Wakil Ketua MPR E.E. Mangindaan menegaskan jika penguatan konsistensi pelaksanaan UUD 1945 adalah keharusan.
Mangindaan pun menjelaskan jika sebelum adanya perubahan konstitusi UUD Tahun 1945 menjadi sumber hukum tertinggi memiliki sifat yang supel (elastic) karena hanya memuat hal-hal pokok. Pengaturan yang lebih terinci diserahkan kepada undang-undang.
Tapi, karena sifatnya supel itu, kata Mangindaan akhirnya menimbulkan berbagai penafsiran terhadap rumusan pasal-pasal yang dikandungnya. Hal itu, membuka peluang bagi berkembangnya praktik penyelenggaraan negara yang tak sesuai dengan UUD.
Lalu sejalan dengan tuntutan reformasi pada 1998, MPR melalui sidang-sidangnya (1999 s/d 2002) melakukan perubahan konstitusi dalam satu rangkaian perubahan secara sistematis, holistik, dan konprehensif. Hasilnya, menurut Mangindaan, konstitusi Indonesia menjadi konstitusi yang lebih demokratis dan modern.
"Sebuah konstitusi yang mampu menjadi panduan dasar dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan berbangsa, kini dan masa datang," kata Mangindaan saat seminar "Memperkuat Konsistensi Pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945†yang diselenggarakan oleh MPR RI bekerjasama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara–Hukum Administrasi Negara (APHTN–HAN) di TheSantoso Villas & Resort Senggigi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (19/8).
Namun, kata Mangindaan, memiliki konstitusi yang demokratis dan modern tidaklah dengan sendirinya berarti memiliki kehidupan kenegaraan dan kebangsaan yang demokratis dan modern pula.
“Semua tergantung kepada sejauh mana pelaksanaan konstitusi tersebut,†uangkap Mangindaan.
Dia lalu menyebut kejadian di Tanah Air belakangan ini justru menunjuk perilaku penyelenggara negara dan masyarakat yang bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi Indonesia.
Ditempat yang sama, Ketua Umum APHTN-HAN Mahfud MD mengatakan, kerjasama dengan Badan Pengkajian MPR, para pengajar hukum tata negara dan hukum administrasi negara akan terus menguatkan konsistensi pelaksanaan UUD 1945. Soal perubahan UUD, menurut Mahfud diserahkan kepada MPR. Karena hanya MPR yang bisa mengubah UUD.
Hanya saja, menurut Mahfud, setiap konstitusi itu tidak ada yang sempurna. Mahfud sendiri tidak menolak adanya perubahan UUD.
"Tapi kalau hari ini UUD diubah maka esok pagi akan ada yang minta UUD diiubah lagi. Sejarah membuktikan dua hari setelah UUD hasil perubahan disah, sudah ada yang merobek-robek UUD hasil perubahan tersebut, karena ketidaksetujuannya dengan UUD hasil perubahan itu," beber mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Oleh karena itu, Mahfud mengajak para anggota APHTN-HAN untuk tidak terlalu memikirkan soal perubahan UUD. Yang penting, kata Mahfud, semua pihak harus terus mendorong agar pelaksanaan UUD 1945 konsisten.
“Soal UUD mau diubah kita serahkan kepada MPR,†ujar Mahfud.
Para peserta seminar ini adalah pengurus APHTN-HAN yang datang dari seluruh daerah di Indonesia. Seminar juga dihadiri Arief Hidayat (Ketua MK), Aidil Fitriciada Azhari (Ketua KY), Bambang Sadono (Ketua Lembaga Pengkajian), John Pieris (anggota Badan Pengkajian), Amzulian Rifai (Ketua Ombudsman), Andi Mattalata (mantan Menkumham).
[san]