dewan Etik hanya merekomendasikan teguran tertulis karena terbukti melanggar kode etik, Arsyad Sanusi memilih mundur dari jabatannya sebagai hakim konstitusi. Arsyad Sanusi memilih mundur demi menjaga keluhuran, kehormatan, kewibawaan, sekaligus kepercayaan publik terhadap MK.

Keputusan mundur itu disampaikan Arsyad Sanusi, setelah Majelis Kehormatan Hakim (MKH) mengumumkan secara terbuka hasil penyelidikan dugaan pelanggaran kode etik oleh Arsyad Sanusi dan hakim konstitusi Akil Mochtar pada awal 2011.

Tingkat kepercayaan masyarakat atau legitimasi terhadap Ketua MK atau bahkan lembaga MK sudah semakin luntur. Pemberitaan tentang hal tersebut membuat legitimasi atas Ketua MK begitu lemah dan terus tergerogoti. Sepatutnya, Arief Hidayat menyadari bahwa tindakannya itu akan mempengaruhi legitimasi, maka sepatutnya memilih mundur demi menjaga keluhuran, kehormatan, kewibawaan, sekaligus kepercayaan publik terhadap MK.

MK harus diisi oleh para hakim yang memahami hakikat kejujuran, kebenaran dan keadilan sehingga dapat menjadi hakim sebagai garda terdepan penjaga kejujuran, kebenaran dan keadilan.

Seorang hakim MK yang terbukti melanggar etik, maka dia tidak punya kualitas sebagai negarawan. Negarawan sejati tidak akan mempertahankan posisinya sebagai hakim konstitusi setelah dijatuhi sanksi pelanggaran etika.

Setiap orang harus mempertahankan Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi demokrasi dan rules of law. Sebagai lembaga yang sakral dan tinggi kedudukannya, MK harusnya memiliki hakim yang berintegritas. Pasalnya, putusan MK final dan mengikat.

Secara moral ada tanggung jawab etik yang jauh lebih tinggi daripada teks hukum, dan Arief Hidayat harus menghormati itu sebagai kebaikan semuanya karena ini MK. Di dunia ini hanya ada dua kerajaan besar, pertama adalah kerajaan kebenaran yang pintunya dijaga oleh para Ilmuwan dan kedua, kerajaan keadilan yang pintunya dijaga oleh para hakim. Maka, hakim dan ilmuwan tidak boleh berbuat tidak jujur. Mereka harus mempertanggung-jawabkan setiap perbuatan kepada Tuhan dan publik di Tanah Air. [***]

Eric Mangiri
Ketua Dewan Pengurus Pusat Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

RUU Koperasi Diusulkan Jadi UU Sistem Perkoperasian Nasional

Rabu, 17 Desember 2025 | 18:08

Rosan Update Pembangunan Kampung Haji ke Prabowo

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:54

Tak Perlu Reaktif Soal Surat Gubernur Aceh ke PBB

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:45

Taubat Ekologis Jalan Keluar Benahi Kerusakan Lingkungan

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:34

Adimas Resbob Resmi Tersangka, Terancam 10 Tahun Penjara

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:25

Bos Maktour Travel dan Gus Alex Siap-siap Diperiksa KPK Lagi

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:24

Satgas Kemanusiaan Unhan Kirim Dokter ke Daerah Bencana

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:08

Pimpinan MPR Berharap Ada Solusi Tenteramkan Warga Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:49

Kolaborasi UNSIA-LLDikti Tingkatkan Partisipasi Universitas dalam WURI

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:45

Kapolri Pimpin Penutupan Pendidikan Sespim Polri Tahun Ajaran 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:42

Selengkapnya