. Rakyat Indonesia sering melafalkan Pancasila tetapi lupa cara mengimplentasikannya. Demikian salah satu kesimpulan Dialog Literasi Pancasila Bersama Wakil Rakyat hari pertama di Perpustakaan MPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (1/6).
Para pembicara pada kesempatan itu adalah Wakil Ketua Lembaga Pengkajian MPR RI, Prof Syamsul Bahri, pengajar dan psikolog senior dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Ninik L Karim dan staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Mohammad Zaenudin.
Para pembicara mengkaji dan menggiring suasana dialog bagaimana menjadikan masyarakat Indonesia yang pluralis ini menjadi betul-betul Pancasilais.
Samsul Bahri berpendapat bahwa Pancasila itu penting untuk dipahami dan menjadi panduan perilaku kehidupan sehari-hari yang dipraktekkan.
Sedangkan Niniek L Karim menggarisbawahi substansi positif dan ideal dari Pancasila dan mengatakan, generasi muda Indonesia harus memiliki semangat positif demi NKRI dan negeri Pancasila. Karenanya dalam bertutur kata, generasi muda harus berhati-hati agar tidak menimbulkan fitnah.
"Kenapa? Ada pepatah bijak bahwa kata itu adalah doa. Kalau kita salah mengucapkan kata-kata bisa menimbulkan fitnah dan bisa menjadi
hoax," kata dia.
Melanjutkan pernyataannya, Niniek menyebutkan bahwa orang bijaksana akan berkata "hati-hati dengan kata-kata, karena perkataan sejatinya adalah doa".
Hal ini, menurut Niniek dampaknya hampir disadari oleh semua orang, meski kenyataannya banyak yang hanya sekedar tahu dan tidak mengayominya.
"Kendati demikian, masih saja banyak yang 'termakan' oleh kata-kata karena apa yang mereka katakan menjadi kenyataan," katanya.
Kaitan kata-kata, jelas dia, menjadi doa erat dengan status pikiran, ketika kesadaran seseorang dan gelombang otak bekerja menerima informasi dari kata-kata yang didengarnya dari orang lain maupun dari mulutnya sendiri.
"Ya, sekali lagi hati-hati dengan kata-kata yang diucapkan, karena baik itu kata yang bijak maupun yang buruk, semuanya bisa jadi doa," sebut Niniek.
Sedangkan dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Mohammad Zaenuddin menjelaskan bahwa Pancasila mengajarkan banyak hal dalam kehidupan. Nilai-nilainya​ yang sudah ditanamkan dari masa kecil harusnya terimplikasi dengan baik dalam keberagaman.
"Ketika kita bertemu dengan kebudayan yang beragam, kita belajar toleransi, menghargai dan tidak menyakiti," ujarnya.
Ia menegaskan bahwa Pancasila sangat berarti dalam keberagaman. Nilai keberagaman dalam Pancasila, menurutnya juga dijelaskan dalam agama apapun di Indonesia. "Dalam Pancasila tertuang nilai keberagaman dan kebaikan yang diajarkan dalam agama manapun," katanya.
Ia menilai keberagaman dan perbedaan adalah rahmat dari Tuhan. Termasuk pula perbedaan agama yang menjadi jalan hidup bagi bangsa Indonesia. Itu pula yang menjadi alasan mengapa Pancasila yang pertama menekankan untuk berketuhanan agar percaya perbedaan.
"Perbedaan itu adalah rahmat, alangkah lucunya apabila bangsa Indonesia​ itu tidak beragama karena dalam Pancasila tidak menghendaki orang yang tidak beragama atheis," tambahnya.
Selain keberagaman agama, Indonesia memiliki keberagaman etnis dan suku bangsa. Untuk itu ia berpesan bagi warga Indonesia untuk merantau agar tahu arti keberagaman, kemanusiaan dan keadilan dalam Pancasila.
"Ketika merantau, kita bertemu perbedaan. tetapi bukan alasan untuk mendiskriminasi atau tidak menghargai manusia lainnya apalagi tidak peduli kehidupan di sekitar kita," pesannya.
[rus]