Berita

Publika

HMI, Kader Santri Dan Agenda Pembaharuan

JUMAT, 09 FEBRUARI 2018 | 01:04 WIB

HIMPUNAN Mahasiswa Islam (HMI) pada dekade 70-an memiliki sosok kader santri yang memberikan sumbangsih pemikiran luar biasa bagi perjalanan bangsa ini dalam aspek keislaman dan keindonesiaan. Ijtihad pemikirannya sangat mendasar serta memberikan pengaruh kepada masyarakat secara signifikan. Dia adalah Nurcholish Madjid atau akrab kita sapa dengan panggilan Cak Nur.

Embrio pemikiran Cak Nur -yang tentunya secara organisatoris tanpa meniadakan peran dari Sakib Mahmud dan Endang Saifuddin Anshari- tertuang secara sistematis dalam sebuah tulisan berjudul Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) pada tahun 1969 pada kongres HMI ke-9 di Malang, yang hingga sampai saat ini, isi tulisan tersebut dijadikan pegangan dan pijakan oleh setiap kader Himpunan dalam mengaktualisasikan gerak langkah perjuangannya.

Dengan NDP, corak pemikiran keagamaan HMI menjadi modernis, ia cenderung berbicara hal-hal yang bersifat prinsipil ketimbang yang parsial. Dalam perjalanannya, NDP menjadi nafas perjuangan HMI. Iman yang teguh, ilmu yang luas, dan amal yang nyata bagi sesama adalah simpulan utama dari NDP. Ketiganya harus terintegrasi secara utuh dan terpatri secara kuat di dalam kepribadian setiap kader himpunan.


Cak Nur adalah sosok guru bangsa yang telah memberikan sumbangsih pemikiran yang begitu sangat luar biasa bagi perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia. Ia adalah seorang mujaddin (pembaharu) di akhir abad ke-20 yang lahir dari rahim HMI.

Muncul satu pertanyaan, apa yang menjadi salah satu faktor Cak Nur dapat menjadi sosok yang begitu hebat dan dibanggakan bagi keluarga besar HMI dan tentunya juga bagi sejarah perjalanan bangsa ini?

Santri Masuk HMI

Kita selalu membayangkan, bahwa santri adalah kaum tradisionalis yang menjalankan kehidupan selama di pesantren dengan gaya yang sangat sederhana dan tradisional. Hal itu pun berpengaruh kepada corak pemikirannya. Namun di tangan Cak Nur, saat ia memilik aktif di HMI, corak pemikirannya menjadi modernis-progresif, sehingga mampu menghasilkan 'daya gedor' yang sangat kuat dan mampu melakukan pembaharuan secara signifikan.

Ya, Cak Nur adalah seorang santri lulusan Pesantren Darus Salam di Gontor yang kemudian kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta mengambil fakultas Adab jurusan sastra arab. Semasa kuliah inilah ia aktif sebagai anggota HMI dan pada tahun 1966-1971 menjadi Ketua Umum PB HMI selama dua periode. Pengangkatan kembali dirinya sebagai ketua umum untuk kali kedua adalah fenomena yang sangat langka -atau dapat dikatakan satu-satunya- dalam sejarah perjalanan HMI.

Semasa aktif di HMI-lah Cak Nur mengembangkan citra diri lewat tulisan yang syarat dengan ide-ide pembaharuan keislaman dalam konteks keindonesiaan, sehingga publik mengakui dirinya sebagai cendikiawan muda Islam, sebagian yang lain menjulukinya dengan sebutan 'Natsir Muda'.

Budhy Munawar Rachman (2017) membagi fase pemikiran Cak Nur menjadi dua periode. Pertama periode 1965-1978 dengan gagasan utama keislaman-keindonesiaan dengan indikator disahkannya Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) sebaga ideologi Himpunan HMI dan mengangkat wacana perdebatan tentang sekularisasi dan pembaruan Islam di Indonesia. Kedua, periode 1984-2005 meliputi gagasan tentang konsep neo-modernisme Islam atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Islam Liberal; Paham Islam inklusif/pluralisme; Pemikiran tentang humanisme Islam; dan pemikiran tentang reformasi, demokrasi dan civil society.

