Koalisi masyarakat sipil mendesak DPR untuk tidak menÂcantumkan pelibatan militer dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Alasannya, keikutsertaan militer akan mengacaukan mekanisme criminal justice system. Apalagi militer bukan aparat penegak hukum.
Direktur Eksekutif Imparsial, menuturkan, pembahasan tentang perubahan terhadap UU No 15 taÂhun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme meÂmasuki tahap akhir di DPR.
Meski terdapat perkembangan yang cukup baik, terkait dengan pembahasan hak-hak korban terorisme, namun demikian draf RUU perubahan tersebut masih menyisakan sejumlah catatan penting dan krusial. Mulai dari masalah pelibatan militer dalam penanggulangan terorisme, isu tentang ujaran kebencian, isu tenÂtang deradikalisasi dan lainnya.
"Kalau RUU ini mau menÂgatur pelibatan militer, bisa saja asal tidak bertentangan dengan UU TNI. Militer bukanÂlah aparat penegak hukum, dan kita tidak ingin militer dibawa ke ranah sipil seperti pada masa Orde Baru," katanya di Kantor Imparsial, Jalan Tebet Dalam IV J, Jakarta, kemarin.
Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Totok Yuliyanto menerangkan, koalisi memandang pembahasan RUU perubahan atas UU No. 15 Tahun 2003 tetap harus berpijak pada mekanisme criminal justice system model.
"Karena aksi terorisme itu sendiri adalah kejahatan pidana, maka penanganannya harus pula dilakukan melalui model pendekatan penegakan hukum yang mensyaratkan adanya penghormatan terhadap prinsip negara hukum, tatanan negara yang demokratik, serta menjaÂmin perlindungan kebebasan dan HAM," ujarnya.
Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa menjelaskan, terkait usulan soal tugas dan wewenang TNI dalam penanggulangan terÂorisme yang mencakup seluruh aspek penindakan, mulai pencegahan hingga melakukan tindaÂkan represif seperti penangkapan merupakan usulan yang bertentanÂgan dengan prinsip negara hukum dan akan merusak mekanisme criminal justice system.
"Penting untuk diingat, militer bukanlah aparat penegak hukum tetapi alat pertahanan negara karenanya militer tidak boleh dan tidak bisa terlibat dalam penanganan kejahatan tindak pidana terorisme dengan memÂinta kewenangan menangkap di dalam kerangka criminal justice system," sebutnya.
Pemberian kewenangan itu buÂkan hanya menyalahi fungsinya tetapi akan membahayakan bagi keÂhidupan demokrasi, negara hukum dan mengancam HAM. Dia meneÂkankan, rencana pelibatan militer dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebenarnya tidak perlu dilakukan.
Sebab pelibatan militer dalam penanganan terorisme sesungÂguhnya sudah diatur di dalam UU TNI. Menurut pasal 7 ayat (2) dan (3) UU TNI, militer dapat mengatasi terorisme daÂlam rangka tugas militer selain perang, jika ada keputusan poliÂtik negara.
Sementara yang dimaksud dengan 'keputusan politik negaÂra' dalam penjelasan pasal 5 UU TNI adalah keputusan presiden dengan pertimbangan DPR.
"Dengan demikian landasan hukum untuk melibatkan miliÂter dalam mengatasi terorisme sudah tegas diatur dalam UU TNI, sehingga tidak perlu diatur lagi di dalam RUU tindak pidana terorisme," kata Alghif.
Manager pendidikan dan kaderiÂsasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), M. Islah, menambahkan DPR dan pemerÂintah diharapkan tidak mengubah pendekatan penanggulangan terÂorisme dari criminal justice system model menjadi war models.
"Pergeseran pendekatan itu tentu menjadi berbahaya karena akan meÂnempatkan penanganan terorisme berubah menjadi lebih represif dan eksesif," ungkapnya.
Selain itu, pengaturan tentang penebaran kebencian yang tidak komprehensif di dalam revisi UU no. 15 tahun 2003 akan berpotensi menÂjadi ancaman baru bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
"Negara memang perlu mengÂatur persoalan penebaran kebenÂcian atas dasar SARA, namun demikian pengaturan itu harus dibuat secara benar dan komÂprehensif dan tidak boleh dibuat dengan rumusan pasal yang 'karet' karena akan berdampak pada kebebasan berpendapat dan berekspresi," tandasnya. ***