BERBAGAI pihak menganggap kemenangan Anies pada pilkada Jakarta 2017 sebagai malapetaka toleransi dan pluralisme Indonesia.
Sepenuhnya dapat dimengerti bahwa anggapan tersebut merupakan ungkapan kekecewaan mereka yang mengharapkan bukan Anies yang menang.
Maka marilah kita telaah pada kenyataan mengenai apakah memang kemenangan Anies pada pilkada Jakarta 2017 merupakan malapetaka toleransi dan pluralisme Indonesia.
Berdasar quick qount , mayoritas warga Jakarta memilih Anies sebagai gubernur Jakarta masa bakti 2017-2022. Memang alasan memilih Anies beranekaragam namun para pemilih Anies dapat diyakini TIDAK ingin merusak toleransi dan pluralisme. Tidak perlu diselenggarakan jajak pendapat tentang apakah toleransi dan pluralisme rusak akibat Anies menang sebab mayoritas warga Jakarta yang memilih Anies pasti menjawab “tidakâ€.
Melihat kenyataan bahwa yang tergabung dalam barisan pendukung Anies adalah umat Islam, Buddha, Hindu, Nasrani rasanya mustahil mereka mendukung Anies apabila sang mantan Mendikbud seorang yang intoleran. Citra Bhinneka Tunggal Ika justru tampak jelas pada keanekaragaman latar belakang suku, etnis, ras, sosial, politik dan agama pada barisan pendukung Anies.
Tuduhan bahwa mereka yang tidak memilih Basuki Tjahaja Purnama yang kebetulan warga keturunan adalah intoleran bahkan rasis, juga tidak relevan sebab Anies Baswedan kebetulan juga warga keturunan.
Saya pribadi mencoba mawas diri terkait apakah benar kekalahan Basuki Tjahaja Purnama yang kebetulan sesama agama dan etnis dengan diri saya merupakan malapetaka intoleransi dan pluralisme bangsa Indonesia. Berdasar mawas pengalaman pribadi saya sendiri, saya berani menyimpulkan bahwa setelah Anies menang sama sekali tidak ada perubahan terjadi pada lingkungan kehidupan saya pribadi.
Sahabat-sahabat beda suku, ras, sosial dan agama dengan diri saya tetap besahabat dengan diri saya. Saya tetap bersahabat dengan sahabat-sahabat saya yang masuk daftar orang terkaya di Indonesia, sementara di sisi lain saya juga tetap bersahabat dengan sahabat-sahabat saya yang masuk daftar rakyat tergusur di Indonesia. Di mal termewah mau pun di kampung terkumuh tidak ada yang memanggil saya “Cinaâ€.
Suasana Bhinneka-Tunggal-Ika dengan segala ketidak-sempurnaannya masih tetap lestari hadir di persada Nusantara yang tampaknya tidak peduli siapa menang pilkada. Meski saya berseberang pendapat dengan Basuki Tjahaja Purnama dalam kebijakan menggusur rakyat namun saya sependapat dengan beliau dalam imbauan yang diungkap pada pidato penutup pilkada Jakarta 2017.
Saya sependapat dengan imbauan Basuki agar kita melupakan apa saja yang telah terjadi pada masa kampanye demi bersama lebih memusatkan perhatian ke apa yang akan terjadi pada masa setelah pilkada Jakarta 2017.
Marilah kita lebih memusatkan perhatian kita pada apa yang akan dilakukan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta masa bakti 2017-2022. Marilah kita bersama memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa untuk berkenan menganugerahkan kekuatan lahir-batin kepada Anies Baswedan dan Sandiaga Uno agar mau dan mampu gigih berjuang menepati janji-janji yang telah mereka berikan pada masa kampanye kepada rakyat Jakarta yang telah terbukti memilih mereka berdua menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang wajib gigih berjuang melakukan pembangunan kota Jakarta selaras dengan hukum, HAM, Agenda Pembangunan Berkelanjutan, Kontrak Politik Joko Widodo dengan rakyat miskin Jakarta, sila-sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. AMIN
.[***]
Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajar Kemanusiaan