HMI telah memberikan ruang kreasi seluas-luasnya bagi Cak Nur untuk mengaktualisasi serta mengembangkan potensi yang dimilikinya selama ia menimba ilmu di pesantren. Budhy melukiskan: "salah satu hal yang unik dalam perkembangan pemikiran Nurcholish adalah kentalnya latar belakang pesantren yang penuh dengan khazanah Islam klasik. Ia memang menjalani masa remajanya di pesantren, yang tentu telah membentuk kecenderungan pemikirannya. Bahkan saya ingin mengatakan bahwa pemikiran Nurcholish adalah sebuah bentuk reformasi pemikiran Islam pesantren."

Asimilasi tradisi pesantren dan budaya intelektual HMI merupakan dua gabungan yang ideal, dimana khazanah keilmuan Islam klasik diproduksi kembali secara kritis dan rasional menjadi suatu hal yang baru dan lebih relevan dengan konteks zaman. Cak Nur adalah salah satu contoh nyata akan hal itu, dan mungkin di luar sana, masih banyak tokoh-tokoh besar lainnya yang berlatar belakang santri dan aktivis HMI.

Jangan Bergerak Mundur

Saat ini, nampak terasa adanya kemandegan dan kejumudan pemikiran di dalam tubuh himpunan. Seolah wacana-wacana keislaman dan kebangsaan tidak ada yang perlu lagi dibahas dan dikembangkan. Di saat bersamaan sikap keberagamaan HMI akhir-akhir ini cenderung mengarah kepada konservatisme dan 'kekanan-kananan'. Narasi pengetahuan tak berkembang, nalar kritis kader himpunan pun divonis lumpuh dalam menjawab dan menghadapi tantangan zaman.

Setidaknya, kita berharap HMI tetap berdiri tegak sebagai organisasi kemahasiswaan yang memiliki karaktiristik inklusif, moderat dan toleran. Jangan sampai, posisi itu diarahkan oleh pihak-pihak tertentu kepada sikap konservatisme agama apalagi ‘ngebuntut’ kepada golongan yang terindikasi radikal dan garis keras.

Jika kita tidak mampu melakukan ijtihad pembaharuan pemikiran Islam, maka yang patut kita lakukan adalah menyegarkan kembali wacana-wacana keislaman dan keindonesiaan untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. HMI jangan bergerak mundur dengan melakukan gerakan-gerakan konservatif, karena hal itu bertentangan dengan fitrah perjuangannya sebagai organisasi yang modernis dan progresif.

Kita harus tetap optimis sembari berikhtiar bahwa suatu saat nanti ada sosok kader santri lagi -seperti halnya Cak Nur- yang mampu melakukan pembaharuan pemikiran Islam jilid dua dalam menjawab permasalahan yang sedang menimpa bangsa ini. Tugas kita adalah melakukan upaya pengarahan dan pembinaan secara maksimal, terstruktur dan masif terhadap kader himpunan di tingkatan akar rumput agar tertanam di dalam jiwa mereka kepribadian yang akademis, intelektual dan profesional.[***]

Idris Pua Bukhu
Penulis adalah Ketua PB HMI Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan Kepemudaan 2016-2018

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bangun Jembatan Harapan

Minggu, 07 Desember 2025 | 02:46

Distribusi Bantuan di Teluk Bayur

Minggu, 07 Desember 2025 | 04:25

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

UPDATE

RUU Koperasi Diusulkan Jadi UU Sistem Perkoperasian Nasional

Rabu, 17 Desember 2025 | 18:08

Rosan Update Pembangunan Kampung Haji ke Prabowo

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:54

Tak Perlu Reaktif Soal Surat Gubernur Aceh ke PBB

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:45

Taubat Ekologis Jalan Keluar Benahi Kerusakan Lingkungan

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:34

Adimas Resbob Resmi Tersangka, Terancam 10 Tahun Penjara

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:25

Bos Maktour Travel dan Gus Alex Siap-siap Diperiksa KPK Lagi

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:24

Satgas Kemanusiaan Unhan Kirim Dokter ke Daerah Bencana

Rabu, 17 Desember 2025 | 17:08

Pimpinan MPR Berharap Ada Solusi Tenteramkan Warga Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:49

Kolaborasi UNSIA-LLDikti Tingkatkan Partisipasi Universitas dalam WURI

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:45

Kapolri Pimpin Penutupan Pendidikan Sespim Polri Tahun Ajaran 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 16:42

Selengkapnya